Pantai Marosi Sumba Barat, NTT: Menghalau Prasangka


Pantai Marosi adalah salah satu pantai terindah yang pernah saya lihat. Usai melakukan tugas penelitian, saya masih memiliki waktu satu hari karena Jadwal penerbangan pesawat dari Tambolaka ke luar hanya seminggu dua kali, yaitu hari Selasa dan Kamis. Ketika pekerjaan usai di hari Selasa sore, maka saya dan kawan-kawan memiliki hari Rabu untuk beristirahat.

Bersama keluarga Arwir Ragawino, salah satu anak lapangan saya, saya dan kawan-kawan ingin piknik ke pantai. Rabu pagi, kami bersiap-siap. Menyewa sebuah angkutan umum jenis minibus, membeli banyak nasi bungkus, membawa pakaian ganti dan sun cream, kamipun berangkat.

Waikabubak, Sumba Barat, sama seperti halnya kabupaten lain di NTT, bercuaca panas dan kering. Perjalanan hampir dua jam cukup membosankan, apalagi pemandangan hanya tanah kering. Sesekali kami bercanda dengan beberapa balita yang di bawa. Jika kami orang dewasa saja bosan, demikian juga dengan balita. Untuk permen yang saya bawa bisa menghibur. Setelah lewat dua jam, bau air asin mulai tercium. Samar-samar di kejauhan terlihat garis pantai dan air laut yang membiru. Pohon kelapa mulai menampakan kehijauannya.

Betapa trkejutnya saya, ketika mendekati pantai, ini benar-benar pantai yang belum terjamah. Karena tidak ada satu bangunanpun. Apa yang saya bayankan, ada kamar mandi bisa berganti pakaian dan mandi sesudah bermain di pantai, hanya ada dalam bayang-bayang. Pasir putih, air biru jernih, angin berhembus, melupakan kebiasaan di Jakarta.

Kami memutuskan makan sebelum main air. Selama makan, saya merasa ada yang memperhatikan tapi tak terlihat. Hanya ilalang yang bergerak di bawah pohon kelapa. Ada kekhawatiran yang mengusik. Tapi saya tidak ambil pusing. Usai makan, mulailah kami menjejakkan kaki di pasir putih. Belumn lagi tubuh ini membasah, saya menangkap bayangan di sekitar mobil. Saya bergegas berlari mendekati mobil. Karena di situ ada tas, berisi hp dan  dompet. Saya sudah berprasangka buruk.

Namun begitu saya tiba di balik mobil, wajah ini terasa ditampar. Saya melihat ada tiga anak laki-laki, mungkn berusia antara 10-12 tahun, tengah memakan sisa nasi bungkus. Ketiga pasangan mata bocah yang bulat penuh, menatap lurus ke bola mata saya. Satu pukulan telak menghantam hati ini. Betapa jahatnya pemikiran saya. Menutupi perasaan malu, saya tersenyum pada mereka. Karena mereka membawa parang, saya bertanya, adakah yang bisa memetikkan kelapa? Ketiga bocah mengangguk brsamaan. Lalu saya mengacungkan 5 jari. Maksudnya minta dipetikkan 5 buah kelapa.

Saya, meninggalkan ketiga bocah yang masih menyantap sisa nasi bungkus. Dalam hati saya menangis malu, Tuhan, ampuni prasngka buruk ini, doa saya dalam hati. Serasa melepas beban, kaki saya ringan memasuki laut. Dingin dan menyenangkan. Ikan-ikan begitu jelas terlihat. Terumbu karang pun hidup. Luar biasa anugerah Tuhan untuk Pantai Marosi.

Kami bersenda gurau, minum dan makan air kelapa. Karena perjalanan cukup jauh, kami tak mau cepat-cepat mengakhir kegembiraan piknik. Namun matahari mulai undur diri, maka kamipun harus pulang. Kami pulang sepeti kami datang, bedanya datang dengan baju kering dan pulang dengan baju basah. Masuk angin, tidak takut. Saya percaya Tuham\n menjaga kami.

No comments:

Post a Comment