Kisahku: KETIKA LEBARAN TIBA

Kisahku: KETIKA LEBARAN TIBA

Lebaran adalah salah satu hari raya umat muslim yang selalu disambut dengan sukacita diseluruh dunia termasuk oleh keluarga saya. Lebaran adalah saat-saat yang selalu saya nantikan walau saya bukan beragama islam. Dulu saya dan orang tua tinggal di sebuah kompleks perumahan yang warganya hanya berjumlah 30 keluarga. Dan dari 30 keluarga yang beragama Kristen hanya 4 keluarga. Tapi sungguh saya sangat berbahagia pada masa itu.

Kehidupan toleransi sangat dijunjung tinggi. Saat Lebaran tiba, pagi hari dimana orang akan melakukan sholat Idul Fitri, papi saya turut menyediakan mobil dan tenaga untuk mengantar dan menjemput warga komplek yang akan sholat Idul Fitri. Karena papi saya salah satu dari beberapa warga kompleks yang memiliki mobil. Kompleks kami terletak di Kebayoran Lama dan pada waktu itu belum banyak mesjid besar/area untuk sholat sehingga selalu tujuannya Mesjid Al-Azhar atau Mesjid Agung yang dua-duanya terletak di Kebayoran Baru.

Dan warga yang berhalangan sholat biasanya bersama dengan warga yang non muslim menyiapkan acara Halal Bi Halal di rumah ketua RT. Saat itu, semua warga, tua-muda, besar-kecil, muslim-non muslim, laki-perempuan setelah kembali dari sholat Idul Fitri semua menyatu di rumah ketua RT. Acara biasanya usai tengah hari dan semua pulang ke rumah masing-masing. Jika ada warga kompleks yang mudik, maka kami termasuk warga non muslim secara bergantian meronda dan menjaga rumah-rumah yang di tinggal.

Waktu lebaran, pintu rumah-rumah warga muslim terbuka sepanjang hari jika mereka tidak pergi bersilahturahmi. Dan warga yang belum sempat bersilahturahmi di rumah ketua RT bisa langsung datang ke ruma-rumah warga. Saya dan teman-teman sebaya, berkeliling dengan membawa tas kecil yang dirajut dari benang wol. Hasil karya rajutan mami saya. Waktu itu tentu girang bukan kepalang karena Lebaran identik dengan mendapatkan banyak kue dan uang

Ibu-ibu warga kompleks punya cara bermacam-macam dalam memberika uang sebagai salam tempel. Ada yang dimasukan daam kantongan bersama permen dan kue, ada yang langsung diberkan pada waktu salaman ada juga yang meminta kami bernyanyi terlebih dahulu baru memberikan uang. Pokoknya Lebaran adalah suasana yang menyenangkan. Banyak makanan dan dapat uang.

Sebenarnya kegembiraan saya di mulai sejak sehari sebelum Lebaran atau tepatnya malam takbiran. Papi saya turut mebuatkan kami, anak-anaknya masing-masing sebuah obor. Kami ikut keliling kompleks berpawai sambil menyerukan takbir ! Walau saya bukan muslim tapi saya bisa merasakan kegembiraan umat Muslim yang menyerukan kebesaran Tuhannya. Dan pada situasi seperti itu, tidak ada seorangpun yang mempersoalkan keyakinan saya yang berbeda.

Ketika saya duduk di SMP, sudah mulai ada tradisi buka bersama, walau saya tidak beragama islam, tidak menjadi halangan untuk turut merasakan Buka Puasa Bersama. Berkumpul di rumah seorang kawan yang menjadi tempat berbuka. Karena saya tidak puasa maka sayalah yang kebagian mencicipi makanan yang akan disajikan pada waktu berbuka. Maka ketika tiba waktu berbuka, saya sudah kenyang. Tapi tetap tidak mengurangi kegembiraan berkawan dengan kawan-kawan yang beda keyakinan.

Sampai saat ini, saya masih selalu menantikan suara takbir usai adzan subuh di hari Idul Fitri. Suara-suara itu mampu menimbulkan perasaan haru yang kadang tak terasa membuat airmata saya mengalir. Sungguh saya merasakan suatu perasaan yang berbeda. Saat seperti itu rasanya membuat saya berpikir betapa kecilnya manusia namun sungguh Tuhan sangat menyayangi. Buktinya berbilang kali Idul Fitri, saya masih melihat kawan-kawan yang sama yang melakukan sholat Idul Fitri. Memang ada sebagian yang sudah meninggal tapi banyak yang masih diberi kesempatan Tuhan untuk memulai kehidupan baru.

Pada Bas dan Van saya sudah menjelaskan mengapa keyakinan kita berbeda dengan orang lain. Walau kita sebagai orang Kristen, kita tetap patut menghormati orang yang bukan Keristen karena sesungguhnya kita sama-sama manusia yang percaya pada satu Tuhan.

Dan selalu saya menaikkan doa, berharap kawan-kawan saya yang berbeda keyakinan dengan saya yang setiap tahunnya mensyukuri Idul Fitri diberikan Iman dan Hidayah serta rasa toleransi yang tinggi untuk menghargai perbedaan. Sehingga saya tak perlu punya rasa khawatir melepaskan anak-anak saya bergaul di masyarakat yang multikultural.

Pada Bas dan Van, saya selalu menekankan pentingnya bertenggang rasa dengan siapa saja dan dalam hal apa saja. Saya percaya dengan menghormati perbedaan berarti kita mensyukuri keanekaragaman ciptaan Tuhan. (Rabu: 11 Oktober 2006)

No comments:

Post a Comment