Dalam perayaan ulang tahun pertama milis Proffesional Entreprenuer Club di sebuah café Automotif di Kawasan MT Haryono, saya membaca sebuah tulisan menarik. “MEMAAFKAN ADALAH TIDAK MEMPERSOALKANNYA WALAUPUN HANYA DALAM HATI”
Kalimat itu sederhana tapi bisakah kita menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari? Dalam pergaulan, kesalahan disengaja atau tidak disengaja sangat sering terjadi. Bahkan tidak sedikit orang yang sudah mempunyai niatan tidak baik walau baru sebatas dalam hati atau dalam pemikiran. Tidak sedikit pula kita salah memahami niat baik orang lain.Lalu ketika kesadaran itu datang, cukupkah sekedar kata permintaan maaf?
Saya jadi teringat satu cerita, Seorang kakek sedang ngobrol dengan cucunya yang sebentar-sebentar marah.
“Apakah hatimu senang setiap kali kamu marah?” tanya si kakek
“Ya tidaklah kek!” Jawab cucunya
‘Mau kah kamu merubah sifatmu? Tanya si kakek lagi
“Apakah bisa? Tanya cucunya dengan berminat
’Kalau kamu mau memaafkan, pasti bisa!” jawab si kakek
”Apa yang harus saya lakukan?” tanya si cucu
’Ambillah segenggam paku dan sebuah palu, Bawalah kedua benda tersebut kemana kamu beraktivitas. Bila dalam perjalanan kamu berhubungan dengan seseorang lalu kamu mulai marah, maka ambillah satu buah paku lalu tancapkan pada pohon depan rumahmu. Setelah itu kamu renungkan, mengapa kamu marah dengan orang tersebut. Jika kamu yang salah, pergilah minta maaf tapi jika orang itu yang bersalah, maafkanlah. Nanti kita lihat sejauhmana kamu bisa berubah”. Si kakek menjelaskan panjang dan lebar.
Pergilah cucunya mengambil segenggam pku dan sebuah palu lalu ia mulai bergaul kembali dengan teman-temannya. Selama sebulan si kakek hanya mengamati dan melihat pohon yang tumbuh di muka rumah. Ada cuup banyak paku-paku yang tertancap disana. Tepat sebulan, si kakek memanggil si cucu dan kembali ngobrol.
”Apakah kamu merasakan perubahan?” si kakek membuka obrolan.
”Ya, ” jawb cucunya
”Bagaimana?” tanya si kakek
”Setiap kali marah, aku menancapkan paku dan menyalurkan kemarahanku pada paku di pohon. Setelah itu aku merenung, mengapa aku marah. Ada kalanya aku yang salah mengerti ucapan seseorang tapi adakalanya aku yang melukai perasaan orang lain. Saat sadar aku sudah melukai orang lain, aku segera minta maaf kek” Ujar si cucu menjelaskan
”Bagaimana jika orang lain yang membuatmu kesal?”
”Aku berusaha memaafkan dan tidak mengingatnya tapi kekesalanku tetap kusalurkan pada paku yang kutancapkan!” jawab cucunya.
”Sekarang mari kita lihat berapa banyak paku yang sudah kamu tancApkan dalam sebulan!” ajak si kakek sambil berdiri. Lalu keduanya beriirngan menuju pohon di muka rumah. Si kakek. membiarkan cucunya menghitung paku, semunya berjumlah 16 paku. Lalu si kakek menyuruh cucunya untuk mencabut paku-paku itu.
”Apa yang tertinggal?” tanya si kakek
”Bekas-bekas paku, kek!” jawab si cucu
”Sebenarnya hubungan maaf memaafkan manusia seperti paku yang kamu tancapkan pada pohon itu. Sekalipun kamu sudah minta maaf dan memaafkan, luka bekas pertengkaran itu sendiri meninggalkan bekas yang tidak mudah hilang. Seperti jejak paku di pohon itu.
Kembali dalam kehidupan keseharian kita sebagai manusia yang selalu berhubungan dengan orang lain, kesalahan pahaman bisa terjadi, baik sengaja ataupun tidak. Itu artinya kita dituntut untuk berbesar hati memafkan. Tapi lagi-lagi karena kita manusia biasa yang penuh dengan rasa khilaf membuat seakan-akan ketidak sengajaan menjadi sesuatu yang dimaklumi.
Persoalannya, apakah kita mau berlapang dada dan berbesar hati memberi maaf?. Karena dalam hubungan timbal balik dalam kehidupan memberi maaf kelihatnnya lebih mudah daripada meminta maaf. Sebab memberi maaf yang tahu hanya diri kita sendiri, tuluskan maaf yang kita berikan? Sungguhkah kita tidak mempersoalkannya walau dalam hati?
Berbeda dengan minta maaf, bahkan jika orang yang kita mintakan maafkan mau memaafkan kita masih perlu mempertanyakan ”Sungguh di maafkan?” atau ”Kamu ikhlas memaafkan?” Jika kita meragukan apakah orang lain memaafkan kita dengan tulus atau ikhlas, itu lantaran kita menggunakan standar kita. Artinya jika kita dihadapi persoalan yang sama, belum tentu kita mau dengan tulus/ikhlas memaafkan orang tersebut. Maka kita merasa perlu mempertanyakan ketulusan.keikhlasan orang tersebut dalam memaafkan kita.
Dalam keseharian kita juga mengenal istlah ”Forgiven but not forgoten” Artinya memaafkan tapi bukan melupakan. Hal ini mengandung dua pendapat. Pendapat pertama beranggapan kalau sudah memaafkan harusnya ya dilupakan. Bukankah memaafkan berarti tidak mempersoalkannya walau hanya dalam hati?
Pendapat kedua meyakini memaafkan memang harus dilakukan tapi melupakan, nanti dulu. Rasa sakit itu masih terasa. Sama seperti jejak paku di pohon, walau paku sudah dicabut jejak paku masih tertancap disitu. Artinya ada sebagian orang beranggapan dengan tidak melupakan bukan berarti tidak memaafkan tapi mengantisipasi agar jangan terjadi kembali.
Termasuk yang manakah anda? Apapun pendapat anda, saya mengucapakan:
”Selamat Idul Fitri 1427 H, Mohon Maaf lahir & Batin. (Icha Koraag. 20/10-2006)
No comments:
Post a Comment