PELUNCURAN BUKU KEMBANG-KEMBANG GENJER





Masyarakat pecinta buku boleh berbahagia karena satu lagi buku bagus yang bisa dijadikan koleksi dan penambah wawasan pengetahuan telah di luncurkan, berjudul “KEMBANG-KEMBANG GENJER”. Karya Fransisca Ria Susanti, wartawati Sinar Harapan yang kini menetap di Hongkong.

Bertempat di Pusat Dokumentasi HB Jasin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa 19 Desember 2006 di luncurkan sebuah buku yang memuat 13 cerita pengalaman hidup para wanita yang diberi stigma Tapol dan lengket dengan lagu Genjer-genjer.

Buku yang merupakan perpanjangann feature yang pernah di muat di harian Sinar Harapan adalah sebuah laporan karya jurnalistik yang sarat dengan pesan kemanusiaan. Pesan yang disampaikan para perempuan yang keberadaannya dipaksakan untuk dianggap tidak ada. Fransisa Ria Susanti, sang penulis nekad mewawancara ulang para sumber informasi untuk memberikan satu liputan laporan yang lebih lengkap.

Peluncuran buku ini seharusnya menjadi satu momentum yang bisa menarik pers, namun mungkin keterbatasan tenaga panitia, hingga nampaknya pers kurang mengetahui informasi ini. Menurut saya peluncuran ini sekaligus sebagai upaya menyambut hari Ibu, selain karena peluncurannya berdekatan dengan tgl 22 Desember yang kebertulan kerap diperingati sebagai hari Ibu oleh masyarakat Indonesia, isi dari buku Kembang-Kembang Genjer ini menceritakan peran para perempuan untuk kemajuan bangsanya.


Yang karena cinta dan tekadnya untuk kemajuan para perempuan bangsanya ini, para perempuan yang tergabung ataupun tak tergabung dalam Organisasi Perempuan GERWANI harus merasakan kekejaman sebuah rezim yang tidak bisa menunjukan dengan pasti pelanggaran apa yang telah mereka lakukan. Namun para perempuan tegar ini menebus kesalahan yang tidak pernah bisa dibuktikan itu dengan tahanan penjara anatara 4 sampai 14 tahun.

Dr. Asvi Warman Adam sebagai orang yang menuliskan pengantar dalam buku Kembang-kembang Genjer juga menyampaikan pengantar pada waktu peluncuran buku tersebut. Asvi yang juga seorang peneliti di LIPI mengatakan, harusnya lebih banyak lagi orang menuliskan mengenai peranan para perempuan dalam pergerakan politik Indonesia. Gerwani sebagai sebuah organisasi independent keberadaan nyaris tidak diingat lantaran kesuksesan sebuah rezim yang membunuh nama, karakter, anggota dan peran Gerwani dalam sejarah pergerakan organisasi perempuan di Indonesia.

Dalam buku Kembang-kembang Genjer, nyata tertulis menurut ketua Gerwani Ummi Sardjono , Gerwani adalah oragnisasi independent tidak berafiliasi dengan PKI kalau dilihat sepertinya merupakan onderbow PKI ini semata-mata karena garis perjuangann Gerwani searah dengan PKI, dimana antifasis dan anti imperialisme. Bergabungnya Gerwani ke PKI baru masuk agenda pada kongres Gerwani yang akan dselenggarakan Desember’65 namun sebelum kongres berjalan, Gerwani sudah dihancurkan dengan pemberitaan sebagai sebuah oraganisasi yang mengajarakan kebebsan sex dan kesadisan seperti yang diabadikan dalam diorama di lubanga buaya hingga saat ini.

Dari kesaksian mereka yang di tahan pada masa itu, rata-rata tidak berada di luabang buaya bahkan salah seorang korban ditangkap di Irian Barat. Namu akhirnya, pada wakti itu tak lagi penting ada dimana ketika 1 Oktober’65. Siapa saja yang kegiatannya mendukung atau menunjukan tanda-tanda prtisipan PKI dan Soekarno harus mendekam di penjara.

Padahal kalau mau melihat dengan jujur, Gerwani adalah sebuah oraganisasi perempuan yang independent tidak berafiliasi politik ke partai politik. Gerakan Gerwani adalah meningkatkan kemampuan dan harkat perempuan. Mendirikan dan mengelola TK Melati untuk anak-anak para buruh tani di pasar. Agar saat para perempuan melakukan pekerjaan, mereka tidak terganggu dengan anak-anak mereka. Dan anak-anak mereka tidak menjadi kelelahan atau tak terurus lantaran ibu-ibu mereka harus berjualan. Para perempuan yang tergabung dalam Gerwani yang memperjuangkan undang-undang perkawiman termasuk menentang poligami. (Waktu itu akan diresmikan UU yang memberikan tunjangan lebih besar kepada pelaku poligami)

Bayangkan kesejahteraan macam apa yang akan di dapat anak-anak generasi waktu itu. Seperti kita ketahui pada waktu belum ada pembatasan jumlah anak. Saat itu semua keluarga mempunya anak nyaris lebih dari 5. Kerepotan beranak banyak juga dirasakan para perempuan yang harus mengungsi mencari persembunyian ketika sudah mulai dilakukan penangkapan atas aktivitas mereka.

Tak sedikit dikemudian hari kita ketahui anak-anak ini terpaksa tercerai- berai. Pada mereka dihapus paksa memori akan nama dan sosok ayah ibu mereka. Agar kelak mereka boleh mendapat kehidupan yang lebih layak.

Ibu Tarni, istri dari ketua II Politbiro PKI Nyoto, yang sempat saya temui pada waktu peluncuran Buku ini, dengan senyum menceritakan harus mendekam di sebuah sel dengan 7 orang anak, termasuk salah satu bayi yang baru dilahirkan. Ketika ia dipindahkan ke penjara wanita di plantungan, sebuah penjara eks RS Kusta di Jawa Tengah, ke -7 anak-anaknya harus di pisah-pisahkan, di Jakarta, di Solo juga Di Palembang.

Ibu Tarni masih boleh bersyukur karena pada akhirnya boleh bertemu kembali dengan ke-7 anak-anaknya tapi tidak sedikit para orang tua yang tidak diterima anak-anak kandung mereka, bahkan di tuduh pelacur dan penjahat tak berprikemanusiaan. Jangan tanyakan bagaimana perih dan duka yang dirasakan para perempuan ini, karean rasa itu sudah tawar bahkan kini mereka tak sanggyup lagi menangis. Yang ada tinggal senyum, senyum kepasrahan dan harapan agar apa yang mereka alami tidak dialami generasi perempuan selanjutnya,

Dua puluh tahun lalu, jika saya mendengar kata GERWANI maka yang terbayang adalah kesadisan sekelompok perempuan dalam skenario pembunuhan 6 jenderal dan satu perwira TNI AD dalam film “G 30 S/PKI yang setiap tahun menjelang tgl 30 September selalu disajikan di televisi.

Tapi kenyataannya, setelah berbilang tahun kemudian saya mencari dan mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai info seputar peristiwa 30 September ’65, pelan-pelan pemahaman saya mulai berubah. Ternyata sejarah bukan hanya dari buku pelajaran dan informasi yang disajikan para penguasa. Sejarah juga ada di tempat-tempat tersembunyi yang memerlukan tekad dan keberanian, bukan hanya untuk membaca dan mengetahui tapi menerima sebagai sebuah kenyataan.

Saya sempat mengalami kebingungan untuk memahami mana sejarah bangsa yang layak saya percayai sebagai sebuah kebenaran. Ternyata saya masih harus terus mencari dan bersabar untuk mendapatkannya. Namun paling tidak satu kesadaran dalam diri saya telah lahir, bahwasannya sejarah sangat luas dan memiliki banyak sumber. Sejarah merupakan rangakaian cerita dari sebuah peristiwa yang telah banyak dipersepsikan hingga menimbulklan banyak versi. Dan untuk memahami versi mana yang layak dipercaya, di butuhkan sebuah nurani yang bersih.

Peluncuran Buku Kembang-Kembang Genjer tak dihadiri si penulisnya namun demikian beberapa nara sumber buku tersebut hadir dan bersedia bertutur mengenai kisah hidupnya. Kebanyakan dari mereka mendekati kepala 7 bahkan lewat dari kepala 7. Tubuh para perempuan itu sudah sangat ringkih bahkan nyaris rapuh. Keriput karena tua dan derita sangat nyata menghias tubuh dan wajah mereka. Bungkuk, rambut memutih, pendengaran berkurang, jalan tertatih, gigi ompong tak menjadi pengalang saaat mereka bercerita. Satu hal yang mampu mengedor-gedor dada saya dan tak mampu menahan air mata yang mengalir adalah suara dan semangat mereka yang masih sangat menggelegar.

Salah seorang dari mereka mengatakan, “saya tidak menerima siksaan yang macem-macem. Paling-paling cuma dikeploki tapi saya tetap tidak mengaku, wong saya memang tidak ada di Lubang Buaya!”

Lain lagi cerita seorang ibu yang ketika di panggil ke kodim masih berusia ABG (Sekitar 13-17 tahun) waktu itu ia hanya melakukan aktivitas menyanyi dan menari untuk mengisi kegiatan 17-Agustusan di tingkat RT, suatu hari dipanggil ke kodim untuk dimintai keterangan seputar kegiatan tesebut. Di periksa 2 jam di Kodim, di kirim ke beberepa tempat lagi untuk dilakukan pemeriksaan lagi, dari rencana awal hanya 2 jam di periksa menjadi 14 tahun di tahanan. Usut-usut punya usut si ABG yang dimintakan keterangan ini, kerap menyanyikan lagu Genjer-Genjer, sebuah lagu rakyat Banyuwangi yang mengekploitasi kemiskinan masa penjajahan Jepang.

Bahkan seorang ibu dengan tertawa (Yang mungkin mentertawakan kegetiran hidupnya) mengatakan, sempat di tahan di sebuah penjara bersama orang gila. Orang yang bisa menyanyikan lagu genjer-genjer langsung di ciduk dan dimasukkan ke tahanan. Waktu itu semua orang bisa menyanyikan lagu tersebut termasuk orang gila.

Peluncuran Kembang-Kembang Genjer juga diisi dengan forum Curhat dan tukar pikiran. Mulai dari mereka yang menjadi korban perististiwa September ’65 maupun generasi muda yang kena dampak karena ortu mereka pun korban. Diantaranya berisi, ajakan untuk sama-sama memberikan dukungan, bahwa korban’September 65 ada dan nyata. Keberanian kita untuk berpegang tangan bersatu dan meneriakan serta memperjuangkan tunutan ini adalah sebuah keharusan. Memaafkan bisa diberikan tapi tuntutan pertanggung jawaban tetap harus dilakukan.

Selamat Hari Ibu
hai para perempuan perkasa!
tubuhmu boleh ringkih karena derita dan usia
tapi semangat perjuanganmu akan kami jaga
agar tetap menyala

(Icha Koraag, 21 Desember 2006

2 comments:

  1. Anonymous10:07 AM

    Saudari Icha yang terhormat. Tulisan ini sangat bagus. Agar bisa dibaca banyak orang, tolonglah diposting di www.kabarindonesia.com
    Pasti banyak pembacanya.

    Salam erat.

    ReplyDelete
  2. Tulisannya sangat informatif. Terimakasih mbak Icha. Sudah mau berbagi.

    ReplyDelete