Kisahku: Pahlawan di Taman Hati

20 Januari 2007, tepat dua puluh tahun meninggalnya ayahku. Seorang laki-laki yang meninggalkan banyak jejak dan kenangan dalam ingatanku. Layaknya seorang militer, alm sangat keras dalam menerapkan disiplin. Dulu (kalau ku ingat sekarang sebagai sebuah sikap yang tidak sopan) kami sering menggerutu dan mengeluh kepada ibu mengenai sikap ayah.

Berulang-ulang kami mendesak ibu untuk mengatakan kepada ayah, kalau sekarang sudah merdeka! Hal itu kami katakan karena alm. Ayah paling sering menganalogikan segala sesuatu dengan jaman perang. Misalnya soalnya waktu. Karena kami bersaudara perempuan semua, bisa di bilang ayah terlalu protektif terhadap anak-anaknya. Sebagian besar dari kami ketika bersekolah hanya diperbolehan bersekolah di lingkungan pemukiman yang sekolahnya bisa di tempuh dengan jalan kaki. Baik SD, SMP sapai SMA. Aku baru belajar menggunakan transportasi umum ketika kuliah.

Terus terang aku sempat mengalami stress ketika harus berangkat kuliah. Soalnya ketika mendaftar dan mengembalikan formulir semua di antar ayah. Aku yang sejak SD sampai SMA, selalu hanya berjalan kaki, tiba-tiba harus ke kampus dengan jarak tempuh tiga kali ganti kendaraan umum. Jadi aku merengek pada ayah agar satu minggu pertama kuliah di antar ayah. Minimal sampai aku mendapatkan kawan yang searah jalan pulang dan pergi.

Nah soal waktu. Aku kuliah mulai pukul 16.00. Dan waktu tempuh dari rumahku di Kebayoran Lama menuju Lenteng Agung, Pasar Minggu dengan transportasi umum sekitar satu setengah jam. Artinya agar tiba di Kampus tepat waktu, maka aku harus berangkat sekitar pukul 14.30. Tapi kalau diantar ayah pasti lebih cepat. Jadi berangkat lewat sedikit dari pukul 14.30, aku masih beum telat.

Tapi tidak demikian dengan ayahku. Terlambat lima menit dari 14.30 artinya aku akan di ceramahi mengenai arti disiplin. Aku harus dengan rela mendengar ceramah ayahku selama di perjalanan. Dari semua cermahnya yang paling membekas dalam ingatanku adalah pentingnya ketepatan waktu. ”Dalam kondisi perang terlambat lima menit bisa berati puluhan nyawa melayang”. Menyela omongan ayahku sama saja bunuh diri. Aku dibesarkan dalam keluarga yang belum mengenal kebebebasan mengungkapkan pernyataan. Jadi aku hanya bisa menelan bulat-bulat kedongkolan mendengar ceramah ayah.

Kalau mengenang hal itu, malu rasanya. Aku merasa malu karena ayahku mau dan sabar mengantarku ke kampus. Sementara aku tak menghargai jerih payahnya dan membiarkan ayah menunggu. Padahal aku yang minta di antarkan.

Hal yang juga selalu tak bisa ku lupakan adalah dukungan ayah, saat kami, anak-anaknya akan ulangan umum, semesteran atau ujian akhir. Ayah tidak pernah menyuruh kami belajar. Seperti siang itu sepulang aku dari sekolah, ketika aku duduk di SMP.
”Dag pa!’ salamku. Sebelum memasuki pintu. Aku tak berani melangkah masuk, sebelum ayah membalas salamku. Jika ia sudah menjawab baru aku masuk.
”Bagaimana sekolah?” tanya ayahku
”Biasa, besok ada beberapa ulangan!” Jawabku
Jangan kebanyakan belajar nanti malah sakit. Daripada kamu repot-repot belajar, lebih baik tulis semua bahan yang menurut kamu, kira-kira akan keluar di ulangan”
”Lalu?” tanyaku heran
”Sudah lakukan saja, nanti kalau sudah selesai bawa dan perlihatkan ke saya, nanti saya kasih ilmu!” Ujar ayahku santai.

Aku bergegas membersihkan diri, ganti baju, makan siang dan mengerjakan apa yang di katakan ayahku. Cukup banyak bahan yang menurut perkiranku akan keluar saat ulangan besok. Hampir sekitar empat lembar yang ku tuliskan. Menjelang sore, selesai sudah. Tapi karena kelelahan aku tertidur. Ketika bangun tidur, aku langsung teringat catatan untuk ulangan besok. Ku hampiri ayah yang sedang menonton berita sore. Ku serahkan catatan yang sudah ku buat. Ayah membaca sekilas lalu berkata”
”Baca!” perintahnya. Aku mengikuti perintahnya. Selesai membaca ayah berkata:
”Sekarang kamu mandi, lalu ambil satu piring, gelas isi air putih dan korek api!” Ku pikir ayahku ingin main sulap, tiba-tiba timbul keraguanku.
”Mau apa sih?’ tanyaku
”Sudah laksanakan saja, apa yang saya bilang!” perintah ayahku

Sebagai seorang pensiunan militer, dalam keseharian ayahku masih sering menggunakan kalimat perintah seakan berbicara dengan anak buahnya. Bahkan kalau sedang menegur kami, ayah akan memerintahkan kami berdiri dalam satu barisan dengan sikap sempurna. Persis seperti adegan dalam Film Edelwise dimana sang ayah kapten Von Trap menjejaarkan anak-anaknya seperti sepasukan tentara.
.
Aku bergegas mandi sore dan menyiapkan yang diperintahkan ayahku. Ketika aku sudah membawa pirng, gelas berisi air putih dan korek api, aku kembali menghadap ayahku. Ayahku mengajak aku ke teras belakang. Rumah kami yang dulu mempunyai kamar makan yang menghadap ke teras belakang. Di mana di tumbuhi rumpun mawar warna-warni di satu sudut dan sudut lainnya ada satu pot kamboja Jepang berwarna pink. Di hadapan rumpun mawar dan kamboja Jepang ada anak tangga menuju loteng. Ayahku mengajaku duduk di anak tangga paling bawah. Ayah meminta aku meletakkan piring, gelas berisi air putih dan korek api di tanah. Lalu ia memberikan empat lembar catatan yang ku buat lalu di suruhnya aku membaca dengan keras sehingga selain aku, ayah juga bisa mendengar.

Selesai aku membaca, ayah memberikan korek api dan meminta aku membakar catatan itu lalu diletakan di atas piring. Aku ragu-ragu dan menatap ayah degan bingung. Ayah tersenyum dan berkata.
”Lakukan saja dan percaya sama saya!” Aku dengan setengah hati mengikuti perintahnya. Tiba-tiba ayah berkata.
”Nanti kita masukkan abu ke dalam gelas berisi air putih itu, diaduk-aduk lalu kamu minum. Percaya saya, semua yang kamu tulis dalam kertasa catatan tadi akan melekat dalam ingatanmu saat ujian besok!”

Saat itu juga aku menatap ayahku tak percaya. Bermacam-macam pemikiran melintasi benakku, Apakah ayah masih normal? Ketika pandanganku menatap api yang menjilati catatanku hingga tinggal separuh, membayangkan abu kertas di campur di delas berisi air putih dan airnya harus ku minum, tiba-tiba perutku bergolak, mual! Semakin cepat api membakar kertas, gejolak mual semakin keras. Aku berusaha menahan tapi bau hangus menyentuh hidungku mengembalikanku pada kenyataan. Perlahan aku mernarik nafas dan berusaha menenangkan diri.

Ketika api padam meninggalkan kertas hangus yang belum hancur. Dengan batang korek api ayah menghancurkan dan mengumpukan lalu menuangkan ke dalam gelas berisi air putih, di aduk-aduk dengan telunjuknya lalu diangkat ke hadapanku. Aku yakin mukaku pasti sangat pucat. Ayah tersenyum dan berkata.
”Terasa tidak?” tanya ayahku tiba-tiba
”Apanya?” tanyaku heran
”Tulisan di catatanmu tadi saat berubah menjadi hangus, seriring api membakar, sebetulnya itu proses masuk ke otakmu. Nah sekarang kita tes. Coba kamu jelaskan apa yang tadi ada di catatanmu!”
Aku diam sejenak mencoba mengingat-ingat apa saja yang ku catat, mulanya perlahan, lama-lama dengan lancar aku mampu menjelaskan bahkan yang tak ada di kertas catatan tapi aku ingat apa yang dijelaskan guruku. Selesai aku menjelaskan, ayahku bertanya lagi.
”Kamu yakin besok ulangan bisa?”
”Pasti!” jawabku tegas
”Kamu yakin bisa, nilaimu pasti di atas 7. Yakin dan kamu belajar, nilai kamu pasti 9! Nah sekarang, buang gelas berisi air ini ke selokan depan rumah bersamaan dengan buang kegelisahan kamu dan tanamkan keyakinan kamu bisa, maka kamu pasti bisa!” Ujar ayahku sambil mengusap kepalaku. Aku tersenyum lega, kehangatan usapan lembut tangan ayah di kepalaku, memberikan perasaan yang nyaman. Keesokan harinya aku bisa mengikuti ujian dengan baik dan aku mendapat nilai 9.

Selama aku duduk di SMP aku selalu melakukan ritual itu, sampai akhirnya aku tersadar, ayahku secara tidak langsung sudah menyuruhkan belajar secara bertahap. Pertama ketka aku mencatat, kemungkinan materi yang akan keluar saat ulangan besok, sebenarnya pada saat itu aku sudah mempelajari seluruhnya. Kedua ketika aku mulai mencatat, secara tidak langsung aku mengulang kembali apa yang sudah kupelajari. Begitu pula ketika catatan itu kubaca ulang untuk meyakinkan bahwa semua yang mungkin akan keluar besok sudah tercatat, aku mengulang kembali dan terakhir saat ku baca kembali sebelum kubakar habis, aku sudah mengulang tiga kali.

Kini aku tahu, sesungguhnya semakin sering kita mengulang membaca maka semakin lama apa yang kita baca akan tecatat dalam memori. Pantas lah kalau kemudian aku bisa mengerjakan soal dengan baik walau malam hari aku tidak belajar lagi. Saat hal itu aku konfrontasikan dengan ayah, beliau hanya berkata ”Bagus, berati kepandaianmu sudah naik satu tingkat! Ujarnya dengan wajah biasa saja.

Kini ayahku sudah terbaring damai dalam peraduan abadinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Negara menyediakan tempat bagi ayah di Taman Makam Pahlawan sebagai balasan atas jasanya turut berjuang memerdekan bangsa ini. Aku menyediakan tempat di taman hati ini untuk ayah. Pahlawan hatiku dan keluargaku yang sosoknya tak pernah hilang dalam ingatan kami. (Icha Koraag, 22 Januari 2007)

No comments:

Post a Comment