KALA HARGA MINYAK GORENG MELAMBUNG TINGGI

Aku adalah seorang istri dan ibu dari dua orang anak berusia 4 tahun dan 7 tahun. Aku menyadari kedua anakku berada dalam masa pertumbuhan dan perkembangan yang memerlukan perhatian serius bukan hanya dari pertumbuhan mental emosional tapi juga dari pertumbuhan fisik dalam hal ini, asupan gizinya. Sama seperti ibu-ibu yang lain, aku juga menghadapi di lema memikirkan, mengolah dan menyediakan makanan yang bervariasi agar anak-anak tidak bosan.

Layaknya ibu rumah tangga yang lain, aku juga punya kewajiban sekaligus kesenangan dalam hal berbelanja. Belanja apa saja. Baik untuk keperluan sandang atau untuk urusan perawatan rumah dan isi perut. Berbelanja menjadi satu hiburan tersendiri, apalagi sejak aku berhenti bekerja kantor. Berada di supermarket atau di pasar tradisonal tetap membuatku gembira. Aku menemukan keasyikan tersendiri dalam memilih bahan-bahan keperluan keluarga.

Persoalannya keadaan ekonomi, gossip-gosip nasional & internasional sangat mempengaruhi flutuasi rupiah terhadap dolar USA. Ini sangat berdampak sekali pada harga-harga bahan kebutuhan sehari-hari. Sebulan terakhir, media banyak memberitakan mengenai harga minyak goreng yang melambung tinggi. Mungkin aku orang bodoh karena aku bingung, kok bisa-bisa di negeri yang pohon kelapa dan kelapa sawit tumbuh demikian luas, harga minyak goreng menjadi tak terjangkau rakyat.

Suamiku pernah bercerita, ketika ia melakukakan perjalanan darat dari Sumatera Barat menuju Sumatera Utara, hampir sepanjang jalan yang dilalui adalah perkebunan kelapa sawit. Bahkan kalau aku tak keliru, Indonesia merupakan negara pengekspor CPO yang cukup besar. Loh kok, bisa ekspor padahal kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi? Ok bisa jadi karena harga CPO di luar negeri cukup tinggi tapi pemerintah sebagai pengelola negara kan bisa membuat sebuah kebijakan, agar para pengusaha minyak ini menjual sekian persen untuk kebutuhan dalam negeri.

Mungkin aku keliru namanya juga cuma ibu rumah tangga. Aku bukan orang pandai yang berbicara banyak mengenai politik atau keadaan Negara. Tapi justru sebagai ibu rumah tangga, aku merasakan langsung persoalan yang menyangkut urusan perut. Seperti biasan jika ada satu komponen harga yang naik, maka selalu menimbulkan efek domino. Bukan hanya minyak goreng, hampir semua bahan harganya naik. Lah kok yang diributkan cuma minyak goreng serta dampaknya. Padahal setiap rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian bukan cuma minyak goreng saja.

Ini yang membuat saya kesal, apalagi tanpa sengaja saya mendengar cermah mingguan dari sebuah Pengajian Majelis Taklim. Dan pendakwah seorang laki-laki, berkata:
“Ini jaman edan, banyak hal bisa dijadikan ala an hancurnya rumah tangga. Untuk itu ibu-ibu harus panjang akal dalam menghadapi situasi sekarang. Emang minyak goreng harganya lagi menjulang tapi tidak berarti tanpa minyak goreng, lantas tidak bisa masak. Tahu-tahu suami pulang tidak ada makanan. Alasannya uang belanja tidak cukup. Di sini akal ibu-ibu berperan. Kalau minyak goreng mahal kan makanannya bisa tidak di goreng. Misalnya di rebus saja.”

Tiba-tiba saya mendengar suara seorang ibu bertanya, “Pak Ustadz yang mahal mah bukan cuma minyak goreng, minyak tanahnya aja juga mahal!” Terdengar suara seperti dengungan lebah menyetujui pernyataan si ibu. Pak Ustadz kelihatannya harus jaga wibawa, maka beliau menjawab: “Saya bilang juga akal. Akalanya dipakai bu. Kalau minyak tanah mahal, pakai kayu bakar. Dulu waktu tinggal di kampung juga biasakan pakai kayu bakarkan? Tidak usah gengsi! “ Jawab si Ustadz.

Kemudian saya mendengar suara ibu lain lagi: “ Bukan begitu pak Ustadz. Kita mah pakai kayu bakar juga tidak keberatan. Makan makanan yang di rebus juga tidak masalah. Malah bisa jadi diet hingga mengurangi berat badan.”

Pak Ustadz menyela: “Nah bagus itu, patut di contoh!”
Si ibu melanjutkan ”Persoalannya tidak sesederhana itu, kalau suami kita tidak suka makanan yang di rebus bagaimana? Kan uriusannya jadi bertengkar. Belum lagi makanan atau air yang dimasak dengan kayu bakar, terasa dan tercium bau asap. Yang ada jangankan di makan, baru tercium saja sudah mual-mual. Yang ada suami kita ngomel tidak cuma seharian tapi bisa seminggu!”

Dalam hati aku membenarkan penjelasan si ibu. Aku menunggu tanggapan Pak Ustadz. Sayang beliau menanggapinya dengan mengalihkan ke ajaran agama.

Aku jadi merenung, persoalan naiknya harga minyak goreng sangat luas dampaknya. Media ramai memberitakan bagaimana industi kecil yang bermodalkan bahan baku minyak goreng sangat terpukul. Misalnya indutri kerupuk. Industri kue donat bahkan penjual goreng-gorengan di pinggir jalan. Hebatnya lagi, situasi ini dimanfaatkan orang-orang kreatif yang tidak bermoral. Demi mengeruk keuntungan sendiri rela merugikan bahkan meracuni masyarakat banyak.

Ada orang yang tega membeli limbah minyak goreng dari industri fried chicken lalu diputihkan dengan bahan-bahan kimia yang dampak merugikan kesehatan bahkan menjadi racun bagi tubuh. Minyak goreng oplosan tadi yang kemudian bisa menjadi seperti minyak goreng baru kemudian dijual pada industri kerupuk atau pedagang goreng-gorengan di pinggir jalan. Lalu siapa konsumen pembeli kerupuk atau goreng-gorengan di pinggir jalan. Tak usah aku jelaskan, kita semua tahu siapa konsumen tersebut. Ya, masyarakat miskin.

Jadi cita-cita menuju Indonesia sehat tahun 2010 benar-benar hanya cita-cita. Makanan bergizi belum terjangkau makanan sehat mejadi mahal. Jadi kalau kesehatan masyarakat miskin sangat rentan dengan penyakit, ya memang demikian adanya. Pemerintah sebagai pengelola negara kan tidak sampai perhatiannya pada hal-hal kecil.

Apa yang aku tulis adalah ungkapan keprihatinan sebagai konsumen yang juga seorang ibu yang memperdulikan kesehatan keluarga. Kebetulan kerupuk dan donat adalah dua makanan kegemaran suamiku. Sejak mengetahui ada minyak goreng oplosan aku dituntut menjadi lebih kreatif, membuat, menggoreng donat dan kerupuk sendiri. Persoalannya itu tadi, harga minyak goreng mahal, Sedangkan aku belum bisa membuat minyak goreng sendiri. Gak mungkin dong donat atau kerupuk direbus?

Demikian juga dengan bahan bakarnya. Kalau gas elpiji pasokan dari pertamina sama tersendatnya seperti premium atau pertamax, mau tidak mau mau melirik minyak tanah juga. Lalu kalau minyak tanah mahal. Apa perlu diganti dengan kayu bakar, kan hutan kita sudah pada gundul, lalu cari kayu kemana? Lagian emang di kota gampang cari kayu? Lahan buat menanam tanaman saja tidak ada, mau dapat dari mana kayunya? Apa harus potong-potong daun pintu dan daun jendela? Donat dan kerupuk bisa di goreng, dimakan maka perut menjadi kenyang. Tapi nanti masuk angin karena rumah tak lagi berpintu dan berjendela bagaimana?. Itu kalau cuma masuk angin, lah kalau masuk maling…? Aduh pusing….banyak amat di lemanya yah! (Seorang ibu yang harus kreatif utak atik uang belanja agar cukup untuk membeli bahan makanan yang sehat dan bergizi!, 29 Mei 2007)

No comments:

Post a Comment