Going to 30: Pentingnya perencanaan hidup.




Dulu anggapan setelah ulang tahun ke 17, akan menjadi gadis dewasa. Ternyata tidak berlaku bagiku.  Dalam perjalanan hidupku, kedewasaan bukan ditandai dari jenjang usia tapi dari kesadaran menganalisa, memutuskan dan bertindak. Sehingga jika seseorang, sudah mampu menganalisa, memutuskan dan bertindak secara benar plus bijaksana, maka disitulah penanda kedewasaan. Perubahan usia 20 tahun ke 30 tahun, dalam hidupku adalah momentum penting karena, aku mulai berpikir berumah tangga. Telat banget yah?

Lepas kuliah aku menikmati aktifitasku, terutama bekerja. Aku punya pacar, yang mendukung semua kegiatanku, jadi asyik dan tidak berpikir untuk menikah. Sampai pemikiran berumah tangga datang ketika aku sebagai utusan tempatku bekerja mengikuti  Workshop Women Empowerment. Di situ pemikiranku terbuka, aku tersadarkan, betapa tidak terencananya, aku menjalani hidup.

Tidak ada kata terlambat, aku bergegas menyusun perencanaan hidup ke depan. Menikah atu tidak menikah semua  tidak berhenti sampai disitu. Menikah, dengan siapa, kapan, bagaimana persiapannya, (Aspek ekonomi, sosial & budaya) Setelah menikah akan bagaimana? Tetap bekerja? Perencanaan punya anak?  Mau berapa anak, jarak barapa tahun antar anak? Biaya hidup, deposito, asuransi, membeli rumah, biaya pendidikan anak-anak. Asuransi kesehatan keluarga. Tiba-tiba Wow, banyak amat yang harus direncanakan.

Workshop Women Empowerment membukakan mata hatiku, sebuah kesadaran menghormati diri ini baik fisik dan mental. Perempuan memiliki siklus biologis yang mempunyai batasan waktu. Usia produktif dalam pengertian mempunyai keturunan ada titik akhirnya.

Tidak menikah, mau apa? Tetap bekerja atau sekolah lagi? Jika terus bekerja, konsentrasi ke karir atau meningkatkan kemampuan dengan sekolah lagi? Setelah itu, apa?

Dan kedua keputusan di ataspun tidak selesai sampai disitu. Tiba-tiba aku merasa sagat lelah, lahir dan batin. Betapa aku sudah mebuang waktu dengan sia-sia. Pepatah “Better late than never” sangat tepat. Setelah workshop, aku pulang dan mulai menyusun perencanaan dengan skala prioritas. Begitu rencana tersusun, aku mendiskusikan  dengan pacarku. Aku mempertanyakan akan kemana hubungan ini, dan bagaimana merealisasikannya.

Reaksinya? Sudah pasti terkejut . Tapi aku mengenalnya cukup lama. Aku menjelaskan semua kesadaran yang datang padaku saat mengikuti Workshop. Pacarku mengerti. Kesepakatan bersama di dapat. Ya, kami akan menikah.



Singkat cerita, kami membutuhkan waktu dua tahun hingga terealisasikan sebuah pernikahan. Dan selesaikah sampai di situ? Tidak, hidup ini berjalan terus bagai air mengalir, tak akan berhenti hanya karena ada kendala , air akan terus berjalan menyusuri  hingga tiba di akhir muara, yaitu laut. Begitulah kehidupan. Tidak berhenti atau berakhir hanya karena ada pertengkaran atau perbedaan pendapat, sakit penyakit yang hinggap hingga persoalan ekonomi, kehidupan berjalan terus selama hari berganti hari. Kecuali terjadi kematian, disitulah hidup berakhir.

Lewat tulisan ini, aku hanya ingin mengatakan, melewati tiap jenjang usia, tiap individu akan menyesuaikan dengan fleksibel tahapan kehidupannya. Sesuai dengan pengalaman dan kemampuannya memaknai hidup. Tidak ada sebuah keharusan ketika memasuki usia kepala 3, lalu seseorang harus berubah menjadi begini dan begitu. Pun memasuki kepala 4, 5 dan seterusnya.

Nilai-nilai dan kepercayaan yang dianut, termasuk pendidikan dan pengalaman hidup akan membentuk seseorang dalam melakoni kehidupannya. Saat ini usiaku menjelang kepala 5. Tapi aku masih berjiwa muda. Bukan dalam hal  berpakain atau berbicara mengikuti gaya anak-anak muda.

Yang aku maksud dengan berjiwa muda, aku masih antusias mempelajari banyak hal, aku masih dengan senang hati memasuki dunia baru, aku terus menambah wawasan ilmu dan pengetahuan dengan mengikuti kegiatan apa saja yang bisa meningkatkan kemampuan diri. Baik lewat jejaraing sosial maupun lewat bahan bacaan. Karena belajar tidak mengenal usia.

Aku menikah di usia yang sudah sangat tinggi (31 tahun), dan Tuhan punya rencana berbeda dengan rencana yang aku dan pasangan susun. Aku baru memiliki anak di tahun k-4 pernikahan kami (berarti aku melahirkan diusia 35 tahun) Andaikan aku merencanakan kehidupanku jauh-jauh hari mungkin situasinya akan berbeda. Tapi aku tidak pernah tahu rencana Tuhan atas hidupku tapi yang aku aminkan, Tuhan mempunyai rencana yang baik bagi hidup dan kehidupanku. Tepat 3 tahun setelah kelahiran seorang anak laki-laki, aku melahirkan kembali seorang anak perempuan. Ini semua diluar rencana.

Kini di tahun ke 16 pernikahanku, aku sudah dua tahun mengundurkan diri dari pekerjaan berkantor. Aku belajar menjadi istri dan ibu bagi suami dan kedua anakku. Aku belajar lagi dari nol. Karena ketika kedua anakku lahir aku adalah ibu bekerja. Waktuku lebih banyak di luar daripada mendampingi atau mengasuh kedua anakku. Terkadang aku hanya mampu mencium kedua ujung kaki mereka karena fajar belum lagi datang, aku sudah harus meninggalkan keduanya ke luar kota. 

Hanya lewat telephone menyapa dan bertanya pertanyaan basa-basi, lagi apa nak? Sudah makan? Sudah belajar? Lagi-lagi tidak ada kata terlambat. Mulanya terasa berat tapi dengan kemauan merendahkan diri, belajar mengenal setiap sifat dan karakter masing-masing anak. Setahun aku berjuang memenangkan hati kedua anakku yang terbiasa dengan asisten ruma tangga.

Dan pada ahirnya akhirnya aku memenangkan hati mereka. Bayangkan diusia menjelang kepala 5, aku baru maerasakan nikmatnya diakui sebagai ibu. Bukan lewat perkataan tapi lewat kedekatan emosional. Aku bisa memeluk, mencium dan mendengar ocehan keduanya mengenai kegiatan keseharian mereka. Aku masih kerap menangis bila mengingat bagaimana akau menampik kedua anakku saat mereka datang ingin memeluk dan bercerita lantaran aku merasa lelah sepulang kerja.

Lalu apa maknanya Going to 30? Besar maknanya! Karena diusia itu aku tersadarkan pentingnya menyusun perencanaan hidup. 


Tulisan ini diikutsertakan pada Kontes 

3 comments:

  1. makasih mak Elisa atas partisipasinya..
    life is about learning ya mak.. :)

    ReplyDelete
  2. Benar banget. Hidup itu proses belajar yang tak pernah berhenti sampai berhentinya kehidupan itu sendiri.

    ReplyDelete
  3. setuju mbak..
    suka sekali dengan penyampaiannya

    ReplyDelete