Bahagia itu bisa tersenyum



Bahagia itu bisa tersenyum. Sesederhana itu. Ya, bisa tersenyum itu buat saya adalah kebahagiaan. Selanjutnya, apa yang bisa membuat saya tersenyum? Banyak dong. Tapi representatif dari semua kebahagiaan yang bisa membuat saya tersenyum, adalah saat bangun pagi, nyawa ini masih bersatu dengan raganya. Sehingga otak masih bisa mengirimkan sinyal untuk bersyukur yang membuat saya bisa tersenyum. Karena sejatinya, bersyukurlah yang membuat saya bahagia dan tersenyum. Lagian, sejak pandemi,  senyum tidak terlihat karena tersembunyi di balik masker.

Kebayang nggak, bila tidur malam adalah pertemuan terakhir dengan orang-orang yang kita cintai? Pernah ngak terbayang, saat pagi tiba, Tubuh kita sudah dingin dan kaku. Barangkali pemikiran semacam ini yang membuat seseorang melakukan, memeluk dan mengatakan rasa sayang pada orang-orang terdekatnya. bahkan mungkin ketika kematian melintas dalam benak, baru terpikir untuk minta maaf, menelepon orangtua/anak/pasangan. Selain minta maaf, juga memeluk mencium dan mengungkapkan rasa cinta/sayang. Tapi ketika kematian itu baru sebatas mimpi/fatamorgana, besok sudah kembali pada rutinitas keseharian.

Diawal-awal pandemi sejujurnya saya merasa senang. Karena bisa berkumpul dengan anak-anak. oh ya anak saya sudah remaja jelang dewasa. Itu usia di mana, rumah hanya tempat mandi, makan sesekali dan istirahat. lain dari itu mereka ada di sekolah, di tempat les, di gerej, di lapangan bola atau di jalanan bersama kawan-kawannya. makanya ketika diharus #Dirumahaja, sungguh suatu berkah. Anak-anak? Mulanya juga senang tapi lama-lama ya bosan juga. 

Sebenarnya sejak usia saya masuk kepala 4 yang katanya Life began at fourty, saya sudah mempunyai pemikiran waktu yang saya jalani adalah waktu menuju kematian. Lalu di masa menunggu kematian itu, saya mengharuskan diri saya melakukan hal baik. Sejak saat itulah saya merasa waktu nggak pernah cukup. Saya merasa belum cukup ,menjadi orang baik.

Menjadi orang baik bagi orangtua, saudara (kakak-adik) pasangan, anak, juga kawan-kawan. Di masa pandemi, saya dan kakak-adik, berbagi jadwal mengurus mama. Ini sungguh kebagiaan yang luar biasa, diberi kesempatan mengurus secara intens. Tahun 2020, adalah tahun di mana usia Mama, 91 tahun, ulang tahun terkahir di bumi. Kami menyelenggarakan syukuran hanya keluarga inti. Mama, anak-,mantu, cucu dan cicit. Ternyata itu adalah waktu yang paling pas, karena sejak itu, kondisi Mama menurun.

Oma bersama cucu dan cicit






Kami ber sepuluh (satu kakak, karena sakit tidak dilibatkan) bergantian mengurus Mama. Kami menghentikan asisten rumah tangga. Jadi kami anak-anak Mama, setiap hari berdua atau bertiga, datang atau menginap di rumah mama. membersihkan rumah, mengurus Mama, mandi, makan, BAK.BAB. ngobrol, bernyanyi, mendengarkan Mama bercerita. Cerita yang sama dalam sehari bisa diulang berkali-kali. Ini yang namanya bahagia. Bisa tersenyum, mengingat semua yang sudah dijalani. 

Banyak kawan-kawan yang menyesali belum sempat merawat, mengurus orangtua. Saya tidak bilang, kami sudah membalas apa yang pernah mama selaku orangtua berikan kepada kami. Itu tidak pernah cukup. Tapi saya mensyukuri karena saya dan kakak-beradik, setahun terakhir fokus pada mama bahkan 3 bulan menjelang Mama meninggal, kami, benar-benar ada di sekitar Mama. Nah ini yang awalnya saya dan kakak-adik pikir, memudahkan kami melepaskan Mama, ternyata Big NO.









Ternyata susah untuk ikhlas melepas orangtua meninggal dunia. Kami, kaka-adik saling menghibur dengan mengenang hal-hal lucu selagi Mama masih bersama. memang membuat kami tergelak tapi sesudah itu, lubang  dalam jiwa kami-masing-masing kosong, hingga terasa sangat sakit. Ternyata belum cukup rasanya waktu yang kami jalani bersama Mama.

Waktu yang menyembuhkan, nggak selamanya benar. Nggak menyembuhkan cuma mengurangi. Karena orangtua tak pernah tergantikan. Lubang kosong dalam jiwa ini ya diisi dengan memori-memori kebersamaan dengan orangtua yang diekpresikan dengan lebih memperhatikan/memngasihi sesama saudara, ke pasangan, ke anak-anak juga ke kawan-kawan.

Balik lagi kepemikiran saya, buat saya bahagia itu bisa tersenyum. Karena ternyata untuk tersenyum tulus yang lahir dari hati ya harus ikhlas. Bukan tersenyum, sebatas menarik tepian bibir agar mulut melebar. Tersenyum bahagia, terlihat juga dari ekpresi full diwajah. Bola mata yang bersinar, bentuk wajah yang juga menyenangkan. Itu bisa dikenal hanya oleh orang-orang yang yang bahagia juga. Karena nggak sedikit loh ada orang yang justru susah kalau melihat kita bahagia dan bahagia kalau melihat kita susah.

Jika bahagia saya, bisa tersenyum, apa bahagiamu kawan?



1 comment:

  1. betul mba, bahagia bisa sesederhana itu, dengan bisa tersenyum saja, sudah merasa bahagia

    ReplyDelete