Membersamai Anak, Investasi Jangka Panjang


Memiliki anak adalah bentuk ekspresi cinta kasih dan tanggung jawab. Walau tak sedikit yang tujuan untuk memiliki anak semata karena keyakinan dari agamanya. Bahwa berumah tangga untuk melanjutkan keturunan. Saya melahirkan anak pertama diusia yang tidak muda. Sulung saya, bocah kaki-laki,  lahir di tahun ke empat pernikahan. Dan Si bungsu perempuan, 3 tahun sesudah Si Sulung. 
Karena memang  diinginkan, maka saya dan Pak suami, menerima dan menjalani apa yang menjadi kewajiban sebagai orang tua. Saya pernah menuliskan surat untuk mereka. Bisa di baca di sini

Jika memiliki anak adalah bentuk ekspresi cinta dan tanggung jawab, maka membersamai anak adalah investasi jangka panjang, untuk dunia.
Kok untuk dunia? Ya, karena saya percaya anak-anak walau terlahir dari rahim saya sebagai ibu berkat pembuahan Pak Suami, sesungguhnya anak-anak cuma titipan. Mereka memiliki kehidupan masing-masing yang akan mereka jalani.

Atas anugerah Tuhan yang mempercayai kami,  sebagai orangtua, Saya dan Pak Suami berkomitmen membersamai anak-anak hingga saatnya nanti mereka tegak di atas kedua kakinya dan bisa mempertanggung jawabkan setiap pemikiran dan prilakunya.
Maksudnya? Bertanggung jawab, bukan cuma memberi makan, pakaian, tempat tinggal. Tapi juga memfasilitasi pendidikan dengan biaya dan pendampingan. Terlibat langsung dalam jenjang pendidikan dan pergaulan mereka. Menyediakan hati dan telinga sebagai orangtua, guru dan kawan. Berusaha memperkenalkan semua rasa emosi, senang, sedih, susah, kecewa, agar kaya rasa jiwa.

Apakah semua berjalan mulus? Oh tentu tidak. Mereka kami didik untuk berani menyampaikan pemikiran dan  pendapatnya sehingga tak sekali dua kali, kami beda pendapat. Bahkan bagi sebagian orang, mungkin aneh melihat saya dan Pak Su berdebat dengan anak. Apalagi saya dan Pak Su masih mendapatkan didikan dari ortu yang kiblatnya jadul. Pakemnya, jika orangtua bicara, anak harus diam dan mendengar. Cuma mendengar. Biar ditanya, tidak boleh jawab.

Itu tak berlaku dalam aturan keluarga kecil kami. Anak-anak punya hak berbicara dan menjelaskan keinginannya. Namun karena kami orangtua yang belum tentu lebih pintar tapi pasti punya pengalaman dan pengetahuan yang lebih maka kami masih selalu selangkah lebih tahu. Jika annak-anak benar atau alasan yang dikemukan bisa diterima secara rasional, saya dan Pak Suami mendukung.

Contohnya saat Si Bungsu jelang ujian akhir kelas IX. Ia menceritakan, beban belajar. Kami menasehati untuk lebih santai toh kami nggak menargetkan ia harus peringkat terbaik. Si bungsu bilang, ia perlu katarsis. Busyet, saya langsung meluncur di google, apaan tu katarsis. Si bungsu menjawab, saya mau menari. Saya dan Pak Su bertukar pandang, kami tak pernah melarangnya menari.

Si bungsu sudah menari sejak pre school di usi 3 tahun hingga lulus SD. Ia salah satu penari utama sekolah yang hadir untuk meramaikan acara atau lomba. Jenis tariannyapun, ala sanggar-sanggar tari. Modern dance. Bukan menari, tarian tradisional.

Di bungsu dengan lancar menyampaikan keinginannya mengatasi beban pelajaran sekolah dengan ikut sekolah tari. Saya dan Pak Su, bertanya, bukankah ikut sekolah tari akan menambah beban? Kamu bisa menari di rumah. Si bungsu, seolah mengajukan proposal menjelaskan panjang lebar dan detil termasuk sekolah tari pilihannya?

Saya dan Pak Su yang mulanya mendebat dengan mengatakan tak ada sekolah tari di wilayah tempat tinggal kita, terpatahkan. Si bungsu sudah searching da meminta kami mengantarnya untuk melihat dan mendaftar. Jadilah ia masuk sekolah tari, mempersiapkan ujian akhir dibarengi dengan resital tari. Ia membuktikan lulus dengan nilai baik, di terima di salah satu SMA terbaik dan sekolah tari berjalan baik-baik.

Tak jauh berbeda dengan Si Sulung yang juga memiliki kemauan sama kerasnya dengan Si Bungsu. Artinya saya dan Pak Su melibatkan diri dalam kehidupan anak-anak, bukan karena kelak mereka akan jadi jangkar buat kami di hari tua. Justru sebaliknya kami mempersiapkan mereka untuk menjadi pengayom masyarakat yang lebih luas. Mereka tahu, kami orangtua yang terbiasa mandiri dan kokoh. Berhati keras dan tegar dalam mempersiapkan mereka. 
Membersamai mereka bukan berarti ikut campur dalam aktifitas mereka. Kami tahu apa dan dengan siapa mereka bergaul. Kami mengenal kawan bermainnya, kami bertukar pikiran tentang situasi dan keadaan yang sedang terjadi di lingkungan kecil atau lingkungan luas. Tak ada rahasia antara orangtua dan anak tapi kami tak mencari tahu yang tak mau mereka ceritakan. Biarlah mereka memiliki rahasianya sendiri, selama semua terpantau dan terkondisikan baik.

Saya dan Pak Su, mendidik, mengarahkan, mengawasi dan mempercayai mereka. Jika mereka melakukan kesalahan, marahlah kami? Ya marahlah. Jangan lupa, orangtua juga manusia. Tapi bukan marah yang membabi buta. Marah sebagai ungkapan kecewa. Anak-anak juga harus tahu, kami sebagai orangtua bisa kesal, marah pun kecewa. Namun nggak mengubah peran dan tanggung jawab, artinya tetap kami diskusikan dan bicara setiap kemungkinan solusi. 

Sejauh ini, Saya dan Pak Su masih membersamai mereka. Keduanya sudah di perguruan tinggi, selangkah lagi mereka akan jadi anak panah yang akan lepas dari busurnya. Apa yang mereka lakukan, semoga berguna bagi diri mereka masing-masing dan lingkungan sekitarnya. Dan kami, ikut bahagia jika mereka bahagia. Mereka tahu benar, kebahagiaan mereka adalah hal utama bagi kami, orangtuanya. Karena Saya dan Pak Su sangat percaya, sesuatu yang dimulai dengan bahagia akan dijalani dengan bahagia walau gangguan dalam pencapaian kebahagiaan itu banyak. Tapi tetaplah bahagia apapun gangguannya. 



5 comments:

  1. Sebagai salah satu teman yang sering terlibat percakapan seru dengan dikau, dan ikut melihat tumbuh kembang mereka dari jarak jauh, melihat pencapaian mereka sungguh bahagia..

    Kalimat sukses bukan hanya dilihat dari pencapaian tapi juga saat pencarian dan proses terbukti di sini

    Cium sayang Bas dan Van

    ReplyDelete
  2. Eh Mamanya juga ... Papanya salim aja

    ReplyDelete
  3. halo mba salam kenal, saya juga ibu beranak dua, si sulung juli nanti menginjak usia 9 tahun dan sibungsu desember nanti 6 tahun, perjalanan masih panjang, saya juga berharap bisa terus membersamai mereka sebagaimana mbak mendidik dan dekat dengan anak anak, agak deg2an anak menuju pra remaja ..terutama karena si sulung anak laki-laki, saya jadi penasaran mba, bagaimana pendekatan terbaik bicara dgn anak laki2 misalkan ketika mereka mulai tertarik lawan jenis, apalagi pergaulan zaman skrg yang kadang membuat saya khawatir..kapan2 kapan bs share tips nya ya mba, salam dari Turki

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai, salam kenal dterima. Senang kamu mau mampir di catatan ini. Tiap masa pertumbuhan selalu ada problem yang harus dicarikan solusinya. Nanti saya tuliskan bagaimana menghadapi Si Sulung yang tanya boleh pacaran atau nggak.

      Delete