DISKUSI KUMPULAN CERPEN SOBRON AIDIT

DISKUSI KUMPULAN CERPEN SOBRON AIDIT

”Seorang pengarang tidak akan berhenti mengarang atau menulis hanya karena di kritik” demikian prinsip Sobron Aidit, si Sastrawam kelayaban-Istilahnya Gus Dur. Pernyataan tersebut disampaikan Sobron dalam acara peluncuran buku Prajurit Yang Bodoh terbitan Gramedia, Jumat 3 November 2006 di Bentara budaya.

Malam itu, Bentara Budaya berdandan cantik. Di depan gedung utama, terpampang spanduk besar dengan warnsa dasar merah bertuliskan ”INDONESIA DI SUATU MASA DALAM CERPEN SOBRON AIDIT”. Lalu di bawahnya ada keterangan: Diskusi buku Razia Agustus dan Prajurit yang Bodoh karya Sobron Aidit, Bentara Budaya Jakarta. Jumat 3 November 2006, pk. 18.30-21.00.

Saya tiba sekitar pukul tujuh kurang seperempat. Seputar Bentara Budaya dihiasi gelas-gelas berisi cairan berwarna merah dan ditengahnya ada nyala api. Pokoknya keren abis! Mulanya saya deg-deg-an soalnya tidak punya undangan. Saya tahu acara ini karena melihat undangan yang ditujukan untuk ipar saya yang juga seorang penulis.

Waktu saya tahu ada, acara tersebut saya langsung menghubungi Pak Sobron dan bertanya kok saya tidak di undang. Menurut Pak Sobron, acara ini diselenggarakan oleh Gramedia sehingga undanganpun di atur Gramedia. Tapi menurut Pak Sobron saya boleh datang.

Di milis Apresiasi Sastra saya membaca undangan tersebut ditujukan untuk semua orang, jadi saya pikir datang tanpa undangan tidak jadi masalah. Di pintu masuk, saya disambut perempuan cantik yang akhirnya saya ketahui bernama Mba Mirna yang menjadi MC.

Saya disambut ramah. Setelah mengisi daftar tamu, saya langsung menjumpai Pak Sobron yang sedang duduk dengan Bunda Nunung (Adk iparnya alm. Pramoediya Ananta Toer). Makan malam soto kudus lengkap dengan emping dan lemper serta fruit pie, memanjakan perut-perut undangan. Kami sempat ngobrol sebentar lalu acaranyapun di mulai.

Di buka dengan ucapan selamat datang dan terima kasih dari pihak penyelenggara dalam hal ini Gramedia kepada Pak Sobron dan para tamu. Di lanjutan dengan lagu Edelweis yang dinyanyikan Michele dan Toto dari Gramedia lalu lagu Pergi Untuk Kembali di suarakan Ratih Purwasih, penyanyi era 80-an.

Menurut Ratih, judul lagu ini memang ditujukan untuk Pak Sobron yang ”Pergi untuk Kembali” maka malam ini Pak Sobron ada di Indonesia lagi. Lalu pasangan Michele dan toto kembali menyanyikan Lagu dalam bahasa belanda dengan judul ”Nasi Goreng”. Menurut Pak Sobron, lagu itu memang selalu diperdengarkan di Restauran Indonesia, milik beliau dan teman-temanya di Paris.

Selanjutnya Ratih Kumalasari, penulis muda yang karyanya juga di terbitkan Gramedia, tampil membacakan cuplikan-cuplikan dari 2 cerpen Sobron berjudul Naturalisasi 2 dan Ziarah! Diskusi di pandu Fajroel yang kumpulan puisinya juga diterbitkan Gramedia.

Di pembukaan sang moderator mengajak peserta berdiskusi mencermati kumpulan cerpen Sobron dari dua sisi. Pertama di apresiasikan sebagai penikmat sastra atau yang kedua di kritisi sebagai kritikus.

Rasanya malam itu, semua yang hadir belum bisa sebagai kritikus. Walau yang hadir berkisar 100 orang namun rata-rata penulis muda. Hadir juga Martin Aleida, penulis Kumpulan cerpen Leontin Dewangga. Ketika di minta komentaranya, Martin hanya mengatakan Seorang Sobron harusnya lebih berani terbuka. Dalam tulisan-tulisannya. Sobron tidak menuliskan dengan jelas tokoh yang disebutnya Amat! Kalau Sobron lebih detil menjelaskan siapa si Amat ini, tulisan-tulisannya jauh lebih hidup. Karena Amat yang dimaksud Sobron adalah Dipa Nusantara Aidit! Yang memang nama aslinya Amat dan adalah kakak dari Sobron Aidit.

Begitu pula tokoh ayahnya, seharusnya Sobron menjelasan kalau tokoh ayah dalam cerpennya bernama Abdullah Aidit merupakan perwakilan daerah di parlemen bukan anggota PKI. Sehingga pembaca jelas dan bisa melakukan penilaian terhadap peristiwa ataupun terhadap sosok si tokoh.

Martin juga menceritakan sepotong masa lalunya bersama Sobron. Jika tulisan Sobron diperdebatkan sebagai cerpen atau memoar mengenai perjalanan hidup namun yang pasti Sobron mengakui apa yang dituliskan semua benar-benar terjadi. Jadi bukan rekaya imajinasi. Sehingga menurut Martin, Sobron harusnya menceritakan juga kisah ketika mereka kos bersama-sama di Jalan Gondangdia, dimana tempat kos mereka persis bersebelahan dengan ”rumah call girl”

Menurut Martin, sebagai anak muda yang baru berusia 20 an, jika melihat gadis cantik tentu merasa ”gatal”. Kontan undangan langsung tertawa. Sehingga sekali watu, lanjut Martin. Bersama sesama penghuni kos yang lain, Martin memanjat atap rumah untuk melihat ke rumah sebelah! Martin tidak menjelasan apa yang di lihat. Martin mengatakan, sebenarnya Sobron juga pastinya berniat melihat cuma karena beliau kegendutan sehingga tak bisa memanjat maka beliau tidak ikut kebandelan sesama anak kost!’ Gelak tawa hadirin sempat beberapa detik memenuhi ruangan. Pak Sobron pun tergelak-gelak tapi tidak mau mengomementari.

Seorang penulis muda Eka Kurniawan yang kumpulan cerpennya akan diterjemahkan ke bahasa Jepang juga mengapresiasi tulisan Pak Sobron. Menurut Eka, lebih mirip sebuah memoar. Namun sebuah cerpen memang bebas dituliskan dengan berbagai bentuk dan semua itu tidak lepas dari diri si penulisnya.

Memang membaca tulisan-tulisan seorang Seorang Sobron Aidit tidak bisa lepas dari biografi si penulisnya. Sobron sendiri mengakui sebagai seorang pengarang, ia hanya coba untuk jujur menuliskan apa yang di lihat, dan apa yang di rasa. Bagaimana akan ditanggapi terserah pada yang menanggapi. Bagi seorang Sobron kebebasan, kretifitas dan keberanian sangat penting. Tugas seorang pengarang menurut Sobron adalah membuka, mengungkap dan membentangkan kepada pembaca mengenai semua peristiwa atau perasaan yang dilihat, dialami dan di rasakan. Dan yang tak kurang pentingnya adalah kejujuran ketika megungkapkan semua itu.

Ketika ditanyakan kepada Sobron tanggapan beliau terhadap penulis generasi sekarang. Dengan terlebih dahulu minta maaf, Sobron mengatakan, beliau tidak terlalu bisa mengikuti cerpen yang ditulis generasi sekarang karena beliau kesulitan dari segi bahasa. Beliau masih bisa mengikuti cerpen-cerpen Seno GA tapi sulit mengikuti cerpen Jenar Mahesa Ayu atau Fira Basuki.

Salah seorang penulis Nurdin yang mengaku tidak menyukai karya Sobron maupun karya Seorang Pramoediya Ananta Toer karena merasa penjelasannya terlalu bertele-tele. Bahkan Nurdin menduga, orang yang menyukai karya Sobron atau Pram disebabkan ketika menjelajah dalam karya keduanya diiringi penjelajahan wacana politik mereka. Walau mengaku tidak menyukai karya Sobron maupun Pram, namun di akhir acara saya melihat., ia membeli buku dan meminta tanda tangan Sobron Aidit!

Isti Nugroho, seorang ativis mahasiswa tahun 80-an yang sempat mendekam 8 tahun penjara Orba lantaran ketahuan menjual buku-buku karya Pram, turut mengomentari tulisan Sobron dan Pram. Ia mengatakan dengan membaca tulisan Sobron maupun Pram tidak lantas secara otomatis mejadikan ia percaya pada Marxisme, Leninisme ataupun Komunis. Bacaan-bacaan yang ada berguna menambah wawasan pengetahuan.

Diskusi berjalan dengan baik, sayang seorang Sobron tidak terlalu menanggapi komentar-komentar para hadirin. Sobron hanya mengatakan ia menerima semua yang dikatakan orang tentang tulisannya dan itu akan memacunya untuk terus menulis. Di akhir diskusi sebelum Sobron membacanya satu cerpennya yang lebih tepat saya katakan ia menceritakan cerpennya karena disampaikan dengan cara bertutur yang enak, seperti ketika kita sedang mengobrol.

Sobron mengatakan seseorang tidak boleh anti dan fanatik karena semua bisa berbalik. Yang paling baik adalah sederhana baik dalam bersikap maupun berpikir namun yang sederhana itu tidak mudah dijalani dan Sobron masih terus untuk menerapkan pola sederhana dalam hidupnya. Dalam arti tidak ingin memikirkan yang rumit walau masih kerap merasa paranoid jika ada yang mengamatinya.

Acara diskusi usai setengah sembilan dilanjutkan dengan penadatanganan buku untuk penggemar-peggemarnya. Bagi saya tulisan-tulisan Sobron Aidit, menunjukkan semangat beliau. Dalam mengungkapkan semua rahasia hidup dan kehidupannya, dimana kita bisa belajar dari pengalamannya tersebut. Banyak nilai-nilai kemanusiaan yang dijabarkan di setiap tulisannya. Tanpa tendensi apa-apa Sobron menulis, semata mengikuti kata hati sekaligus menggenapi cita-citanya sebagai pujangga. Saya senang bisa mengenal seorang Sobron Aidit (Jakarta 6 November 2006, Icha koraag)

1 comment:

  1. Anonymous1:38 AM

    Mbak Elisa,

    Yang ini juga sangat baik kalau dikirim ke KabarIndonesia.

    T e r i m a k a s i h !!!!!

    ReplyDelete