(Komentar) Kekecewaan penonton Film Ayat-Ayat Cinta


Salah satu sebab saya lebih suka membaca daripada menonton film, adalah karena saya lebih suka membiarkan imajinasi saya berkembang. Membaca merangsang si pembaca memainkan imajinasinya. Bahkan harus optimal hingga bisa membuka wacana pemikiran lain dari apa yang di bacanya.

Saya percayalebih baik menonton dulu baru membaca novelnya. Persoalannya jika anda sudah menonton baru membaca, imajinasi anda sudah terbatas karena sudah mendapat stimulus. Misalnya. Tokoh utamanya yang digambarkan dengan kata-kata oleh si penulis tidak lagi bisa kita bayangkan dengan imajinasi kita karena gambar fisik tokohnya sudah kita tahu si aktor anu! Mau membayangka seperti apapun, stimulus awal sangat berperan menentukan sekaligus membatasi imajinasi kita.

Begitu juga untuk dialognya. tidak akan hidup dan menyentuh kalau kita belum lihat gambaran di layar film. Dari jaman dulu, sudah banyak novel yang diangkat ke layar putih, saya tidak tergoda untuk menonontonnya.

Kalau saya menononton film yang diangkat dari novel dan novelnya suda saya baca, tidak ada keinginan saya untuk mebandingkannya, karena sampai bodohpun tidak akan ada titik temunya, alih-alih jadi kecewa. Padahal tujuan/niatnya membaca dan menonton untuk menghibur dan memperluas wawasan hidup.

So, nikmati saja, toh kita tidak harus menjadi kritikus. Namun satu hal yang patut kita acungi jempol dari film Ayat-Ayat Cinta mampu memutar balikan pasar film bioskop. Contohnya berapa banyak majelis taklim yang menjadi film ini sebagai salah satu kegiatan aktifitas mereka akhir-akhir ini. Coba anda keliling bioskop, pasti terlihat rombongan ibu-ibu berseragam sama dari berbagai majelis taklim

Sebagai khasanah hiburan, jika ada yang bisa menjadi pembelajaran silahkan di petik. Kalau tidak sependapat, kita kembalika pada ingatan kalauseorang Hanung Bramantyo tidak akan mampu mengakomodir semua interpretasi ribuan pembaca novel AAC.

Barangkali sang penulis juga kecewa karena hasilnya jauh sekali dari apa yang tergambar dalam Novelnya, tapi coba anda baca, kendala dan tantangan yang dihadapi ketika memproduksi film ini. bahwa apa yang diungkapkan/dituliskan si penulis kenyataannya tidak semua seindah apa yang di tuliskan Artinya hal tersebut indah karena imajinas si penulis dan pembaca. Ketika Mas HB menuju loksi seperti yang digambarkan, ia tak mampu menangkap keindahan itu sehingga banyak lokasi shooting dipindahkan ke Semarang (Lokasi kota tua/lama) dan ke India. Dari sini saja jelas tergambar, memang sulit meterjemahkan novel ke film walau bukan berati tidak bisa.

Icha,
Taman Pinang Indah 6 Maret 2008

1 comment:

  1. Anonymous5:10 PM

    Rata-rata penonton sinetron tersebut mang kecewa dengan kemasan film yang dramatisasinya jauh di bawah novelnya. Akan tetapi bagi sebagian orang yang belum sempat membaca novel kang Abi tentang AAC ya.......menilai sinetron tersebut jos.......

    ReplyDelete