Pada suatu sore di sekitar
kawasan puncak, saat mentari perlahan turun di ufuk barat, bias merahnya masih
mewarnai langit. Sepoi angin dingin tak menghalau kehangatan mentari, walau
yang pasti saat malam menjelang kehangatannya kan pudar dan berganti dengan
dinginnya malam. Beberapa orang duduk di kedai kopi. Menikmati minuman hangat
dan permandangan Senja.
Di seberang kedai nampak pengemis
duduk sambil berharap sedekah dari orang yang lalu lalang. Ada dua orang
laki-laki muda dalam kedai kopi yang mengarah ke seberang jalan, dimana
pengemis duduk. Tiba-tiba terdengar deru suara mobil, dari arah kiri muncul
sebuah sedan merah dengan kecepatan sedang. Sedan itu melewati si pengemis.
Tiba-tiba sedan itu meningkatkan kecepatan yang sayangnya karena di depan
tikungan, sedan itu meluncur tanpa hambatan ke jurang.
Orang-orang masih terpesona,
tiba-tiba terdengar deru mobil lagi dari arah kiri. Kali ini dipacu perlahan.
Tak disangka, pengendara sedan berhenti sesaat tepat di depan pengemis dan
membuka jendela. Karena jalanan di depan macet akibat orang melihat mobil yang
masuk jurang, si pengemudi sedan kedua turun dan memberikan uang langsung ke
tangan pengemis.
Perlahan namun pasti, kerumunan
orang mulai bubar. Pengemudi sedan keduapun meluncur menembus kumpulan
orang-orang lalu hilang di kejauhan. Kedua orang muda yang dengan serius
menatap drama satu babak, sama-sama menarik nafas panjang dan menghembuskan
perlahan. Keduanya bertukar pandangan dan senyum.
Drama satu babak yang disaksikan
kedua orang muda tadi, mengubah jalan kehidupan mereka. Orang muda pertama,
sebut saja Kelana dan orang muda kedua sebut saja Kembara. Sejak menyaksikan
drama kehidupan satu babak di sore itu, keduanya mempunyai ritual yang sama.
Yaitu sama-sama memberikan sedekah setiap berjumpa dengan pengemis. Yang
membedakan hanya alasan dan motivasinya. Keduanya hidup sukses dan bahagia.
Kelana beralasan, dengan
memberikan sedekah pada pengemis, maka umurnya akan dipanjangkan. Sama seperti
Pengemudi sedan kedua yang memberikan sedekah pada pengemis dan selamat dari
jurang.
Kembara pun melakukan yang sama,
dengan memberikan sedekah pada setiap pengemis yang dijumpai, bukan karena ia
ingin umurnya dipanjangkan seperti pengemudi sedan kedua. Ia memberikan sedekah
dengan alasan, ini adalah kesempatannya beramal. Kesempatan beramal hanya
dimiliki orang yang hidup. Jika ia meninggal, ia tidak akan punya kesempatan
itu. Jadi Kembara memutuskan akan terus beramal, selama hidupnya.
Kelana dan Kembara menyaksikan
drama kehidupan satu babak, merubah jalan dan keyakinan hidup mereka dari
contoh nyata yang sama. Akal, budi, kemampuan dan pengalaman Kelana dan Kembara
yang tak sama, membuatnya menarik kesimpulan yang tidak sama pula. Namun
keduanya melakukan hal yang sama-sama namun dengan motivasi dan tujuan yang
berbeda.
Demikian pula dengan jalan
kehidupan manusia. Seringkali kita protes bahkan marah pada sang pencipta
karena kita menilai IA tidak adil. Kita merasa sama-sama punya latar belakang
pendidikan sama, ketrampilan yang sama, kemauan yang sama tapi mengapa orang
lain menurut kita memiliki nasib lebih baik dari kita.
Semua itu tak lepas dari
batasan-batasan yang kita bangun dalam benak kita. Kita Tidak pernah membiarkan
tuntunan Tuhan yang menjadi acuan kita. Walaupun kita memiliki dua tangan, dua
mata, dua kaki, dua telinga, satu hidung, satu mulut, satu otak, namun Tuhan
punya rencana berbeda untuk tiap ciptaanNya. Jadi yakinlah, walau banyak hal
tentangNya yang tidak kita pahami, hal itu tidak akan membuat kita jatuh selama
kita berjalan dalam kebaikan dan kebenaran sesuai ajaranNya. Dengan menjadikan
IA pegangan/tuntunan dalam perjalanan kehidupan kita, niscaya kita akan menjadi
pemenangnya. (17 Mei 2010. Pk. 13.50)
Nice artikel mi
ReplyDeleteSetuju bun setidaknya kita harus ikhlas dan berusaha agar menjadi sukses seperti orang lain.
ReplyDeletetulisannya bagus mbak, menginspirasi...
ReplyDelete7 tahun lalu. hmmm... sy belum kenal blog. -_-
ReplyDelete