Palu Kota Yang Menggoda






Terakhir aku menginjak kota ini, sekitar April 2008, saat aku bertugas melakukan Audit service kualitas untuk sebuah perusahaan provider jaringan seluler. Dan kini kembali aku menginjak kaki di kota Palu. Ibukota propinsi Sulawesi Tengah.


Kali inipun aku mengunjungi kota Palu dalam rangka tugas.

Teman-teman satu teamku, banyak bertanya seputar kota-kota di Sulawesi umumnya dan Palu khususnya. Dari Jakarta kami berangkat 2 team.

Team pertama 3 orang dengan pesawat Sriwijaya Air, transit di Kota Balikpapan. Aku dan teamku terdiri dari 4 orang dengan Lion Air transit di Makassar.

Selisih waktu keberangkatan kami hanya beberapa menit, maka kedatangan kamipun hanya selisih beberapa menit. Kami mendarat di Bandara Mutiara Palu sekitar pukul 13.30 siang waktu Indonesia Tengah dan bertemu dengan Team pertama. Karena kami berbeda hotel, maka kamipun berpisah di bandara untuk besok pagi bertemu di tempat pertemua yang sudah disepakati.

Tapi kedatanganku kali ini di Palu jauh lebih berkesan karena 2 tahun lalu aku keliling seluruh Sulawesi, seorang diri. Mulai dari Sulawesi Selatan (Makassar, Bulukumba, Bone, Sengkang, Pare-pare, Palopo, Toraja, Sorowako termasuk Mamuju yang kini sudah menjadi bagian dari Sulawesi Barat) Luwuk Banggai, Palu, Toli-toli, Kendari, Kolaka, Menado, Bitung, Tomohon, dan Tondano). Sendiri memang menyenangkan tapi jauh lebih menyenangkan bila memiliki teman perjalanan.

Hal yang menjadi kekaguman ketika kaki ini menginjak bandara Mutiara Palu, adalah nuansa awan putih di langit biru. Seorang kawanku dari team pertama dalam jurnalnya ia menceritakan, dalam hati tak henti ia menyenandungkan lagu Kulihat awan seputih kapas. Karena menurutnya, tak pernah ia bisa melihat putihnya awan di langit biru di atas kota Jakarta. Aku setuju dengan pendapatnya. Polusi udara sudah menghilangkan putihnya awan di langit biru. Mata kita hanya memandang gumpalan asap hitam knalpot kendaraan bermotor.

Jadi tak heran bila banyak orang yang merasa tertekan hidup di Jakarta. Apa yang terlihat dan dialami semua jauh dari ketenangan dan kenyamanan. Sementara di sini di kota Palu. Dengan jumlah kendaraan bermotor yang tak terlalu banyak, kota ini terasa lengang untuk ukuran ibukota propinsi. Yang terasa hingga ke dasar hati adalah adalah pengakuan betapa indanya kota ini.
Kota Palu dikelilingi teluk dan pegunungan. Dua pemandangan langsung dapat dinikmati, laut dan gunung.

Pegunungan Gawalise adalah penggunungan yang mengelilingi kota Palu. Hanya sekitar 15 menit perjalanan dengan mobil, kita bisa melihat keindahan kota Palu lengkap dengan jembatan lengkung yang merupakan jembatan lengkung ke 3 di dunia setelah Jepang dan Prancis. Jembatan lengkung ini diresmikan Mei 2006 oleh Presiden SBY. Jembatan ini memisahkan Palu Barat dan Palu Timur. Kota Palu merupakan alah satu penghasil Coklat terbaik. Selain itu masih ada bawang goreng yang sudah dieksport. Bawang merahnya dikenal dengan istilah bawang batu, bawang merah yang berbeda dari yang biasa dihasilkan Kota Brebes.

Di kota ini pula tidak boleh dilewatkan wisata kuliner. Masakan khas sekaligus yang menjadi kebangaan warga Palu adalah Kaledo, yaitu masakan sejenis sup terbuat dari kaki sapi. Menjadi istimewa karena satu porsinya sangat besar. Tapi kelezatannya memang tak terlupakan. Yang terkenal ada di Jalan proklamasi tapi masih jauh lebih lezat Kaledo Loli, Kaledo yang di jual didaerah Loli, di disebuah wilayah yang dilalui ketika menuju Donggala.

Donggala Palu tidak berjarak jauh, dengan mobil di kecepatan 60 km kurang dari satu jam kita sudah bisa tiba di Donggala yang dikenal dengan sebutan kota Antik. Di Donggala pula terletak pantai Tanjung Karang, pantai pasir putih yang membuat bibir ini tak putus mengagungkan kebesaran Sang Pencipta. Laut biru, pantai pasir putih dikelilingi perbukitan hijau dinaungi putihnya awan di birunya langit. Setelah bibir ini berseru memuliakan Sang Pencipta, maka perjalan dilanjutkan dengan mengeliling teluk dengan perahu yang memang disediakan untuk wisatawan. Dengan Rp. 50.000 rupiah kami ber 6 memuaskan mata, menikmati permandangan yang entah kapan dapat kami lihat lagi. Angin asin membelai kulit, menerpa rambut terasa nikmat sampai ke dalam jiwa. Perlahan namun pasti, semburat merah membias langit.

Mentari perlahan masuk ke perut bumi, meninggalkan sedikit bias merah di sisa-sisa langit biru. Dan malampun turun membekap bumi Tanjung Karang. Hanya sekitar 1 jam menikmati Tanjung Karang tapi terlalu panjang kisah cerita yang tertinggal di memori ini. Sarana canggih kamera digital mengabadikan keindahannya. Tuk di bagikan kepada semua orang, agar jangan ragu mengunjungi Kota Palu. Kota kecil nan menggoda di Sulawesi tengah.

.

1 comment: