DENDAM PADA PENCOPET (Bag. 1)


Judul tulisanku tidak bercanda. Aku serius. Ya aku serius! Aku sadar betul, mendendam adalah sifat yang kurang baik, malah tidak baik tepatnya. Aku sudah mengalami nyaris kecopetan berkali-kali dan sukses kecopetan dua kali. Jadi jangan ditanya seberapa besar dendamku pada pencopet.

Jaman aku mahasiswa, angkutan umum menjadi sarana transportasiku.  Sejak SD, SMP dan SMU semua area sekolah dapat ditempuh dengan jalan kaki alias berada di sekitar perumahan tempat tinggalku. Tapi begitu harus melanjutkan kuliah, kebetulan perguruan tinggi pilihanku jaraknya cukup jauh, aku harus menggunakan tiga kali angkutan umum.

Dari tiga kali angkutan umum yang aku tumpangi ada dua terminal bis yang harus disinggahi. Pertama Blok M, kedua Pasar Minggu. Aku tinggal di kebayoran lama dan Kampusku berada di Lenteng Agusng. Lumayan jauh, eh bukan lumayan tapi emang jauh bo!

Nyaris kecopetan pertama terjadi di terminal Pasar Minggu. Angkutan umum Pasar Minggu-Depok namanya Miniarta. Kondisi sudah penuh, tapi tak banyak yang berdiri jadi aku  naik dan berdiri. Aku punya kebiasaan tidak mengeluarkan dompet dalam angkutan umum. Untuk ongkos angkutan, sudah aku siapkan di saku celana. Menyandang tas kecil berisi dompet dan alat tulis serta tangan satu memegang map dan tangan satu lagi berpegangan pada tiang miniarta.

Saat kendaraan mulai bergerak dan keluar dari terminal, banyak penumpang baru naik. Alhasil lumayan penuh. Tak pernah terpikir akan di copet atau bahwa di kendaraan umum ada peluang di copet, aku santai saja. Pada saat sopir mengerem, otomatis sedikit ada goncangan dan entah mengapa, dengan tangan yang memegang map, aku menekan tas di perut.

Loh kok tas ini terasa gendut. Waduh, lutut langsung terasa tak bertulang. Jantung berdetak lebih cepat, karena ternyata ada tangan dalam tasku.  Langsung aku melepas pegangan pada tiang Miniarta dan menangkap tangan pencopet dalam tas. Dengan kekuatan yang dipaksakan dan setengah gemetar, aku mau membentak tapi yang keluar, " Kamu mau mencopet yah?"

Si pencopet langsung menarik tangannya tapi kutahan. Beberapa penumpang mulai memperhatikan. Kebaranianku  datang. Aku katakan "Kamu pikir mahasiswa punya banyak uang?". kali ini si pencpoet menarik tangannya dengan kencang dan aku melepaskannya hingga badan pencopet miring. Akupunpun berteriak lebih keras. "Kiri pir, ada copet mau turun!"

Sungguh aku tak pernah berpikir keselamatan lain, selain dompet. Karena jarak Lenteng Agung-Kebayoran lama bukan jarak yang dekat jika harus ditempuh dengan jalan kaki. Padahal menurut Eko Hendrawan, Chief Editor Entertainment Kompas.com, penulis Buku Woman Self Defense of Kushin Ryu, Saat aku mengikuti Kompasiana Blogshop dan Roadshop Negeri 5 Menara di Bandung, Sabtu 11 Maret 2012.  umunya  pencopet  tidak pernah sendiri. Minimal pencopet itu berdua bahkan sering lebih banyak lagi.

Setelah pencopet turun, aku memeriksa tas. Jantung ini kembali berdebar keras manakala aku tidak menemukan dompet. Oh dompetku sayang, diriku malang pikirku nyaris menangis. Tiba-tiba aku tersadar. Dompetnya tidak ada dalam tas tapi ada disaku belakang celana jeansku. Kali ini aku tersenyum karena dompetku selamat. Tapi tidak pada kali selanjutnya.  (Ikuti ceritaku di Bag, ke 2)
Kamarku: Kreo, 16 Maret 2012.
Aku ngbelog maka aku bahagia.

No comments:

Post a Comment