Batik dan Nasionalisme alm. Papa


Dalam salah satu tulisan yang saya sertakan dalam sebuah lomba penulisan mengenai "Saya paling Jadoel", saya menceritaka sebuah foto  bergambar saya beserta kakak dan adik memakai baju berbahan batik. Foto itu menjadi istimewa karena:

Pertama usianya hampir 40 tahun, diambil pada natal tahun 1973 Bisa diketahui karena adik bungsu saya yang kembar masih bayi 8 bulan (Lahir April 1973).

Kedua, saya, adik dan kakak-kakak memakai baju berbahan batik.

Ketiga, baju batik yang kami kenakan hasil jahitan alm. Papa

Kami bergambar ber-8 dari 11 beraudara yang semuanya peremuan

Papa mendapat ketrampilan menjahit saat di tahanan. Kisahnya bisa di baca di link di atas.

Batik memang salah satu jenis kain warisan leluhur budaya Indonesia. Walau batik berasal dan di rintis masyarakat Jawa namun batik setelah disyahan Unesco sebagai salah satu warisan budaya dunia, menjadikan batik sebagai bahan busana nasional. Bahkan jauh sebelum Unesco menetapkan batik sebagai warisan budaya duia, pemerintah telah menetapkan satu hari kerja dalam seminggu harus menggunakan busana dari bahan batik. Sebagai upaya mencintai budaya dan produksi negeri sendiri.

Padahal dulu melihat orang memakai baju berbahan batik kalau perempuan terlihat (maaf) "kampungan" dan yang laki-laki terlihat seperti "mas-mas/om-om". Pokoknya "enggak banget deh".

Kami bukan berasal dari Jawa. Oma (ibunya alm.Papa) memang orang Purwokerto tapi Opa berasal dari Menado demikian juga dengan Oma-Opa dari Mama. Alm. Papa dan Mama saya memiliki kolesi pakaian berbahan batik sangat banyak.  Mungkin karena bukan orang Jawa, Mama kalau pergi dengan Papa menghadiri pesta pernikahan tidak memakai kebaya dan kain panjang tetapi memakai gaun berbahan batik. Padahal era 70-80, berbusana kebaya, dilengkapi kain batik panjang (jarik) plus selendang adalah busana wajib yang dikenakan para ibu saat menghadiri pesta pernikahan. Jarang sekali pada masa itu (Era 70-80) ada yang memakai pakaian berbahan batik. Kecuali kaum lelaki memang umum menggunakan kemeja batik.

Seingat saya waktu Oma dari Papa meninggal. Beliau meninggalkan beberapa kain panjang. Menurut saya waktu itu sungguh tidak menarik. Dominan  berwarna hitam dan coklat. Salah satu kain panjang itu  dipakai Mama tahun 1982 waktu menghadiri wisuda kakak saya  di IPB Bogor.

Nah balik ke foto yang saya ceritakan di atas. Itu tahun 1973, Papa sudah memilihkan dan membuatkan pakaian berbahan batik sebagai pakaian  yang akan kami pakai saat Natal. Saya suka ngambeg (merajuk) Di foto saya berdiri di belakang karena  saya tidak suka dengan motif dan warna baju batik. Warrnanya kan dominan coklat dengan motif daun atau apalah saya tidak paham. Pokoknya di mata saya yang baru berusia 8 tahun, baju itu tidak bagus.

Baju yang saya ingikan yang seperti baju anak-anak pada umumnya, berenda seperti putri dan berwarna-warni pink, biru atau putih. Tapi Papa, namanya mantan tentara tetap saja keras dan tidak dapat di tawar. Untung Mama memahami kami, Mama membelikan bahan polos berwarna untuk di gabung dengan bahan batik. Jadilah bajunya berkombinasi  atasnya merah dan bagian bawahnya batik berwarna coklat. Lumayanl ada warnanya cerahnya. Di gambar terlihat  salah satu kakak saya di pinggir kanan, bagian atas bahan polos berwarna biru, bawahnya dipadu dengan batik. Begitu juga baju yang saya pakai, atasnya merah, bawahnya batik.

Tapi sekarang, saya punya koleksi batik yang cukup banyak. Saya baru sadar, kebiasaan alm. papa menyeragamkan kami dalam berpakaian membuat saya sampai saat ini sekeluarga selalu menggunakn baju samaan.Untuk kesempatan istimewa, seperti Natal, Lebaran atau Ultah Mama.


 Foto ultah Mama ke 82 tahun, 2011.
Saya yang duduk di sebelah kanan memakai blouse berwarna tosca
 

Saya baru menyadari alm. Papa sangat berjiwa nasionalis. Di saat orang belum menunjukan penggunaan produksi dalam negeri, alm Papa sudah melakukannya. Kecintaannya pada batik dan sebagai orang Indonesia bukan semata karena beliau  prajurit yang turut angkat senjata mendukung perjuangan menuju kemerdekaan. Tapi alm Papa memang sangat bangga menjadi orang Indonesia. Saya ketahui dari catatan di balik koleksi foto-foto Papa. Papa orang yang suka memotert. Di balik salah satu yang menggambarkan permadangan kebun kelapa di Menado tertulis: "Tidak ada permandangan seindah permandangan negeriku Indonesia tercinta. Yang untuknya aku rela mati!".

Postingan ini diikutsertakan dalam Giveaway Catatan Akhir Pekan dengan Tema Aku Cinta Batik Indonesia.

1 comment:

  1. dulu org kayaknya malu berbatik ya.. sekarang bangga.. alhamdulillah :)

    ReplyDelete