Menghadapi Gerakan Tutup Mulut Pada Anak


dr. Wiyarni Pambudi, Sp. A(K)


Walau saya sudah memiliki anak usia jelang remaja, saya tetap rajin mengikuti kelas parenting. Minggu lalu saya menghadiri kelas parenting di Hotel Veranda, Jakarta Selatan. Kegiatan ini  diselenggarakan oleh Blibli.com, Tiga Generasi dan Mumsandbabies.id.

Memasuki hotel Veranda, saya berjalan tenang sambil memperhatikan sekeliling. Sopalnya lokasi hotel ini, dulu sempat menjadi bioskop. Tahun berganti tahun situasi berubah dan lokasi ini mejadi hotel berbintang yang berdiri megah.

Memasuki lobi, tidak terlalu ramai. Bahkan saya sempat ragu, tujuan saya benar atau salah.  Saya melangkahkan kaki ke meja informasi/resepsionis dan bertanya lokasi acara bli-bli.com. Lokasinya satu lantai di atas. Berbegas saya menaiki tangga, lamat-lamat telinga saya menangkap keriuhan music dan suara ramai orang bercakap-cakap.

Satu kata Wow! Begitu tiba di lantai atas, tengok ke kiri ada tempat pendaftaran terlihat meriah-banyak orang dan hiasan. Setelah mendaftar lalu dipersilahkan masuk dan cari sendiri kelas 2 parenting di ruangan Oakwood. Suasan terlihat seperti karnaval karena hiasan aneka warna dari booth yang ada. Sayang, menurut saya ruangan jadi terlihat sempit. Untuk anak-anak harusnya ruangannya lebih luas. Maka yang saya rasa adalah pengab. Bahkan untuk lalu lalang, kita harus bersentuhan dengan orang lain.

Jujur saya nggak mengira suasananya ramai banget. Menurut saya walau tema yang di bahas mengenai anak, tetap nggak pas kalau membawa anak-anak. Tetap saja terasa mengganggu. Di luar kelas ada tempat anak bermain tapi para prtu yang terlihat datang berpasang-pasangan (banyak artis) lengkap dengan ortu masing-masing bahkan baby siter. Nggak heran sih karena salah satu acara di kelas besar bertema :”Mengasuh bersama kakek-nenek, siapa takut?” Tapi jujur jadi sulit konsenterasi.

Hari ini parenting class #Ortutahubersama terdiri dari3 kelas kecil.

1.  Mendisiplinkan anak sejak bayi, bisa nggak ya?

2. Tetap tenang menghadapi gerakan tutup mulut pada anak

3.Membuat MPASI menjadi (MP) asik.

Saya memilih kelas 2. Karena saya pernah mengalaminya dan ingin tahu, apa penyebabnya. Kelas 2 diberi pemamaparan oleh dr. Wiyarni Pambudi, Sp. A(K)
Info menarik yang saya dapati, ternyata sebagai ortu saya kurang peka. Ketika anak melakukan Gerakan Tutup Mulut (GTM) saat makan, ada banyak hal terjadi. Dulu saya beranggapan sekedar menguji saya. Saat kedua anak masih di bawah setahun, konsisinya saya masih ibu pekerja di luar rumah alias berkantor. Bahkan saya banyak meninggalkan mereka karena harus bertugas ke luar kota.

Sehingga jika bertemua anak-anak, dalam diri saya pribadi terjadi banyak pergolakan. Antara ingin menjadi ibu yang baik, dianggap baik (pencitraan) hingga perasaan bersalah karena nggak bisa selalu bersama anaka-anak. Makanya ketika anak melakukan GTM, saya nggak bisa marah bisa Cuma menangis.

Menurut dr. Wiyarni Pambudi, Sp. A(K), ketika anak melakukan GTM bisa jadi ada masalah dengan mulut dan gigi. Karena awalnya anak mau membuka mulut. Jika suka langsung dikunyah, jika tidak dibuang. Dibuang pertama kali, saya masih sabar tapi karena lelah, lama-lama sabar saya habis. Saya tidak mau tahu kalau anak bisa jadi punya alasan.

Namun apa iya anak melakukan GTM dianggap sebagai masalah? Melepeh, menolak makan, menyembur, menangis adalah reaksi yang wajar pada anak-anak saat menolak makan.

Rasa,
Bisa jadi rasa yang menurut kita enak, menurut anak tidak enak.
Rasa yang disukai semua anak adalah manis. Karena ASI rasanya manis. Setelah manis baru rasa gurih. Dalam membuat makanan anak-anak saya tidak memberi penguat rasa, sehingga bisa jadi rasanya tawar. Pantas kalau anak nggak suka.
Supaya suka, bisa diberi tambahan rasa buah yang manis atau sedikit gula. Sedikit sekali. Yang penting tidak tawar. Kita bisa mmeberikan rasa makan berslang seling antara manis dan gurih. Nasi dan sup suka saya selingi dengan air jeruk manis. Makanan gurih seperti kerupuk dan keripik sangat tidak disarankan.

Tekstur
Kerapkali sebagai ortu didorong tanggung jawab ingin memberi yang terbaik bagi anak. Sehingga berdasarkan teori dari buku atau nasehat keluarga/ortu dan dokter. Anak-anak diberikan tektur makanan berdasarkan usia. Mulai dari cair, halus, agak kasar, bubur hingga nasi lembek. Reaksi pertama anak nggak suka, langsung balik ke jenis teksutur awal, halus (hasil saring). Terus lupa. Nah seharusnya setelah satu dua hari yang di coba lagi tekstur yang sesuai umurnya.

Karena GTM pada anak bisa jadi ada satiawan atau ada gigi yang baru mau tumbuh. Kondisi semacam itu memang tidak enak untuk makan. Maka pengertian dan kesabaran ortu menjadi yang utama. Saya melakukan kesalahan fatal pada anak pertama. Karena saya takut anak nggak makan ujung-ujungnya sakit. Maka saya membiarkan anak makan dengan tekstur halus hingga usia 2 tahun lebih. Si slung baru bisa makan nasi ketika punya adik dan berusia setahun. Si adik makan nasi, baru si sulung tertarik minta.

Pada kesempatan ngobrol langsung dengan dr. Wiyarni Pambudi, Sp. A(K), saya menceritakan pengalaman saya. Dampak pada si sulung hingga sekarang diusianya yang sudah mau 16 tahun, ia hanya memiliki sedikit jenis makanan yang di suka. Ini agak merepotkan kalau kami harus makan di luar rumah atau ke luar kota.

Ketika masih anak-anak (Balita) sebelum pergi saya memastikan si sulung kenyang dan membawa bekal makanan yang ia suka. Berbeda dengan si adik yang mudah beradaptasi dengan jenis makanan apa saja. Apa yang terjadi pada sulung saya menurut dr. Wiyarni Pambudi, Sp. A(K), karena pemberian jenis makan yang salah (masih dihaluskan hingga usia 2 tahun lebih) Maka disarankan saya untuk tetap mulai mengenali kembali aneka jenis makanan.

Porsi,
Anggapan anak gemuk anak sehat sudah tidak pas. Anak sehat idak harus gemu. Benar kenaikan berat badan adalah indikasi kesehatan balita. Tapi tidak lantas porsi makan si anak menjadi berlebihan karena mengejar target kenaikan berat badan.

Anak juga bisa membaca situasi. Jika makanan yang diberikan terlampau banyak maka saat makan dianggap suatu penyiksaan. Jadi jangan heran kalau anak melakukan GTM. Menurut dr. Wiyarni Pambudi, Sp. A(K),, lambung bayi ketika baru lair Cuma sebesar kelereng kecil. Besar lambung akan berubah seiring usia. Begitu usia bayi lebih dari 3 bulan, lambungnyapun membesar menjadi sebesar telur. Saat itu bayi sudah bisa minum sekitar 60 cc.

Jadi anda yang mempunyai bati jangan heran, jika bayi terus menerus menetek. Berhenti mungkin hanya pada saat tidur. Karena lambung bayi yang masih kecil tadi maka otomatis cepat kosong dan bayi merasa lapar lagi.

Pada bayi dan balita yang mulai mengkonsumsi MPASI, porsinyapuna di mulai dari sedikit. 5 sendok sebagai pengenalan sudah bagus. Dapat diberikan berulang selang dua jam. Jadi jangan waktu makan anak disesuaikan dengan waktu makan orang dewasa sehingga sekali makan dalam porsi besar. Intinya sedikit tapi berulang.

Jenis.
Sayur, buah, lauk dikenalkan sejak anak bayi. Apa yang dikenal sejak usia dini aka nada dalam memori anak. Kegagalan orangtua mengenalkan jenis makanan pada anak berdapak anak nggak suka diusia yang seharusnya mulai mengkonsumsi berbagai jenis makanan sesuai pertumbuhannnya. Saya merasa gagal memperkenalkan macam-macam buah pada kedua anak saya. Karena dulu ketika anak-anak Cuma suka pisang dan pepaya plus jeruk, hanya tiga jenis buah itu yang saya berikan. Akibatnya hingga hari ini hanya 3 jenis buah itu yang tidak ditolak. Jenis buah lainnya, masih coba-coba. Padahal emaknya ini, suka banget sama manga, rambutan, anggur, alpukat, durian, pir dan jambu.

Intinya sih, kini saya paham. Anak nggak perlu dipaksa. Karena ketika anak melakukan GTM, sesungguhnya ia sedang meunjukan dirinya. Dan itu harus dihargai. Tak perlu takut menghadapi GTM pada anak. Cara lain menghadapi GTM saat membei makan, sesekali keluarlah dari kebiasaan. Makan sambil bermain nggak dosa kok asal jangan jadi kebiasaan. Dulu saya mendisiplinkan makan anak di meja makan. Tapi saya agak longgar, karena saya bisa sambil bercerita tentang apa yang di makan.

Bercerita upaya saya mengalihkan perhatian anak, mengajar anak mengenai manfaat makanan dan membiasakan anak mendengar suara saya. Saya bisa bercerita wortel sebagai makan yang berguna bagi tubuh lewat cerita kelinci bermata bagus karena suka wortel. Saya mengajar anak saya memainkan matanya, menatapnya dan mengingatkan fungsi wortel bagi pertumbuhan.

Psikholog Anna Dauhan M.Sc (Berbaju hijau)
bersama MC, Perwakilan Tiga Generasi dan
Istri Indra Birowo,
yang mewakili ortu rempong mengasuh bersama
kakek-nenek

Dari kelas kecil, saya mengikuti kelas besar bertema :”Mengasuh bersama kakek-nenek, siapa takut?” Di kota-kota besar memang sudah ada tempat penitipan anak. Tapi bagi masyarakat Indonesia yang terkenal dengan kekeluargaan, menitipkan anak oada kakek-nenek terasa lebih nyaman. Walau kenyataannya, justru pengasuhan bersama dengan kakek-nenek menimbulkan banyak dilemma. Biasanya apa yang ditetapkan orangtua kerap nggak disepakati kakek-nenek.

Hal ini berdampak pada kebingungan pada anak dan perselisihan anatara ortu engan kakek-nenek. Apalagi kalau model pengasuhan ortu ke anak tidak sama dengan pengasuhan kakek-nenek ke ortu. Ini seperti memelihara bom waktu. Menurut psikholog Anna Dauhan M.Sc. Kakek-nenek harus “back of”. Biar bagaimanapun juga hubungan yang sehat yang hubungan anak dan ortu. Biarpun kakek nenek, cintanya minta ampun. Demi kebaikan anak/cucu maka kakek-nenek harus membiarkan ortu yang memegang kendali pengasuhan.

Poin utamanya adalah komunikasi dan bangun kesepakatan antara ortu dan kakek-nenek dalam pengasuhan pada anak/cucu. Sehingga tidak terjadi kebingungan. Ini masalah sususa-susah gampang. Tapi saya melakukan itu. Saya tidak memberi kesempatan orang lain termasuk ortu dan mrtua ikut campur tangan dalam pola asuh kedua anak saya.

Kebetulan juga, saya sejak 3 bulan menikah langsung memilih berpiah dari ortu dan mertua. Ketika mempunyai anak walau harus bekerja ke luar kota dan berpesan pada ortu dan kakak-kakak untuk ikut menjaga anak-anak saya, saya punya dua pengasuh anak yang saya kontrol penuh.


Keterbukaan, pengertian dan saling menghormati menjadi kunci pengasuhan bersama bisa berjalan dengan baik. Karena harus diingat anak anak/cucu yang menjadi pertaruhan. Jangan karena cinta si anak/ si cucu menjadi korban.

2 comments:

  1. Jadi orangtua memang harus banyak belajar ya, Mak. Anak tutup mulut aja kita udah mikirnya macem-macem, padahal .... Makasih sharingnya mak, noted banget.

    ReplyDelete
  2. nah itulah untungnya anak-anaku mbak lagi kecil kedua anakku gak pernah GTM, lancar jaya terus.Makanya aku senang sekali, orang lain susah payah ngehadapi anak2 yang GTM

    ReplyDelete