In House Training BRId: Menulis Reportase ala Blogger




Sabtu, 27 Januari 2017, bertempat di Wisma RIAT -Rumah Internet ATmanto, di kawasan pangadegan, Jakart Selatan, di gelar In house training: Menulis reportase ala Blogger. Ini adalah kelas pelatihan  yang di gelar Komunitas Blogger Reporter Indonesia. Komunitas Blogger Reporter Indonesia di dirikan Hazmi Srondol, Ani Berta dan beberapa kawan blogger lain. 
Untuk makan siang kegiatan ini,  didukung Jakarta Nasi Tumpeng.

Dengan menggunakan ojek online saya datang. Ketika saya tiba, kawan-kawan sudah banyak yang hadir. Saya bersyukur begitu saya tiba, hujan deras baru turun. Saya terselamatkan. Senang bertemu dengan Admin BRId, Mas Hazmi Srondol, lama saya tidak bertemu. Sebelum acara di mulai, saya dan kawan-kawan dipersilakan melihat-lihat seisi Wisma RIAT, yang nantinya bakal menjadi kantor/markars BRId.

Pembawa acara Hani, menyapa  takzim dengan salam yang baik. Hani menginformasikan kegiatan in house training ini adalah kegiatan pertama. Mengangkat tema: 

Menulis Reportase Ala Blogger.

Selanjutnya sambutan Admin Hazmi Srondol, saya mengenalnya sudah sejak tahun 2012, saat komunitas-komunitas blogger belum sebanyak sekarang. Bersamanya saya pernah ikuta menjadi reporter yang meliput persiapan pilkada DKI. Mampir di Kubu Gerindra, Mampir juga di kubu PDIP. Pokoknya seru. Vlognya bisa dilihat di chanel youtube beliau.



Satu yang saya ingat, beliau mengatakan Blogger memiliki kemampuan paket lengkap yang tidak dimiliki reporter di media mainstream (media massa) Maksudnya? Seorang blogger bisa melakukan 3 pekerjaan sekaligus, menulis, memotret dan membuat video, sedangkan reporter media masaa, biasanya datang dengan tim, minimal dua orang, reporter dan fotographer atau reporter dengan cameramen. hanya blogger yang datang sendiri dan mengerjakan pekerjaan sebagai penulis, tukang foto dan pembuat video.

Sebelum Ani Berta, Co Founder, BRId, blogger yang terkenal dengan pengalaman, kemampuan yang mumpuni juga kebiasaannya yang murah berbagi ilmu. Mendengar penjelasan Teh Ani, begitu biasa orang-orang menyapanya. Saya seperti diingatkan kembali, pelajaran jaman saya kuliah. Saya senang mendengarkan Teh Ani menjelaskan. Gaya berceritanya sangat asyik, membuat yang mendengar tidak bosan. Saya diingatkan kembali, pada dasarnya Menulis reportase ala blogger gak jauh berbeda dengan reportase media mainstream. Dasarnya sama, 5 W 1 H.

Yang membedakan hanya gaya bahasa. Reportase ala blogger menggunakan gaya bahasa pribadi, lebih luwes dan tidak formil. Blogger remaja yang segmen pembaca blognya remaja, boleh menggunakan sebutan gue untuk membahasakan dirinya. Padahal yang seperti itu sangat tidak diperbolehkan di media main stream.

5 w 1 H, sebenarnya pakem, sekaligus batasan yang membuat seorang penulis fokus. Menggunakan pertanyaan dari 5 w 1 H, dengan sendirinya membuat penulisan tersebut lengkap. Teh Ani, juga mengingatkan, kalau menulis laporan atau reportase, jangan mengutip plek keteplek dari press release. Kan blogger sudah datang dan mengikuti, maka apa yang dilihat dan didengar itulah yang di tulis. Press release hanya untuk informasi, nama, gelar dan jabatan nara sumber.

Namanya manusia, yang punya keterbatasan, kita kerap lupa. Makanya mengapa buku catatan dan alat tulis menjadi penting, gunanya untuk mencatat hal-hal penting. Cara lain untuk mengingat adalah dengan melakukan live twet. Kultwet yang kita tulis per 140 karakter, bisa menjadi pengingat. Jangan lupa hastag (#)

Teh Ani, juga mengingatkan ada baiknya tidak menggunakan foto yang dikirm pihak pegundang. Jauh lebih baik menggunakan hasil foto sendiri. Ini yang dimaksud Admin Hazmi Srondol, Blogger wajib memiliki Paket lengkap.

Reportase ala blogger boleh memasukan sedikit opini. Kalau di media main stream menurut Bang Nur Terbit, salah satu blogger yang mantan wartawan dari suratkabar Terbit, gaya penulisan reportase ala blogger, kalau di media mainstream, biasanya masuk kategori feature. Sebuah gaya penulisan yang mengutamakan informasi dengan gaya bahasa berutur atau story telling, mengandalkan fakta tapi tidak mengutamakan unsur "waktu". 

Makanya kalau blogger liputan, masih diperkenankan menuliskan/mempublikasikan tulisannya  h+3. Berbeda dengan media mainstream, kalau masuk kategori news/berita, maka harus segera dipublikasikan, makanya gaya bahasa yang digunakan formal dan tegas. Unsur kecepatan tayang, menjadi nilai lebih.

Secara garis besar, perlaatan yang diperlukan blogger untuk melakukan liputan sama dengan peralatan reporter media massa. Gadget/samartphone, recorder, buku catatan, alat tulis dan camera. Semua itu digunakan blogger yang bersangutan. Kalau repoter media masa, untuk foto dan camera video bisanya adanya, orang kedua.

Teh Ani, lebih banyak menekankan pada pentingnya attitude. Dulu blogger kerap dipandang sebelah mata oleh reporter media mainstream, karena dianggap berisik dan nggak fokus. Sehingga di rasa mengganggu. Karena nggak sedikit blogger yang membawa anak saat hadir di sebuah acara. Teh Ani, mengingatkan untuk, blogger menahan diri dan mengikuti aturan. Jika ada larangan membawa anak, baiknya tidak membawa anak. Jika diberi kesempatan bertanya, perhatikan situasi dan kondisi. Jika sudah ada blogger yang bertanya, berikan kesempatan repoter media mainstream yang bertanya. Datang tepat waktu dan hindari berbicara/berdiskusi sendiri saat mengikuti suatu kegiatan.




Saya tiba bersamaan dengan seorang lelaki muda yang membawa nasi tumpeng kumplit. Hazmi Srondol sempat bercanda dengan bertanya, apakah saya datang dengan lelaki muda tersebut. Ternya lelaki muda tersebut bernama Wahyu Vidyanto, pemilik Jakarta Nasi Tumpeng. Vidy, begitu ia memperkenalkan diri, bercerita mengapa menekuni bisnis kuliner, karena ia percaya setiap orang butuh makan, karena itu bisnis kuliner pasti akan hidup. Tapi bagaimana mengolah dan mengaturnya itu yang perlu diperhatikan dengan serius.

Alasannya menekuni Nasi tumpeng sebagai bisnis, karena ia mencintai Indonesia. Dan meyakini Nasi tupeng sangat Indonesia. Pada acara syukuran, apapun agama dan sukunya, Nasi tumpeng selalu hadir. Ini sekaligus menjawab keprihatinan Vidy ketika melihat banyak orang menjadikan kue  dan tiup lilin di atas kue manjdi bagian dari kegiatan syukuran (terutama ulangtahun) Menurut Vidy, itu bukan budaya Indonesia. Nasi tumpeng walau asalnya dari budaya Jawa, kini sudah menjadi budaya Nusantara.

Inilah 5 hal yang dibagikan Vidy sebagai jawaban mengapa Jakarta Nasi Tumpeng siap bersaing.

1. Rasa yang terjamin. (Enak)
Walau nasi tumpeng berasal dari Jawa tapi Jakarta Nasi Tumpeng sudah disesuaikan dengan lidah orang Jakarta. Saat ini hanya melayani untuk wilayah Jakarta.
2. Keramahan Custumer Service
3. Webside yang user friendly.
Ini penting agar orang mau berlama-lama dan melihat lebih banyak 
4. Layanan gratis ongkos kirim
5. After sales.
Jakarta Nasi Tumpeng, memiliki after sales. 

Kelihatan Vidy sangat memahami apa yang disebut silaturahmi. Tim Jakarta Nasi Tumpeng, sehari sebelum pengantaran, sudah ada yang menghubungi customer pemesan, untuk menginformasikan waktu dan lokasi pengiriman. Sesudah beberapa harui kemudian, ada tim Jakarta Nasi Tumpeng yang akan menghubungi Customer untuk menanyakan, kegiatan, reaksi tamu, situasi acara dan apakah ada komplain. Dengan begitu, bisa direspon dengan cepat. Kebanyakan customer senang bila disapa. Jika anda berminat pesan, silahkan ke 0812-9430-9199











Kalau tidak mengingat waktu, saya percaya peserta tidak mau acara diakhir. Tanya jawab kian intens bahkan Hazmi sempat ikut melengkapi apa yang sudah disampai Teh Ani. Acara yang penuh keakraban diselingi makan siang dan salat. Senang bisa menjadi bagian kegiatan ini, semoga kelas selanjutnya saya bisa bergabung lagi.







1 comment:

  1. Wah bagus liputannya Bun, makasih sudah hadir ya :)

    ReplyDelete