PRASANGKA

PRASANGKA

Icha Koraag

Beberapa hari lalu aku menerima telephone dari resepsionis tempatku bekerja dulu. Memberitahukanku, mantan Bos mengundang makan siang bersama dalam rangka ultah beberapa teman kerjaku dan mantan bos ingin mengadakan “Farewell party” untukku.

Saat makan malam dengan suami, aku memberitahukan mengenai undangan tersebut. Menurut suamiku, semua terserah padaku. Namun harus dengan beberapa pertimbangan.

Usai makan malam, aku masih terus memikirkan undangan tersebut. Sudah satu setengah bulan aku meninggalkan kantorku, lucu gak sih kalau pesta perpisahannya baru dilaksanakan sekarang? Kira-kira ada maksud atau tujuan apa yah?

Pemikiran ini terus mengganggu hingga menjelang aku tidur. Namun sebelum terlelap aku sudah mengambil keputusan. Ketika aku bangun pagi, aku sudah memutuskan akan memenuhi undangan tersebut. Usai menjemput Van di sekolah, aku mengajaknya untuk ikut. Paling tidak, kalau suasana terasa tidak enak, ada Van. Van bisa menjadi pengalih perhatianku.

Bukan aku pengecut, biar bagaimanapun juga ada perasaan aneh. Aku kan di PHK. Artinya aku berhenti bukan karena kehendakku. Tapi suamiku mengingatkan untuk positive thinking. Apapun keputusan manjemen waktu itu, tidak merubah hubunganku dengan teman-temanku.

Saat tiba di bekas tempat kerjaku, suasan sepi. Soalnya ini hari Jumat, pasti teman-teman cowok sedang melaksanakan sholat Jumat. Van mendahuluiku masuk. Van memang akrab dengan kantor ini karena dulu ia selalu ikut suamiku menjemputku. Van pasti akan berkeliling ke semua ruangan dan menyalami serta menyapa teman-teman kerjaku.

Pintu terbuka, sosok Ida, resepsionis yang menghubungiku kemarin langsung memeluk dan mencium Van, kemudian baru memelukku. “Kangen loh mba!” katanya. Aku membalas pelukan dan ciuman di pipi. Tanpa ku Tanya Ida memberi informasi, Bos ada di ruangannya. Dua teman perempuanku sedang keluar dan dua lagi ada di kamar makan.

Van yang tadinya langsung menuju tangga, ku cegah dan ku ajak ke ruang makan. Dua temanku menyambutku dengan gembira. Pernyatannya sama dengan Ida. “Kangen!” Mereka juga menyapa Van, ketika aku terlibat obrolan dengan kedua temanku, Van sudah meninggalkanku. Ku pikir, paling-paling Van ke depan menemui Ida.

Tak lama kedua temanku akan kembali ke ruangannya di lantai dua, mereka mengajakku serta. Dengan tahu diri aku menolak. Biar bagaimanapun sekarang statusku tamu. Tapi mereka mengajak Van yang dengan gembira langsung berlari ke arah tangga. Ketika kedua temanku sudah turun kembali mereka tidak membawa Van karena Van sedang bertamu di ruang Bosku! Ala mak!

Pukul 12.30 satu persatu teman-teman cowok berdatangan, mereka gembira melihatku. Tapi aku tidak tahu apakah kegembiraan itu keluar dari hati. Yang kulihatkan hanya luarnya saja. Aku juga bertemu dengan Director Asocciate Research dan Manajer Keuangan yang turut andil menggolkan keputusan PHK bagiku. Ternyata pertemuan itu tidak menimbulkan perasaan apa-apa di hatiku. Awalnya aku enggan datang karena aku takut, masih ada rasa marah di hatiku. Ternyata ketika semalam aku memutuskan untuk memaafkan apa yang menyakiti hati dan perasaanku, kini berganti menjadi kegembiraanku dan perasaanku ringan-ringan saja saat bertemu dan bersalaman dengan keduanya.

Aku masih deg-degan karena belum bertemu dengan mantan bosku. Ketika aku asyik tertawa dengan teman-teman cowok, tahu-tahu mantan bosku sudah berdiri di belakangku dan menyebut namaku. Spontan aku berbalik. Ia tepat berdiri di hadapanku. Wajah dan penampilannya harus kuakui tetap cantik dan menarik. Blazer merah di padu rok batik sepanjang lutut membungkus tubuh langsingnya. Sangat kontras dengan kulit putihnya. Tapi paduan itu semakin membuatnya enak di pandang.

Ia memeluk, mencium dan menanyakan keadaanku. Dan hati kecilku tak bisa berdusta aku masih menyayanginya. Sama seperti ketika aku mengenalnya 15 tahun yang lalu.Aku tahu semua mata memandang ke arahku. Karena ketika aku dalam proses PHK, aku sempat berucap aku sangat membenci bos.

Tapi kini aku sadar, aku tidak bisa membencinya karena rasa sayangku lebih besar dari rasa benci itu sendiri. Beliau adalah orang yang menjadi panutanku ketika menapaki kaki di dunia karir. Ketika aku mempersiapkan diri berumah tangga, beliau pula tempat aku mencurahkan perasaan takut dan bingung kala harus berhadapan dengan keluarga mertua.

Beliau adalah orang kedua setelah ibuku yang banyak membei pelajaran tentang nilai-nilai kehidupan sebagai perempuan. Suara Vanessa memecahkan keheningan. Bosku berkomentar “Van is a sweaty baby girl” aku mengiyakan.

Aku, Van dan beberapa teman masuk dalam mobil bos. Empat mobil kami beriringan ke restaurant yang sudah di pesan Ida. Di sana sudah ada salah satu temanku yang berulang tahun. Van yang mengenal baik, langsung berlari ke arahnya dan berteriak “Tante Nisa!”

Van saat itu tampak centil dan menggemaskan mengenakan setelan rok dan jacket ungu dengan t-shit putih ungu di dalamnya. Sepasang ikat rambut berbentuk bintang juga berwarna ungu dan menyandang backpack bergambar Barbie berwarna pink ungu. Ia dan temanku Nisa tampak seperti dua sahabat.

Sebelum makan siang dan doa bersama, bos meminta aku duduk di sebelahnya kemudia ia membuka dengan mengumumkan yang berulang dan ucapan terima kasih padaku yang sudah bersamanya dalam 4 tahun. Dan mengharapkan kesuksesan bagiku kemanapun kakiku melangkah. Ada rasa haru yang menyergap perasaanku.

Ucapannya cukup menyentuh. Aku berdoa semoga itu memang ucapan yang tulus. Mantan Bosku memberikan aku sebuah kado dan kartu ucapan. Lagi-lagi suara Van yang minta minum menyelamatkanku dari perasaan cengeng.

Pulang dari acara tersebut, ada perasaan bahagian di dada ini. Ternyata menyimpan dendam dan amarah tak ada gunanya. Hanya membuat luka bathin yang menyiksa dan lebih sakit dari luka fisik. Ketika aku pasrah dan menerima keputusan PHK serta memaafkan orang-orang yang mengambil keputusan tersebut, hatiku ringan.

Dan apa yang aku pikirkan tentang pandangan orang-orang terhadapku belum tentu benar, mungkin saja semua itu hanya prasangka dan persepsiku. Hari ini kembali aku mensyukuri untuk semua teman-teman dan juga mantan bosku. Semoga mereka selalu di limpahi berkat Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. (Icha koraag 24 Maret 2007)

PEREMPUAN YANG MENJADI IBUKU !


Akhir pekan minggu lalu aku mengunjungi ibuku. Seperti biasa ia tengah berbaring sambil membaca Libelle.. Karena ia mengeluh kerap merasa pegal-pegal Aku menawarkannya untuk memijat yang disambut dengan sukacita.

Pendengarannya sejak lima tahun terakhir sudah berkurang Ada juga beberapa penyakit yang sudah mulai menggerogotinya seperti vertigo tapi dengan pengawasan yang ketat dalam soal makanan dan minumannya, perempuan ini bisa di bilang sehat-sehat. . Tahun ini, usianya akan mencapai 78 tahun di bulan September. Ia bisa nampak bertambah tua sepuluh tahun atau bahkan jatuh sakit jika memikirkan hal-hal tertentu menyangkut persoalan anak-anak atau cucunya.

Terlahir di Menado 24 September 1929, ibuku di beri nama Olga Magdalena Parera, sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara pasangan mantan Walikota Menado Jurian Parera dan Adelaida Coloway. Menikah dengan ayahku, Alm. Bastiaan Koraag. Di karuniakan sebelas orang anak perempuan.

Masa kecil hingga remaja di lalui ibuku di kota kelahirannya Menado yang mendapat julukan sebagai propinsi ke dua belas Nederland, Ibu selalu ikut meramaikan pesta yang berkaitan dengan Negara Belanda. Misalnya ulang tahun Ratu Juliana, ia ikut berpawai keliling kota dengan gadis-gadis seusianya. Ibu menempuh pendidikan hingga tamat Kweejk School, setara Sekolah Pendidikan Guru.

Aku mulai memijat dari kakinya. Entah mengapa, ketika tangan ini menyentuh Ibu keharuan menyergapku. Semakin ku sentuh betis dan pahanya, nyaris aku tak dapat menahan tangis. Tubuhnya sudah sangat lembek. Rasanya tak percaya, ini tubuh dari perempuan yang sudah melahirkanku. Kulitnya sudah sangat lentur. Aku bersyukur, tubuh ini terasa hangat dalam tanganku, menandakan masih ada nafas kehidupan dalam tubuhnya.

Ibu adalah perempuan ulet, kuat dan tegar. Melalui kehidupan yang tidak mudah di masa perang, mengharuskannya sabar dan kuat hidup bersama empat orang anak karena ayah harus bergerilya. Sedikit kebahagiaan mewarnai kehidupan ibu kala perang berkecamuk, justru saat ayah di penjara. Memang perasaannya tersiksa melihat ayah di balik jeruji, sosok lelaki gagah yang menjadi ayah dari anak-anaknya, terkurung dalam sekotak ruangan. Padahal biasanya Ibu melepas sang suami dalam balutan seragam hijau tentara yang gagah dan menyandang senjata.

Kebahagiaannya di rasakan karena dengan di penjara, berarti ayah selamat dan Ibu tak cemas memikirkan ayah di antara desingan peluru di meda

BERSERAH DIRI

Beberapa hari terakhir ini, aku mengajar dan melatih Van menulis angka dan huruf. Ia sudah mengenal angka dan huruf tapi belum bisa menuliskan secara baik dan benar. Cara yang aku gunakan, pertama dengan memberi contoh.

Aku menuliskan di buku dan Van memperhatikan. Lalu aku akan memegangi tangan Van yang memegang pensil dan membantunya menuliskan di buku. Otot motorik Van belum terbentuk dengan baik. Karenanya aku masih rajin membiasakan Van mewarnai buku bergambarnya.

Melatih Van menulis Sungguh bukan pekerjaan yang mudah apalagi selalu ada perlawan dari Van. Ini bisa kurasakan dari otot-otot tangannya yang mengencang setiap kali aku membimbing menulis. Selama Van mengencangkan otot-oto tangannya maka hasil tulisannya menjadi tidak baik karena gerakan tangannya menjadi kaku.

Berulang-ulang aku katakana agar Van mau melemaskan tangannya. Berkali-kali Van mengiyakan tapi tetap tidak melemaskan tangannya. Dalam hati aku terus menerus berdoa mohon diberikan kesabaran.

Lama dan perlahan, akhirnya Van mulai melemaskan otot-otot tangannya. Seiring otot tangan Van yang melemas, gerakan tangan kami jadi searah dan mempermudah aku dalam mengarahkan gerakan untuk menulis.

Berulang-ulang kami melakukannya di selingi bercanda, berpelukan dan berciuman, akhirnya Van bisa menuliskan angka 1, 2 dan 3 dengan benar.

Saat menatap Van yang bersemangat menulis aku jadi teringat dengan diriku sendiri. Diriku tak ada bedanya dengan Van yang belajar menulis ketika mencoba belajar menapaki kehidupan. Sebagai umat beriman, selalu aku berseru memanggil dan mengucap syukur kepada Dia dalam sudah atau senang.

Aku tahu, Tuhan mau membimbing dan mengarahkanku ke jalan yang baik dan benar asal aku menyerahkan diriku. Sesungguhnya menyerahkan diri artinya berpasrah dan tidak memberikan perlawanan. Selama aku memberikan perlawanan, selama itu pula arah jalanku tak seperti yang Tuhan inginkan. Karena yang aku inginkan belum tentu baik bagiku tapi yang Tuhan inginkan pasti baik bagiku.

Kala kesadaran semacam ini menyentakku, ada gairah dan semangat baru yang merasuki sanubariku. Sesungguhnya ketika aku berniat berpasrah diri kepada Tuhan maka pada saat itu seharusnya aku meniadakan perlawanan. Sehingga tak akan timbul benturan yang kerap ku kira kemarahan Tuhan padaku padahal hanya karena aku mengeraskan hati. (Icha Koraag 15/3-2007)

SARAPAN ILMU

Bicara soal sarapan, aku termasuk orang yang peduli pada kebiasaan sarapan. Karena itu aku menjadi sangat bawel jika kedua anakku menolak untuk sarapan. Kepedulianku terbawa sejak kedua orang tuaku menjadikan sarapan sebuah aktivitas pagi yang menyenangkan.

Dulu kami sekeluarga duduk mengelilingi meja makan. Ayahku di kepala meja, sedangkan ibuku mondar-mandir melayani kami. Padahal yang di makan, makanan biasa-biasa saja. Dan minumnyapun hanya teh manis.

Aku sangat merasakan manfaat dari sarapan pagi. Di dalam kelas aku lebih mudah berkonsentrasi. Saat teman-temanku merasa lapar sehingga konsentarasi belajar terganggu, aku bisa tetap dengan tenang menyimak pelajaran.

Sekarang, sarapan pagi menjadi sebuah pemaksaan, sekalipun aku lebih dulu bertanya pada kedua anakku jenis sarapan yang mereka inginkan. Adakalanya mereka juga yang bertanya: “Sarapan apa ma?’ Aku suka bercanda dengan menjawab “Tidak usah sarapan!” Mereka malah akan bersorak kegirangan mendengar jawabanku.

Dulu jarak tempuh rumah ke sekolah tidak terlalu jauh dan bisa di tempuh dengan berjalan kaki. Aku bisa dengan tenang sarapan dan tidak terburu-buru. Berbeda dengan kondisi sekarang, untuk mendapatkan sekolah yang bermutu, anak-anakku harus menempuh perjalanan 25-30 menit jika tidak macet itupun dengan motor. Dengan sendirinya mereka harus berangkat lebih pagi agar tidak terlambat.

Jika anak-anakku atau aku yang terlambat bangun, maka bisa dipastikan suasana terburu-buru akan mewarnai pagi itu dan sarapan jadi di tiadakan. Kecemasanku seakan tak dirasakan anak-anakku karena justru mereka bersorak kegiarangan jika tidak perlu sarapan. Maka reaksi mereka yang bersorak menggenapi rasa mangkelku. Sebenanrnya seharusnya barangkali aku tidak perlu terlalu khawatir mengingat segelas susu pasti sudah dinikmati kedua anakku tiap bangun pagi.

Tapi menurut perasaanku, segelas susu tetap belum mencukupi. Memaksa mereka makan roti atau lontong sebagai sarapan pagi, memaksaku untuk mempunyai rasa sabar yang seluas samudra.

Minggu ini, sulungku menghadapi ulangan semesteran. Dulu melihat kakakku begitu sibuk bahkan nyaris stress bila menghadapi semesteran anak-anaknya, menurut penilainaku mereka terlalu khawatir. Tapi sekarang aku menghadapi persoalan yang sama.

Saat sulungku ulangan harian atau semesteran maka aku dan papanya yang belajar, untuk memastikan anakku belajar dan ingat semua pelajarannya. Jadi penilaianku pada kakak-kakakku dulu ternyata salah. Menghadapi semesteran anak-anak ternyata juga membuat aku tertekan.

Sseperti halnya tadi pagi, Bas bangun saat matahari belum mengintip. Di usianya menjelang tujuh tahun, Bas memiliki postur tubuh yang cukup tinggi. Namun begitu papanya tak mengahadapi kesulitan jika menggendongnya. Di buainya Bas sambil di cium-cium seluruh tubuhnya.

Saat Bas menggeliat dan mulai membuka matanya, aku sudah menyiapkan segelas susu. Sungguh aku syukuri, Bas tidak pernah rewel setiap bangun pagi. Ia begitu sadar akan kewajibannya bersekolah dan kelihatannya Bas pun menikmati kegiatan bersekolah.

Ketika kesadaran Bas mulai pulih, kami langsung mengulang materi pelajaran semalam. Bahkan pengulangan materi itu berlanjut hingga mandi. Karena ini sedang semesteran, aku mengharuskan Bas untuk sarapan. Usai sarapan, Bas langsung memakai seragam dan sepatu.

Ketika aku mengingatkannya untuk berdoa sebelum berangkat, Sederet ucapan syukur dan terima kasih terucap dari bibirnya. Wajahnya yang bersih dan segar nampak bersinar. Hatiku tersentak mendengar doanya, ketika Bas mengucapkan “Terima kasih untuk sarapan roti yang sudah mama siapkan dan sarapan ilmu bersama mama dan papa”.

Ada keharuan yang membuncah di dadaku, mungkin Bas mempunyai makna yang sederhana saja mengenai “Sarapan Ilmu” tapi itu mampu mengingatkanku, sudahkah aku sarapan ilmu sertiap pagi? Pedulikah kebanyakan orang untuk memberi nutrisi setiap hari atau setiap pagi pada otaknya? .(Icha Koraag, 12/3-2007)

APA MUNGKIHN, IDUL ADHA KORBANNYA SINGA?

Aku masih menikmati hari-hari libur panjang usai di PHK. Ternyata banyak hal baru yang cukup menyenangkan untuk aku lakukan. Tentu saja salah satunya bermain-main dengan aneka resep di dapur. Sampai-sampai suamiku bilang “Ini proses penggemukkan!” Tapi sepanjang dua minggu ini, ku lihat ia menikmati masakanku. Protesnya lebih ku rasa sebagai pujian. Seperti ucapannya saat usai makan malam.

“Kalau si mama terus-terusan masak seperti ini, kita bisa jadi korban waktu Idul Adha!” Ujarnya. Yang langsung di sambut Bas,

“Memangnya papa si embek?” Papa gak cocok jadi embek, papa cocoknya jadi banteng!” kata Bas. Dalam hati aku mengakui ada benarnya. Suamiku lebih cocok di samakan dengan banteng ketimbang embek (kambing).

Karena postur tubuhnya yang tinggi, besar dan kekar. Jadi lebih mirip banteng daripada kambing

“Iya pa, ?” Tanya Van dengan lugu

“Enggak, papa maunya jadi Raja Hutan, alias Singa!” Ujar Frisch lalu mengaum seperti seekor Singa. Bas dan Van tertawa dan tak mau kalah, lalu masing-masing menirukan suara binatang.

“Aku ular Anaconda!” Kata Bas lalu berdesis seperti suara ular.

Aku tak kaget dengan pilihan bas yang menjadi ular Anaconda. Bas sangat tertarik dengan reptile juga dinosaurus. Kadang-kadang jengkel aku di buatnya lantaran ibuku menuduhku mengajar anak tak benar. Pasalnya anak-anak seusia Bas lebih tertarik dengan binatang besar seperti singa, harimau, gajah atau beruang.

Biasanya sih, aku tidak komentar. Menurutku tak ada salahnya Bas menyukai reptile.

Tak beda dengan adiknya Van yang otomatis juga menjyukai aneka binatang. Karena mereka berdua kerap menonton National; Geographic atau Animal Planet. Tiba-tiba ku dengar Van bertanya.

“Aku…aku….” Sesaat Vanessa diam, “aku jadi apa ma?” Tanya Van sambil menatapku.

“Van jadi Macan!” jawabku

“Enggak mau., aku maunya jadi gajah!” ujar Van dengan wajah cemberut.

“Boleh saja tapi mama tidak tahu suara gajah!” jawabku lagi.

“Pa, bagaimana suara gajah?” Tanya Van

Frisch terdiam sesaat lalu mengeluarkan suara seperti sapi melenguh. Belum lagi suamiku berhenti menirukan suara gajah, Van sudah memotong.

“Aku jadi anjing saja,!” uajr Van lalu menyalak.

Bahagia benar rasanya, melihat orang-orang yang ku cintai ada bersamaku. Tak putus syukur dan terima kasih senantiasa ku serukan. Kebersamaan menjelang tidur malam, selalu kami sempatkan bermain dan belajar. Tiba-tiba Van sudah ada di belakangku.

“Anak anjing datang ke mamanya!’ ujar Van sambil menyalak halus dan mencium pipiku. Akupun ambil peran dalam permainan ini. Aku menyalak lalu menangkap Van dan menciuminya.

“Anjing sama ular berteman gak?” Tanya Bas

“Biasanya sih enggak!” jawabku tapi aku tahu arah pertanyaan Bas. Karenanya kulanjutkan lagi “Tapi kalau dalam permainan Anjing bisa berteman dengan ular”. Bas langsung mendekat masih tetap berdesis.

“Anaconda sayang sama mamanya anjing!” ujar Bas sambil menciumku.

“Tidak ada yang menciumi Raja Hutan, maka Raja Hutan marah dan mau pergi saja!” kata Frisch sambil mengaum dan bersiap-siap turun dari tempat tidur. Bas dan Van langsung melompat dan bergumul dengan papanya sambil menirukan suara anjing dan ular.

“Kok mama anjing tidak mau dekat-dekat?” Tanya Frisch dengan suara besar dan berat. Aku tertawa “Mamanya anjing tidak berteman dengan Raja Hutan!” jawabku.

Tiba-tiba suamiku duduk tegap dan berkata dengan suara di buat-buat menjadi berat. “Hai anak anjing dan ular Anaconda, bawa mama anjing kehadapan Raja Hutan !” Bas dan Van sudah larut dalam permainan ini, mereka berdua dengan sigap langsung menjawab “Ya, Raja Hutan!” Geli benar hatiku. Tak sempat menghindar Bas dan Van sudah memelukku dan menciumiku.

“Mama anjing harus di bawa ke hadapan Raja Hutan!” Kata Bas

“Iya!” tambah Van

“Hai Anaconda dan anjing kecil, mama anjing cape dan mau tidur!” jawabku sambil menguap. Bas dan Van tertawa geli.

“Baiklah kalau begitu, Raja Hutan akan buat susu, supaya Anaconda dan anjing kecil bisa tumbuh jadi besar dan kuat. Lalu gosok gigi!

Sesaat kemudian Bas dan Van langsung menikmati susunya. Kemudian keduanya ku giring ke kamar mandi untuk menggosok gigi. Usai menggosok gigi, Bas dan Van langsung menempati posisi masing-masing di tempat tidur. Papanya melanjujtkan dengan bercerita tentang jenis-jenis binatang. Di mulai dari tempat hidupnya, Laut, darat dan udara. Lalu ukurannya besar, sedang dan kecil. Lalu nama-nama dan jenisnya. Belum lagi cerita tamat, kedua buah hatiku sudah lelap dalam tidurnya.

“Apakah mama anjing sudah tidur?” Tanya Frisch.

“Belum!” jawabku

“Mengapa?”

“Lagi berpikir”

“Mengenai apa?”

“Apa mungkin Idul Adha korbannya singa?” (Icha Koraag)

KESAN MEMBACA NOVEL DAN BROWN

Aku baru membeli tiga buku novel karya Dan Brown.. Bukan pemborosan, boleh dong menyenangkan diri sediri dengan menikmati sebagian dari uang pesangon. Soalnya selama ini aku hanya membaca hasil diskusi mengenai Dan Brown dan karyanya. Baik yang menghujat maupun yang mengaggumi. Karangannya sendiri belum pernah aku baca (Kasihan deh loh!)

Sebenarnya aku sempat melihat Da Vinci Code tergeletak di ruang tamu mertuaku di Bogor waktu tahun lalu. Aku tidak bisa memuaskan rasa ingin tahuku lantaran, bertandang ke mertua hanya sesekali, dan aku tidak ingin mendapat kesan tak peduli hanya lantaran ingin memenuhi rasa ingin tahu “ocehan” sahibul hikayatnya Dan Brown.

Ini, sekali tiga ada di mukaku. The Da Vinci Code, Angels & Demons dan Deception Point. Jangan Tanya perasaanku. Kemasan buku karya Dan Brown sangat menarik, kesannya mahal. Memang harus aku akui harga buku Dan Brown tidak murah. Menurutku memang seimbang harga dengan buku baik secara fisik maupun isinya. Tapi kalau bisa lebih murah, aku juga pasti lebih senang lagi.

Menurut beberapa informasi yahng pernah ku baca, harga buku di Indonesia terbilang mahal di banding beberapa Negara lain. Jadi alasan rendahnya minat baca, tidak selalu di pengaruhi karena adanya stimulus lain seperti tv, dvd player atau mall. Soalnya pada kenyataannya di samping harga buku tidak murah, di sebagian Indonesia raya masih sulit mendapatkan buku bacaan.

Tapi aku tidak terburu-buru untuk membaca buku karya Dan Brown ini. Alasannya sederhana saja, akukan memiliki banyak waktu, namanya juga pengangguran. Aku sedang menikmati peranku jadi ibu RT. Melayani anak & suami, membersihkan rumah, mencuci baju dan memasak. Jadi membaca bisa aku lakukan usai menyelesaikan pekerjaan tadi.

Suamiku sempat bertanya, kok aku tidak antusias membaca buku tersebut. Karena ia tahu, aku biasanya tak akan membiarkan buku diam tak terjamah. Aku Cuma senyum-senyum tak menjawab. Yah, aku punya banyak waktu.

Tapi perkiraanku meleset. Usai melakukan pekerjaan RT, Van sudah menanti dengan setumpuk majalah di tangan. Jadilah aku menuda membaca novelnya Dan Brown. Hari-hariku di penuhi dengan cerita Si kancil mencuri ketimun, Putri Salju, Legenda Tangkuban Perahu, Cinderella dan bermain masak-masakan dengan Van.

Seminggu sudah novel Dan Brown tak terjamah. Herannya juga aku tetap santai. Mungkin karena novel itu milik sendiri. Kemarin aku bertekad untuk mulai membaca. Jadi selesai berbenah, aku mandi dan mulai mengambil novel Dan Brown. Di banding menonton tv jelas aku lebih memilih membaca.

Dengan membaca, daya imajinasiku bisa mengembara membayangkan situasi dalam plot cerita. Ketika mulai membaca Da Vinci Code, jujur aku memulainya dengan berdoa, memohon kekuatan iman dan di bukakan mata hati untuk aneka infromasi dan pengetahuan baru. Geli juga, soalnya baru kali ini, aku berdoa untuk membaca sebuah novel.

Mulai dari lembar pertama, aku langsung terhipnotis. Bukan karena informasi yang mengguncang imanku sebagai umat Kristen. Aku terkagum-kagum dengan kemampuan Dan Brown meramu jalinan cerita. Banyak infromasi baru yang aku dapat. Aku takjub dengan kemampuan Dan Brown menggunakan fakta nyata yang dilebur dalam sebuah cerita khayalan.

Kemampuannya mengikatku sebagai pembaca sehingga benar-benar enggan meletakkan buku sebelum tamat. Tapi kekuatan Dan Brown meramu jalinan cerita untuk menahan pembaca tidak berhenti sebelum tamat masih kalau kuat dengan lengkingat Bas dan Van di muka pintu yang berteriak “Ma……ma aku pulang!”

Suara itu, mampu langsung menghentikasnku membaca dan meletakkan Da Vinci Code. Buah hatiku lebih segala-segalanya di banding novel Dan Brown. Dan sesaat aku meninggalkan Dan Brown di atas meja dekat tv.

Saat anak-anak istirahat siang yang berarti tidur, aku kembali melanjutkan membaca Da Vinci Code. Sepanjang membaca, benakku tak berhenti berpikir, kok ada yang orang sehebat Dan Brown. Aku bahkan sempat berhenti membaca hanya untuk memikirkan proses pembuatan novel ini. Dari satu buku yang mengulas latar belakang di buatnya The Da Vinci Code, di ceritakan sosok Dan Brown yang berhari-hari datang di museum di Paris yang jadi setting cerita.

Bahkan petugas museum sempat menganggap si orang America ini tidak normal.
Karena Dan Brown datang kadang beresama istrinya, kadang sendiri. Datang, duduk dan melihat-lihat. Berkali-kali, berhari-hari hanya itu yang dikerjakan. Siapa yang megira kalau itu bagian dari observasi Dan Brown.


Sama seperti John Grisham, Sidney Sheldon, Marry Higgins Clark, JK Rowling dan banyak penulis barat lainnya yang selalu mau melakukan serangkaian riset sebelum menulis. Tapi aku juga tak heran menilai kemampuan Dan Brown mengingat ia di dukung istrinya yang ahli sejarah, ibunya yang juga penulis dan ayahnya yang ahli matematika. Satu kombinasi pendukung yang sempurna. Itu dari keluarga dekatnya. Kalau baca halaman terima kasih dalam novel-novel Dan Brown, rata-rata lebih dari dua puluh orang atau institusi yang juga mendapatkan ucapan terima kasih atas dukungan mereka.

Novel-novel dan Brown di penuhi dengan sejarah, dan matematika. Usai membaca Da Vinci Code langsung aku sambung dengan Angels dan Demons. Latar belakangnya sama. Sama-sama sejarah dan matematika. Entah ini di sengaja atau karena kebetulan karena latar belakang yang di angkat Dan Brown ada kaitannya dengan sejarah dan ilmu pengetahuan. Yang pasti aku kagum dan mengakui Dan Brown memang hebat.

Di bagian ulasan, penerbit memuji kehebatan Dan Brown dalam The Da Vinci Code dengan meramu sejarah seni dengan teologia dan Andels & Demosn dari Sejarah dan pengetahuan.

Dan Brown mampu mengelola sebuah cerita khayalan dengan menyentuh unsur-unsur fakta. Jujur sekarang aku merasa geli bila mengingat bagaimana gemparnya pihak gereja menanggapi novel Dan Brown. Karena karya-karya Dan Brown merupakan kejeniusan seorang Dan Brown mengekspresikan daya khayalnya. Kok Khayalan saja di takuti. Yang pasti aku menikmati, sambil berpikir mungkinkah aku bisa seperti Dan Brown? (Icha Koraag, 6 Maret 2007)

BELAJAR MOTOR

Sejak aku berhenti kerja, aku berniat mengambil porsi lebih besar bersama anak-anak. Dan itu termasuk antar jemput sekolah. Persoalannya aku belum bisa mengendarai motor. Maka akupun berniat belajar naik motor. Kalau mengendarai mobil aku bisa tapi suamiku tidak pernah mempercayaiku bawa mobil sampai akhirnya SIM ku mati dan aku tak berniat memperpanjang. Tapi itu juga karena aku tak punya kesempatan karena pergi dan pulang selalu di jemput suami.

Kini situasi memaksaku untuk belajar motor karena lebih praktis mengingat jalanan di waktu pagi ke arah sekolah anak-anak sangat padat. Maka suamku membelikan aku sebuah motor matic. Saat anak-anak sekolah, aku mulai belajar di sebuah jalan perumahan yang sepi. Karena menggunakan motor matic aku jadi hanya melatih membiasakan diri karena menurutku tak jauh berbeda dengan sepeda.

Pukul sembilan pagi, aku sudah mulai meluncur. Hal pertama yang aku lakukan adalah membiasakan mengatur kendali gas dan melihat kiri kanan lewat kaca spion. Mulanya aku agak ragu-ragu, masalahnya sudah tua begini baru belajar naik motor. Apalagi nanti harus membawa Bas dan Van. Tanggung jawabku tidak sedikit. Tapi bukankah tidak ada istilah terlambat buat yang mau belajar. Dan belajarpun tak mengenal usia.

Suamiku meyakinkan aku bisa, dulu suamiku juga yang melatih adik-adik dan keponakanku belajar mengendarai motor dan mobil. Kini mereka sudah mempunyai Surat Izin Mengemudi. Tapi membayangkan proses belajar dan membiasakan diri ini, aku di bayang-bayangi, adik atau keponakanku yang jatuh dari motor atau menabrak pagar ketika belajar mobil.

Tapi lagi-lagi suamiku meyakinkanku hal itu tidak akan terjadi kalau aku berhati-hati. Menurut suamiku harusnya aku lebih punya rasa percaya diri mengingat aku lebih pandai bersepeda di bandingnya. Aku membantah dengan mengatakan sepeda tidak bermesin jika jatuhpun pasti tidak akan separah seperti terjatuh dari motor.

Aku jadi tertawa ketika suamiku bercerita bagaimana, ia belajar naik sepeda. Suamiku agak-agak anomaly. Dia lebih dulu menguasai mengendarai motor daripada sepeda. Jadi belajar sepeda ketika ia sudah bisa berlari dengan kecepatan 70 km/jam di atas motor. Saat subuh adalah waktu yang dipilih untuk belajar bersepeda. Mulai dari pagar tetangga, trotoar sampai pak RT semua pernah di tabraknya. Bagaimana aku tidak geli mendengar pengalamannya.

Ternyata memang tidak sulit mengendalikan motor matic. Aku tinggal menyesuaikan kecepatan dan rem. Kali ketiga latihan mengendarai motor, aku mengajar Van untuk menyaksikan. Betapa geli hatiku ketika mendengar teriakan Van di kali ke tiga putaran aku berlatih.
“Cie, mama gaya-gaya nih naik motor!” teriaknya.

Kali ke lima latihan suamiku bilang, aku sudah boleh mencoba di jalan raya. Jujur rasanya aku tidak percaya bisa meluncur dengan motor. Berarti aku bisa jalan-jalan lebih jauh, tidak sekedar menjemput Bas dan Van. Tapi itu nanti, konsentrasiku sekarang masih bagaimana membawa Bas dan Van pergi dan pulang sekolah dengan selamat. Mudah-mudahan gerak reflek dan kemampuan menganalisaku bisa diterapkan saat di jalan raya. Aku tak mau kedua buah hatiku cedera. Doakan yah! (Icha Koraag, 6 Maret 2007)

BARONGSAI DI VIHARA HOK TENG CENG SIN




Aku sejak lahir hingga awal tahun 90-an tinggal di sebuah perumahan di bilangan Kebayoran Lama tepatnya di Cidodol.Aku menghabiskan masa kanak-kanank, remaja hingga tamat SMA di Cidodol. Dekat perumahanku ada sebuah Vihara. Aku dan teman-teman biasa menyebut Toa Pe kong, hingga jalan menuju Vihara tersebut juga di kenal dengan nama jalan Toa Pe Kong.

Di samping Toa Pe Kong berdiri sekolah bernama Surya Dharama yang melayani pendidikan SD, SMP dan SMK. Seingatku, dulu Toa Pe Kong ini juga memberikan latihan Kung Fu.

Sabtu, 3 Maret 2007, aku dan suami membawa kedua anakku Bas dan Van ke Toa Pe Kong ini untuk melihat pertunjukan Barongsai. Kebetulan bertepatan dengan perayaan Cap Go Meh, hari ke 15 sesudah Imlek.

Toa Pe kong ini bernama Hok Tek Ceng Sin di bangun tahun 1952, di renovasi tahun 1993 dan diresmikan pemakaian sesudah renovasi sekitar September 1994. Vihara ini bisa di katakan sebagai Pusat Agama Budha di Jakarta Selatan.

Menurut salah satu warga yang hadir di perayaan Cap Go Meh, Barongsay di vihara ini baru dihidupkan sekitar tahun 2001, itupun tidak ada kegiatan hanya latihan. Baru sejak Presiden Gus Dur mengakui Imlek, Barongsay vihara ini menjadi salah satu Barongsay yang mengisi berbagai pertunjukan. Di vihara ini sudah tidak ada perguruan Kung Fu tapi masih ada Perguruan Kesehatan Teratai Putih dan Wushu.

Pada perayaan Cap Go Meh yang diselenggarakan di pelataran Vihara Hok Teng Ceng Sin dan Halaman belakang sekolah Surya Dharma, turut hadir Pengurus Vihara, Ketua Yayasan Surya Dharma, Majelis Tri Dharma Jakarta Selatan dan Ketua Pemuda Tri Dharma Jakarta Selatan.

Para tokoh tersebut dalam sambutannya, secara umum meminta semua warga keturunan Tiong Hoa untuk meningkatikan Persatuan dan Kesatuan sebagai Bangsa Indonesia. Serta berharap semoga hoki tahun mendatang lebih baik.

Berada di Toa Pe Kong aku seperti berada di negeri China. Pintu Gerbang di jaga dua patung Barongsay . Melewati gerbang langsung berhadapan dengan tempat persembahyangan umat. Di kiri pintu masuk ada tempat pembakaran. Dibelakang tempat persembahyangan, ada teras Vihara yang langit-langitnya di hiasi ratusan lampion berwana merah dan emas. Di masing-masing lampion tertulis nama keluarga. Mungkin itu untuk menunjukkan sumbangan warga atau keberadaan warga yang melakukan persembahyangan di vihara ini.

Malam makin larut, pertunjukan barongsay sudah lama berakhir, panggung hiburan kini menyajikan band sekolah dengan lagu-lagu pop yang sedang trend, seperti lagu dari Nidji dan Samson. Suasana pecinan memang sangat terasa tapi dari pembicaraan dengan mereka, mereka tetap orang Indonesia. (Icha koraag, 4 Maret 2007)

PIN DI POSYANDU MERAK








Minggu ketiga Februari lalu, diselenggarakan Pekan Imunisasi Nasional. Gerakan ini adalah suatu gerakan positif yang dilakukan pemerintah lewat Departemen Kesehatan dan instansi terkait lainnya guna memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat

Aku membawa kedua anakku ke sebuah Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) yaitu Pos pelayanan kesehatan yang di koordinir warga secara bergotong royong dengan pantauan Petugas kesehatan dari Pusat Kesehatan Masyarakat setempat. Biasanya dokter atau bidan.

Aku membawa Bas dan Van ke Posyandu Merak, yaitu sebuah Posyandu yang berada di wilayah RW 07 Kelurahan Pondok Bahar Kecamatan Karang Tengah. Pondok Bahar adalah salah satu wilayah yang terendam banjir di awal Februari lalu selama 5 hari.

Namun musibah banjir tidak merintangi para kader Posyandu yang diketuai Ny. Utari untuk tetap tetap menyelenggarakan Pekan Imunisasi. Aku sengaja membawa Bas dan Van untuk di imunisasi di Posyandu ini, sekaligus melihat langsung kegiatan masyarakat.

Di Rwt 07 sendiri jumlah Balita ada sekitar 65 tapi dari pemantauanku, hingga menjelang tengah hari sudah hampir 90-an balita yang datang bersama pengantar yang umumnya adalah para ibu. Menurut salah satu kader, jumlah tersebut dikarenakan Posyandu Merak juga melayani warga kampung disekitar RW 07 yang lebih dekat ke Posyandu Merak ketimbang Posyandu lainnya.

Menurut penasehat Posyandu Merak Ny Sandra Eddy Effendi yang juga istri dari ketua RW 07 Pondok Bahar, ada sekitar 20 kader yang melayani Posyandu Merak di bawah bimbingan Bidan Esti dari Puskesmas Pondok Bahar.

Imunisasi kali ini, untuk bayi dan balita sampai usia 59 bulan mendapat imuniasi Polio dan Campak serta tambahan Vitamin A. Untuk anak-anak di atas usia 59 bulan atau 6 tahun ke atas mendapatkan imunisasi Campak dan Vitamin A. Selain mendapatkan imunisasi, para ibu dan anak-anak mendapat tambahan makanan bergizi berupa bubur kacang, sejenis kacang hijau yang merupakan bantuan dari Unicef.

Menurut Ny Sandra Eddy Effendi, Posyandu Merak merupakan salah satu Posyandu yang rutin mendapatikan bantuan langsung dari Unicef dan institusi international lainnya seperti Jica, Jepang berupa jarum suntik sekali pakai.

Jika selama ini Posyandu Merak bisa mendapatkan bantuan, semua itu tidak lepas dari peran aktif para kader yang selalu mengikuti pertemuan rutin baik di Tingkat Kecamatan maupun Tingkat Kotamadya untuk urun rembug, menimba dan berbagi ilmu kesehatan tubuh dan kesehatan masyarakat. Semua itu bermanfaat membuat para kader tetap bersemangat mengelola posyandu dan posyandu sendiri tetap bisa aktif melayani kesehatan masyarakat.

Walau kegiatan Posyandu hanya sebulan sekali tapi para kader tetap melakukan pertemuan rutin seminggu atau dua minggu sekali. Para kader Posytandu Merak umumnya adalah para ibu rumah tangga warga di RW 07.

Posyandu memang hanya bagian kecil dari peran masyarakat dalam usaha turut menciptakan masyarakat sehat. Tapi peran posyandu sangat besar dalam memberikan pelayanan kesehatan langsung pada masyarakat kecil. Dengan begitu sangat mebantu menghindari masyarakat dari penyakit. Karena selain imunisasi, posyandu juga memberikan makanan tambahan bergizi dan informasi penting lainnya yang berkaitan dengan menjaga kesehatan lingkungan. (Icha Koraag 26 Februari 2007)