Showing posts with label Jurnal. Show all posts
Showing posts with label Jurnal. Show all posts

Bagian 2. LUWUK: Nama saya Elisaaaaaaaaaaaa dari Jakartaaaaaaaaaaa...!!!!








Terkejut, marah dan kesal bercampur dengan lelah membuat mual dan pusing. Masih lebih dari 18 jam lagi saya akan terkurung di bus jelek ini. Tapi saya coba menikmati saja. Panasnya Sulawesi cukup memanggang, hingga lelehan keringat membuat aku saya basah. Dari balik jendela saya bisa melihat desa-desa angus, sisa kerusuhan yang lalu.

Luwuk adalah ibukota Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah yang
Luwuk terletak di ujung peninsula dari provinsi Sulawesi Tengah merupakan ibukota dari kabupaten Kepulauan Banggai. berjarak ± 607 km dari Kota Palu yg merupakan Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Kota Luwuk mempunyai moto "Luwuk Berair" kota yang "Bersih - Aman - Indah dan Rapi".

Kota yang diapit oleh pantai dan perbukitan ini sangat indah dengan pantainya yang jernih dan tak berombak karena di kelilingi oleh kepulauan Banggai. Kota dengan populasi yang tidak terlalu padat ini dihuni berbagai suku yang datang dari berbagai daerah seperti Bugis, Padang dan warga keturunan Tionghoa yang banyak berprofesi sebagai pedagang. Penduduk asli daerah sekitar adalah suku Ta. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dengan dialek Bugis campur.
Sedikit dataran rendah yang terdapat di bibir pantai menjadi sentra kota, pemerintahan dan pemukiman penduduk. Sedangkan tak jauh di belakang kota adalah dataran tinggi / pegunungan yang hijau dan subur. Kondisi geografis ini membuat kota Luwuk tampak unik, memanjang menyusuri pantai. Pemandangan Kota Luwuk sangat indah baik di siang maupun malam.

KTP para penumpang dikumpulkan kondektur dan tiap melwati perbatasan kota, kondektur melapor pada pos-pos militer. Akhirnya saya tiba juga di perbatasan Poso. Setelah mengucapkan terima kasih dengan sang Brimob saya turun seorang diri. Saya turun di dekat Pos DLLAJR (Divisi Lalu Lintas Angkutan dan Jalan Raya). Saya langsung bertanya kendaraan yang menuju Luwuk pada petugas DLLAJR yang ada. Dari mereka saya mendapat informasi masih akan ada satu bus lagi yang menuju Luwuk.
Tiba-tiba saya tersadar kalau KTP saya masih di pegang kondektur. Tanpa sadar saya berteriak dan langsung menangis. (Cengeng banget yah?) Petugas DLLAJR bertanya ada apa. Cepat dan agak emosi saya menjelaskan kalau KTP saya masih terbawa Bus yang tadi saya tumpangi. Petugas DLLAJR dengan sigap naik motor mengejar Bus, saya berteriak kuat. Nama saya Elisaaaaaaaaaa dari Jakartaaaaaaaaa.

Hampir 20 menit petugas DLLAJR kembali dengan KTP saya. Wow… saya senang luar biasa. Menjelang senja, sebuah bus kali ini bus besar dan bagus mendekat. Petugas DLLAJR menghentikan dan berbicara dengan kondektur termasuk menawarkan harga untuk tiket saya.

Lega bercampur senang. Saya bisa kembali menikmati permandangan. Lokasi kota Luwuk yang menghadap laut, dengan pusat kota tepat di tengah teluk kecil berbentuk bulan sabit serta berlatar pegunungan memadukan keindangan yang eksotik. Di malam hari, kerlap-kerlip lampu-lampu dari bangunan pemukiman yang ada di lereng pegunungan menampilkan pemandangan yang indah dilihat dari pantai.

Sebaliknya bila kita lihat dari pemukiman yang berada di lereng pegunungan maka akan mendapatkan pemandangan pantai dan laut yang tak kalah indahnya, terlebih di saat matahari terbit. Saya merasa lelah tapi lega tinggal sedikit lagi saya akan tiba di Luwuk. (Bersambung)

Bagian 1. Sepanjang jalan Sorowako-Poso-Luwuk



Sepanjang Jalan Sorowako-Poso-Luwuk

Dalam perjalanan dinas keliling Pulau Sulawesi, Luwuk adalah salah kota target yang harus saya datangi. Padatnya jadwal pekerjaan saya, membuat saya tidak bisa berlama-lama menetap di satu kota. Sekalipun kedua orang tua saya berasal dari Sulawesi tepatnya Sulawesi Utara, namun keseluruhan Sulawesi tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi saya.

Kenyataannya walau sama-sama berada di Pulau Sulawesi, lebih banyak perbedaan daripada persamaannya. Terlepas perbedaan atau persamaan yang saya temui, tiap kota mempunyai cirri-ciri yang unik dan meninggalkan kesan yang berbeda-beda buat .

Sebetulnya perjalana saya di mulai dari Sulawesi Selatan tepatnya Makassar, lalu Bulukumba, Bone, Sengkang, Pare-pare, Palopo, Toraja, Mamuju dan Sorowako. Namun tidak saya jalani dalam satu kali perjalanan karena ada beberapa daerah yang berjarak jauh dan sulit ditempuh dengan jalan darat seperti Mamuju dan Sorowako, maka dibagi beberapa tahap. Nanti saya cerita di lain kisah.


Kali ini saya berbicara Luwuk, bukan kota pertama yang singgahi dalam perjalanan dinas keliling Sulawesi, entah mengapa kok saya menulisnya memulai dengan Luwuk.Luwuk dapat ditempuh dengan melalui jalan darat dari ibukota provinsi Sulawesi Tengah Palu melalui jalur Poso, Tentena, Morowali, Pagimana dan Luwuk. Tapi saya melakukan perjalanannya dari Sorowako ke perpabatasan Sorowako –Palopo. Sepanjang perjalanan anda akan melalui tempat tempat yang indah yang belum banyak dikenal seperti lokasi penyelaman di Pulau Tikus dan Tanjung api.

Kalau saya tuliskan indahnya apa yang saya lihat, berbanding terbalik dengan ketidaknyamanan perjalanan. Sebetulnya dalam perencanaan perjalanan saya, Dari Sorowako saya akan kembali ke Makassar baru dari Makssar saya akan menggunakan pesawat menuju Luwuk.

Makassar adalah pusat penerbangan di Sulawesi. Sehingga jika dari kota-kota kecil kita harus kembali ke Makassar baru melanjutkan penerbangan ke kota selanjutnya. Namun entah mengapa, Penerbangan merpati yang ticketnya sudah saya genggam, mengabarkan mempercepat jadual penerbangan ke Luwuk.

Dari Sorowako, seharusnya saya tiba di Makassar pukul 07.30 dan penerbangan ke Luwuk dari Makassar adalah pukul 8.30. Sehingga perhitungan saya tidak meleset. Namun apa mau di kata Merpati memajukan penerbangan ke pukul 07.00 dimana saya baru mau meningalkan Sorowako.

Secepatnya saya harus merevisi jadwal perjalanan. Seharusnya besok pagi saya terbang ke Makassar, tapi karena ada perubahan, maka saya harus melakukan perjalanan darat. Dengan menumpang travel, saya diantar sampai keperbatasan, Sorowako-Palopo. Tanpa teman, tanpa petunjuk saya harus mencari jalan sendiri. Senja mulai turun dan segera berganti malam. Permandangan yang sangat indah namun tak bisa saya nikmati karena saya masih harus memikirkan bagaimana dan dengan apa lewat mana untuk tiba di Luwuk.

Di sebuah persimpangan saya turun dan ditunjukkan untuk menunggu di sebuah rumah makan kecil. Bermodalkan nekad dan secuil keberanian yang dipaksakan saya bertanya pada warga sekitar. Dari warga sekitar saya mendapat informasi akan ada kendaraan dari Makassar menuju Gorontalo yang bisa saya tumpangi dan nanti berganti kendaraan di perbatasan Poso.

Sebersit rasa cemas menghantui begitu mendengar kata Poso. Jujur saya agak paranoid kalau mendengar keributan antar warga karena perbedaan agama. Berpasrah dan menaikkan sebait doa mohon keberanian dan perlindungan dari yang kuasa, saya berkeyakinan niat baik saya dalam perjalanan dinas ini akan baik pada akhirnya.

Waktu terus berjalan, rasa lapar tak terasa karena cemas. Saya memberanikan diri berbicara dengan seorang laki-laki yang ditemani dua anak kecil dan seorang wanita paruh baya. Syukur saya serukan kepada Tuhan. Karena laki-laki ini, yang tetap tidak saya ketahui namanya diakhir perjalanan saya, menemani dan menjaga saya. Ia seorang polisi dari Brimob yang bertugas di Polda Gorontalo. Wanita paruh baya itu ibu dan dua anak kecil adalah adiknya yang hanya mengantar.

Saya menceritakan kalau saya menikah dengan orang Gorontalo (Thanks Frisch, Gorontalo menyelamatkan saya) Laki-laki ini bersedia menemani saya karena kebetulan tujuannya adalah Gorontalo.Dari pukul 7,8,9, 10. Rasa cemas ini sudah menimbulkan sakit perut yang melilit, biar bagaimanapun gelapnya malam ditempat yang tak saya kenal, tetap sesuatu yang tidak enak bagi saya.

Polisi Brimob ini duduk tak jauh dari saya. Beberapa laki-laki yang terlihat seperti calo beberapa kali mengajak saya berbicara dan menawarkan penginapan tapi dengan halus saya tolak. Saya mencoba berkonsentrasi dengan buku yang saya bawa. Mendekati pukul 11 malam, sebuah bus yang sangat menyedihkan dengan nama :”Bitung Indah” mendekat.

Bukan bus besar tapi bus sedang sebesar Metro Mini Jakarta. Sang Brimob mengajak saya dan mengiring saya ke bus. Saya bingung dan terkejut karena walau dengan cahaya yang terbatas saya bisa melihat tak ada tempat di dalam bus. Bukan karena penuh penupang tapi karena penuh karung.

Kondektur mengatakan, naik saja! Di atas ada tempat duduk. Di pintu saja sudah penuh karung dan saya harus merayap melalui karung untuk sampai di dalam yang juga dipenuhi karung. Tepat dibelakang supir ada satu tempat duduk kosong. Tapi itu berarti saya duduk bersebelahan langsung dengan pintu bus yang tak berpintu. Sang Brimob juga merayap tapi dalam hati saya katakana Polisi kan biasa merayap kalau latihan.

Sedangkan saya kali ini bertugas sebagai seorang Auditor yang bertugas melakukan Service Quality Audit untuk sebuah perusahaan provider komunikasi. Tapi tetap saya syukuri Karena masih ada kendaraan. Menurut penjelasan kondektur saya akan tiba sekitar pukul 15.00 sore di perbatasan Poso.

Tapi buruknya kondisi Bus membuat perjalanan menjadi dua kali lipat lamanya. Tengah malam, roda bus pecah tepat di tengah hutan yang saya tidak tahu persisnya. Dinginnya angina malam menusuk tapi lebih menakutkan kalau ada binatang hutan yang mencoba masuk ke bus. Badan ini lelah luar biasa tapi mata dan kesadaran diri terus waspada. Tak ada yang bisa dilakukan selain menghentikan bus dan menunggu.

Fajar sudah lama berlalu ketika ada bus sejenis yang lewat dan meminjamkan peralatan sehingga ban bisa diganti. Kondisi jeleknya bus ditambah beratnya beban membuat bus ini serasa berjalan ditempat. Ketika berhenti di sebuah tempat makkan dan saya bertanya berapa lama lagi tiba di perbatasan Poso. Supir dengan tersenyum kecut memberitahukan mungkin kalau lancar baru tiba besok sore. (Bersambung)