Baik perusahaan tempat suamiku bekerja maupun tempatku bekerja, tidak memberikan jaminan asuransi RS. Penggantian biaya pengobatan memang ada, tapi kalau harus di rawat RS, Perusahaan hanya memberikan sebesar satu bulan gaji. Karena itulah aku memasukan asuransi RS untuk kami sekeluarga. Bukan sok-sok-an, tapi siapa yang akan membiayai anggota keluarga kami jika harus rawat inap? Memang sistim kekeluargaan menyenangkan dan sangat membantu. Tapi aku tidak ingin menggantungkan pada keluarga. Aku belajar dari pengalaman salah seorang kakakku.
Ketika aku tiba sepulang dari kantor, ada adikku sedang bercanda dengan kedua anakku.
“Hey...sudah lama?”
“Lumayan, setengah jam?” Jawabnya. Tanpa basa-basi aku langsung bertanya,
“Ada apa?”
“Mami belum telephone?”
“Belum!”
“Sebentar juga telephone. Mandi saja dulu, bau!” Aku hanya mengangkat bahu, meninggalkannya yang masih ayik bercanda dengan anak-anakku.
“Ada apa?” Kini suamiku yang bertanya ke aku.
“Belum tahu, katanya nanti Mami telephone, jadi di suruh mandi”. Aku bergegas mandi. Benar saja, belum lagi aku sempat menjemur handuk, telephone berbunyi.
“Angkat saja!”Perintahku dan kulihat adikku mengangkat. Lalu aku menghamprinya.
“Mami!” sambil menyodorkan pesawat telephone
“Halo. Yap, ada apa Mi?”
“Ternyata ada Kista di usus Dito” Mamiku menjelaskan. Dito adalah anak sulung kakakku Sudah tiga hari di rawat di RS
“Lalu?”
“Dito harus operasi, Ada uang gak?”
“Kalau uang belanja sih ada. Berapa banyak?”
“Berapa saja, kumpul-kumpul semua! Soalnya RS minta taruh uang dua belas juta. Setelah menyanggupi, Mamiku mengakhir pembicaraan. Darimana pegawai negeri bisa menyiapkan uang sebesar itu dalam semalam? Tanyaku dalam hati.
Inilah enaknya punya keluarga besar. Di keluarga kami, Mamiku lah yang selalu menjadi Humas. Kadang diantara kami, anak-anaknya, kami menyebutnya God Mother. Karena sampai saat ini, tak ada yang berani membantah atau memprotes. Walau kadang-kadang diantara kami tahu bahkan sadar, kalau kebijakan Mami kadang-kadang malah tidak bijaksana. Tapi kami juga tahu, membantah orang tua, bisa kualat. Kan Sorga ditelapak kaki ibu. Jadi biar ibu tidak bijaksana, tetap saja sorganya tidak pindah. Kalau aku mulai menunjukan protes, biasanya kakak-kakakku membujuk dengan mengatakan, saatnyalah anak-anak yang harus bijaksana mensikapi kebijaksaannya Mami.
Aku kadang kesal, tapi ini serupa dengan kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang tidak bijaksana harus disikapi rakyat dengan bijaksana. Karena presiden kan cuma satu, tapi rakyat Indonesia, berjuta-juta. Jadi Yang berjuta-juta ini harus memberikan toleran yang lebih besar untuk kebijakan pemerintah, agar roda pemerintah bisa berjalan dengan baik.
Balik lagi ke soal God Mother. Hanya dengan telephone, beliau menghubungi semua anaknya. Kami bersaudara sebelas orang perempuan semua dan semua hidup. Sampai saat ini sudah sepuluh orang yang menikah, tinggal si bungsu yang belum. Biasanya Mamiku yang akan menyampaikan persoalan. Si anu masuk RS, si anu akan melanjutkan kuliah. Atau si anu mau bayar biaya ini. Kalau ada uang kumpulkan dong…!
Permintaan atau himbauan atau seruan, atau apalah namanya selalu manjur. Selalu ada uang yang terkumpul. Kadang geli juga, baru saja tabunganku berisi, belum lagi menetap dua bulan di bank, ada kabar si anu mau menikah. Ok. Aku menyanggupi untuk menyumbang. Belum lagi terisi kembali tabungan, aku mendapat kabar, seorang keponakanku mendapat kecelakaan. Lagi-lagi harus ambil tabungan. Dan aku jadi terbiasa kalau mendapat telephone atau sms tengah malam.
Tapi ada satu pengalaman yang ngeselin tapi sekaligus menggelikan. Tengah malam hpku berbunyi menandakan ada sms yang masuk. Agak malas tapi toh harus aku buka. Yang tadinya deg-deg-an. Berita apa yah? Ku lirik jam dinding pk. 02.45. Ternyata bunyinya.”….Hai mam lagi ngapaian? Kita lagi makan nasi goreng kambing. Mau gak?” Aku jadi tersenyum. Aku tau itu sms dari teman-temanku yang bergadang di kantor karena harus memasukan data dari study penelitian Persepsi mayarakat mengenai Pemilu se Indonesia”. Karena umurku lebih tua dibanding yang lain, mereka membahasakanku dengan sebutan Mami.
Antara mau marah dan tidak bisa marah. Akhirnya aku membalas pesan sms tersebut. “Eh lebih enak mana makan nasi goreng kambing atau main cinta? Gue lagi tanggung Nich!...…ha…ha…ha”Dan sms itu tak berbalas lagi. Aku bisa membayangkan mereka tertawa ngakak.
Hubungan yang manis yang selalu ditekankan mamiku aku terapkan dalam berhubungan dengan kawan-kawan. Silaturahmi menjadi salah satu acara kegiatanku di hari libur. Selain untuk mengetahui kabar kawan-kawan, aku juga mendapatkan banyak cerita mengenai pengalaman masing-masing teman. Dan semua itu tidak bisa aku dapatkan di buku sekolahan.
Sungguh aku merasakan jalinan hubungan yang baik, tanpa melihat suku, agama, ras atau golongan politik. Justru perbedaan-perbedaan itu membuat aku merasa kaya. Aku yang terbiasa ke luar kota ke lain propinsi sangat di mudahkan dengan informasi dari kawan-kawan yang memang berasal dari daerah yang akan aku kunjungi.
Informasi selalu mempunyai harga. Namun tak selalu dihargai dengan uang. Jalinan hubungan yang dijaga baik dan dipelihara bisa menjdi aset yang membantu dikala diperlukan. Karena itu jagalah silaturahmi. Percayalah, kawan kita akan merasa dihargai jika kita mau mengunjunginya.
Ketika kita terbaring sakit, kunjungan kawan dan kerabat dapat menjadi penyembuh yang lebih efektif daripada obat dokter. Jika kita mampu dan mau membantu mereka yang kekurangan, percayalah Tuhan akan melipat gandakan apa yang kita punya. Kalau kita tak mampu membantu dengan materi bantulah dengan doa. Bukankah orang bijak pernah berkata: Tidak ada seorangpun yang terlampau miskin hingga ia tak mampu membantu dengan doa?” Dan suatu hubungan manis yang dibina, membuat satu sama lain saling mendoakn agar diberikan berkat dan kesejahteraan yang datangnya hanya dari yang di atas. (11 Oktober 2006)
No comments:
Post a Comment