Kisahku: MATAHARI KEDUA !

Aku tahu satu matahari saja sudah cukup menerangi dan menghangatkan dunia. Aku setuju, satu matahari adalah sempurna tapi dua matahari adalah mujizat. Yang kumaksud matahari adalah anakku. Memperoleh anak pertama di tahun ke empat pernikahan sungguh menjadikan keluargaku sangat bahagia. Tanpa bermaksud menjadi narsis tapi harus ku katakana, anakku sungguhi-sungguh matahari kehidupanku. Ia tumbuh sehat, cerdas serta sangat rupawan. Senyumnya memberi warna ceria dan tawa riangnya membuat suasana menjadi hidup.

Hari-hari kami penuh warna. Ada gembira, ada sedih juga ada rasa takut. Memiliki anak setelah melampau ujian mental serta kesabaran menerima, maka ketika aku mengetahui kembali hamil. lagi-lagi di hari ulang tahunku. Aku merasa sungguh Tuhan sangat mencintaiku. Tanpa perencanaan sehingga ketika mendapati diri hamil, rasanya aku ingin berseru kepada dunia bahwa aku mendapatkan mujizat lagi.
Ketika hal ini kukabarkan kepada keluarga besarku dan keluarga besar suami, semua menyambut dengan sukacita.

Tapi lagi-lagi aku harus mengalami kehamilan yang tidak menyenangkan. Aku menyimpulkan hal ini disebabkan usiaku yang memang sudah cukup rawan. Waktu itu aku masih bekerja dan ruang kerjaku ada di lantai dua, sehingga setiap hari minimal aku harus turun naik 4 kali. Setiap kali kalau aku harus bertemu klien dan berpresentasi, aku harus mengucapkan bujukan dan rayuan untuk menenangkan janin dalam rahimku. Aku jadi terbiasa ngobrol dengan calon anak keduaku. Makanya tidak heran kalau sekarang kadang aku merasa kewalahan kalau berbicara dengan matahari keduaku.

Sempat pada satu masa saat aku hamil 4 atau 5 bulan anak kedua, orang yang biasa mengasuh putera sulungku berhenti bekerja. Sehingga sambil mencari pengganti, tiap hari Bas kami titipkan di rumah kakakku yang berjarak lumayan cukup jauh. Jadi pulang kerja, kalau kami lelah biasanya kakakku atau anaknya atau keponakanku yang mengantarkan Bas ke rumah kami. Suatu malam kami pulang dulu ke rumah sebelum menjemput Bas. Aku menyempatkan diri untuk buang air kecil. Betapa terkejut aku ketika terjatuh segumpal darah. Ketika aku menjerit dan memanggil suamiku, ia lebih takut lagi.

“Ma, sorry deh aku tidak berani lihat dan aku juga tidak mengerti lebih baik kamu telephone kakak-kakak kamu!” Ujarnya suamiku. Aku bersih-bersih dan menghubungi kakakku. Kakakku yang juga aku titipkan Bas hanya mengatakan siap-siap saja ke RS.

Setibanya di rumah kakakku, kujelaskan kalau aku tidak merasakan apa-apa. Suami dan kakakku bersikeras mengajakku untuk memeriksa diri ke bidan yang tetangganya kakakku. Rupanya kondisiku memang tidak baik. Ibu bidan angkat tangan dan mengatakan kalau sudah ada pendarahan harus di tangani dokter kandungan. Mau tidak mau, malam itu aku ke RS dan harus istirahat total di tempat tidur sampai tidak ada setetes darahpun yang keluar. Aneh rasanya berada di RS tapi tidak sakit. Tapi tetap saja aku diinfus. 3 malam yang menyiksa karena aku tak dapat bertemu dengan Bas. Untungnya hari terakhir tak darah setetes pun dan aku diijinkan pulang walau dengan catatan tetap isrtirahat total satu minggu di tempat tidur.

Sebisa mungkin aku istirahat tapi aku punya Bas yang berusia dua setengah tahun dan sedang aktif-aktifnya bergerak. Semua itu tetap bisa ku lewatkan. Kehamilan anak kedua baik-baik saja. Aku dan suami memilih Rumah Bersalin di Kawasan Kebayoran Baru yang terkenal sebagai Rumah Bersalinnya para selebritis. Tapi bukan itu alasannya mengapa kami menentukan Rumah Bersalin tersebut melainkan karena keberadaannya di belakang tempat kerjaku. Hingga aku cukup berjalan kaki untuk mengontrol kehamilan.

Pertama kali aku mengontrol kehamilan anak kedua, aku dan suamiku dikejutkan oleh informasi dari dokter kandungan. Dokter tersebut memang terlebih dahulu minta maaf namun tetap saja mengejutkan kami. Menurut dokter tersebut setelah melakukan pemeriksaan dan mendengarkan perutku, dokter mengatakan tidak ada kehamilan. Lalu beliau merujuk ke dokter lain masih di rumah bersalin itu.

Tapi aku kecewa dan memutuskan untuk pulang. Aku tahu ada sesuatu dalam tubuhku. Selain karena haidku sudah terlambat lebih dari dua minggu, aku sudah melakukan test dengan menggunakan test pack dan hasilnya postif. Selain itu aku tak lagi dapat mencium bau masakan atau makanan. Ku katakan pada suamiku, tak usah kedokter biar saja berjalan sendiri, kalau perutku tidak membesar itu baru namanya aku tidak hamil.

Waktu berjalan terus, Hingga tiba hari Natal. Natal kali ini ku rasakan menjadi Natal yang biru. Selain tema natal keluargaku tahun 2002 memang berwarna biru menjadi sebiru perasaanku. Di saat semua bersukaria saat pesta Natal, aku terbaring di kamar sambil menahan rasa mual. Silih berganti kakak dan adikku masuk menggoda dan menghiburku. Ada yang membawa sate, sup Iga, ice cream, black forest cake an menyodorkan ke wajahku. Aku dengan sigap menutup wajahku dengan bantal, minimal sampai hidung tertutup. Aku suma bisa mengkonsumsi jeruk dan apel. Biasanya mereka tertawa terbahak-bahak. Aku cuma bisa tersenyum kecut.

Sampai akhirnya tiba di detik-detik menjelang melahirkan. Oh yah putera sulungku lahir 27 Juli 2000. Anak keduaku diperkirakan lahir akhir Juli 2003. Minggu kedua bulan Juli merupakan tahun ajaran pendidikan baru. Karena aktifnya Bas, aku dan suami memasukan Bas ke Play Group yang tak jauh dari rumah kami. Bas sangat menyukai kegiatan bersekolah. Saat Bas akan berulang tahun, aku mengadakannya di sekolahnya. Mungkin karena kelelahan aku mulai merasakan kontraksi sebelum waktu perkiraan melahirkan.

Tanggal 29 Juli aku mulai cuti, itu hari Senin sedangkan jadual kontrol kehamilanku hari Sealasa. Jarak Rumah Bersalin tempat aku biasa mengontrol kehamilan cukup jauh dari rumah maka pada waktu tiba saat mengontrol, aku melakukannya di sebuah Rumah Bersalin yang jaraknya tak jauh dari rumahku. Aku mengajak adik bungsuku dan Bas menemaniku mengontrol kehamilan. Suamiku akan menjemput nanti. Dari hasil pemeriksaan dokter meminta aku untuk langsung rawat inap tapi aku menolak karena aku tidak merasakan kontraksi. Dokterpun mengatakan kondisi janin baik sudah mulai turun di panggul dan kondisi jalan lahir juga baik-baik saja. Suamiku mendukung semua keputusanku, hingga malam itu aku tetap pulang ke rumah.

Di muka Rumah Bersalin tempatku mengontrol malam itu, ada angkutan delman. Bas meminta naik delman. Tanpa berpikir panjang aku, adikku dan Bas naik delman. Rupanya delman yang ditarik seekor kuda cukup mengoncang perutku karena setibanya di rumah aku mulai merasakan kontraksi. Belajar dari kehamilan pertama dan dari buku-buku aku mulai menghitung jarak kontraksi. Masih sangat lama sekita 4 jam sekali.

Adikku dan suamiku mulai senewen, mereka berdua meminta aku berjalan-jalan di rumah dan di teras. Sampai pukul dua pagi aku belum merasakan kontraksi lagi, jadi aku putuskan aku mau tidur. Adik dan suamiku menggeleng-gelengkan kepala dan mereka mengatakan akan berjaga. Tapi ternyata mereka berdua tidur juga. Saat fajar aku bangun karena merasakan kontraski lagi, kali ini lebih sakit dan agak sering. Suamiku harus kekantor, jadi ia berpesan kalau aku menyayanginya kita bertemu di Rumah Bersalin jam 10.

Usai suamiku berangkat berkerja, aku mulai mempersiapkan diri. Tas berisi keperluan untuk di Rumah Bersalin sudah rapih. Aku tahu saat melahirkan, aku nampak jelek dan bau, makanya hari ini aku mandi, cuci rambut dan merias wajah. Ketika aku naik ke dalam taksi yang sudah menunggu. Di dalam taksi kontraskiku mulai teratur. Baik adikku maupun supir taksi menjadi stress. Berulang-ulang supir taksi mengatakan “Jangan lahiran dulu yah bu!”

Setiap rasa sakit itu datang, aku menarik nafas panjang dan mulai berhitung satu sampai dua puluh. Kalau sakitnya hilang aku tersenyum. Waktu hamil Bas aku tidak mengalami kontraksi normal seperti ini. Kontraksi yang kualami waktu menjelang kelahiran Bas dulu karena di induksi. Ternyata pilihan berangkat jam setengah sembilan adalah pilihan yahg tidak bijaksana, jalanan macet dan kontraksi semakin cepat. Walau aku menikmati rasa sakit itu tetap hanya disudut hati ada perasaan takut. Aku takut terjadi apa-apa karena ada Bas yang pasti masih sangat mebutuhkanku. Pagi tadi Bas sudah di jemput kakakku.

Akhirnya taksi yang membawaku ke Rumah Bersalin Asih tiba dengan selamat. Setelah membayar taksi, adikku membimbing aku. Tapi baru dua langkah rasa sakit itu datang mendera, aku harus menyilangkan kedua kakiku, berhenti dan menarik nafas panjang.n Para perawat menyambut tapi tidak ada yang berinisiatif memberi kursi roda. Jadilah aku berjalan tertatih-tatih. Tiap dua langkah aku berhenti. Namun karena ini Rumah Bersalin, semua yang melihat nampak biasa-biasa saja walau ada satu dua yang mengerutkan wajah. Aku masih menebar senyum, karena kebanggaan dan kebahagiaan melingkupi diriku. Yah aku akan mendapatkan mujizat lagi. Matahri yang kedua.

Semua perawat yang menyambut dan melayaniku baik dan ramah. Aku langsung dikenakan pakaian rumah sakit dan perawat melakukan serangkaian pemeriksaan standar sambil menunggu dokter yang menanganiku. Di sinilah aku mendapatkan serangkain tekanan secara halus. Namun sehalus apapun tekanan itu tetap tekanan dan mampu membuat aku stress.

Semua perawat yang berulang kali memeriksaku menunjukan wajah terkejut ketika melihat sebaris sisa jahitan di perutku. Mulailah mereka mengatakan “Wah kalau anak pertama operasi, lebih baik anak kedua operasi juga, bu. Ini demi kebaikan ibu dan si bayi loh!” Aku menyanggah dengan mengatakan “ Dokter bilang, aku bisa melahirkan dengan cara normal. Kondisiku dan bayiku juga baik-baik!” lalu si perawat keluar.

Saat aku merasakan dan menghitung jarak waktu kontraksi, kembali perawat lain datang dan mengatakan dengan kalimat berbeda namun maknanya sama. Lebih dari dua jam dengan 4 atau 5 perawat yang menekankan seperti itu. Sekitar pukul 11, suamiku masuk karena aku minta bertemu. Dalam kondisi kontraksi penuh aku memohon pada suamiku untuk menanda tangani form tindakan operasi. Terus terang ini keputusan yang akhirnya sangat ku sesali. Tapi penyesalan diakhir selalu tidak bermakna apa-apa. Kami sempat berselisih.

“Sabar ma, dokter bilang mama baik-baik saja jadi tidak ada alasan untuk melahirkan dengan tindakan operasi” Ujar suamiku membujuk. Rasa sakit yang luar biasa membuatku jadi emosi.
“Pa, alasanku untuk dioperasi karena aku tidak tahan rasa sakitnya!” kataku sambil menahan rasa sakit.
“Tapi kita hanya menyediakan biaya untuk kelahiran normal bukan dengan tindakan operasi!” Ujarnya lagi.
“Uang bisa di cari!” Kataku, kali ini dengan air mata.. Suamiku mengangkat bahu dan menarik nafas panjang
“ Aku ingin yang terbaik bagi kamu, aku akan tanda tangani!” lalu suamiku keluar.

Tak lama dokter dan perawat masuk dengan tesenyum dan mengatakan, semua akan beres. Prosesnya sangat cepat. 11.30 aku masuk ruang operasi. Kali ini aku tidak mau di bius total, aku ingin mengetahui dan melihat matahari keduaku yang sudah aku suami sepakati diberi nama Vanessa.

Proses pertamanya, sama seperti operasiku yang pertama, seseorang di atas kepala memintaku berbaring miring lalu ia menekuk kepalaku dan seseorang mendorong kakiku mendekati kepala lalu jarum suntik menusuk tulang belakangku. Seorang perawat merentangkan kedua tanganku dan mengikatnya di tepi ranjang. Selembar kain di pasang di atas perutku membentuk layer mentupi permandangan setengah pinggangku ke bawah.

Suasana operasi kurasakan lebih familiar, mungkin karena aku dalam kesadaran penuh dan waktunya siang hari. Dokter dan perawat bernyanyi bersahut-sahutan, sesekali aku ikut tersenyum mendengar canda mereka. Aku merasakan pisau membelah perutku tapi aku tidak merasakan sakit. Cuma ada perasaan ngeri karena aku melihat darah yang muncrat membasahi kain pembatas di perutku. Sehingga membuat aku merasa pusing dan itu aku katakan. Laki-laki yang berada di atas kepalaku berkata “Tenang ya bu, saya akan buang rasa pusingnya, sim salambim!” laki-laki itu menyuntikkan sesuatu ke lenganku dan hanya hitungan detik rasa pusing itu hilang.

Menit berjalan terus dan kali ini aku merasa mual. Kembali aku katakan aku ingin muntah. Lagi-lagi lelaki di atas kepalaku berkata:” Saya akan buang rasa mualnya yah, sim salabim” lalu ia kembali menyuntikkan sesuatu. Rasa mual itupun hilang. Tiba-tiba ku dengar suara laki-laki berkata : “Perempuan!” kemudian seorang laki-laki yang kukenali sebagai dokter kandunganku mendekat ke arahku sambil menjinjing anakku. Ku katakan menjinjing karena dokter memegang kedua kaki dengan kondisi kepala bayiku di bawah!

Takjub barangkali hanya itu kata yang bisa mengungkapkan perasaanku. “Bayi gendut terbungkus selaput, nampak jelek dan penuh darah. Itu anakku!” Pukul 12.30 aku keluar kamar operasi, silih berganti kakak dan adikku berdatangan dan menemuiku. Aku tidak hilang kesadaran namun hasil pembiusan local membuat aku merasa tidak nyaman dengan sinar terang. Sehingga walau dalam keadaan sadar, aku tidak membuka mata. Aku bisa mendengar dan menjawab orang-orang yang mengajakku berbicara tapi tak bisa melihat mereka. Ketika kupaksakan membuka mata, aku merasa sangat mual. Menurut perawat itu sisa-sisa obat bius dan tidak apa-apa.

Pemulihan pasca melahirkan Van lebih cepat dibanding ketika melahirkan Bas. Di Rumah Bersalin ini ada pelayanan pemotretan ibu dan bayi yang baru lahir. Esok pagi ketika tahu akan datang fotografer, aku sudah bisa kekamar mandi, untuk bersih-bersih dan merapikan diri. Makanya aku punya foto dalam kedaan tidak memalukan sesudah melahirkan sambil memeluk Van yang terlelap.

Matahari kedua sudah kumiliki. Van adalah mujizat yang kesekian yang kuterima dalam hidupku. Setelah berada dalam penatian panjang
Menunggu bayi yang tumbuh dan lahir dari rahimku hanya alam tempo tiga tahun aku mendapat sepasang matahari. Laki-laki dan perempuan. Buat ibuku, Bas dan Van adalah cucu ke 21 dan 22. Dalam rentang waktu itu tak ada bayi, sehingga keduanya senatiasa menjadi bintang dalam acara keluarga. Begitu juga buat keluarga suamiku. Namun bagi keluarga suamiku, Van menjadi bintang yang lebih bersinar. Van cucu ke 3 perempuan dari 11 cucu bagi ibu mertuaku.

Baik di keluarga besarku maupun di keluarga besar suamiku, ada 3 cucu laki-laki seusia. Di keluargaku ada Adrian, Fabian dan Bastiaan, sedangkan di keluarga suamiku ada Praja, Kelana dan Bastiaan. Jadi baik di keluargaku maupun di keluarga suamiku, Van tetap menjadi perempuan kecil yang menarik hati. Kini keduanya tumbuh menjadi anak-anak yang sehat. Lagi-lagi hanya tekad dan kesungguhan hati untuk mengasuh mereka adalah bentuk syukurku. (Icha. 31 Mei 2007)

No comments:

Post a Comment