Kisahku: Sumber Energi Baru

SUMBER ENERGI BARU

Sejak aku di PHK pertengahan Februari lalu, praktis aku memiliki banyak waktu dengan kedua anakku. Bila semasa aku kerja dulu, aku hanya sempat memandikan mereka pagi-pagi dan menyiapkan sarapan ala kadarnya. Setelah itu aku berangkat dan kembali bertemu mereka sesudah senja. Jika jalanan tidak macet lewat sedikit magrib aku sudah di rumah. Tapi kalau aku masih menyelesaikan beberapa kerjaan, usai anak-anak makan malam baru aku tiba di rumah.

Kini, mulai anak-anakku buka mata sampai mereka akan tidur, aku ada bersama mereka. Ternyata mengurus dan melayani Bas dan Van, aku membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri. Betapa banyak kesempatan dan tahapan dalam proses tumbuh kembang mereka yang tidak aku ketahui. Dan dalam 3 bulan ini, aku menjadi ibu yang kembali belajar mengenali kebiasaan dan kesukaan anak-anaknya.

Sampai saat ini, sulungku masih tetap agak sulit ku rengkuh. Ia sejak lahir memang lebih banyak bersama papanya. Demikian juga dengan aktivitas di dalam dan di luar sekolah. Menghadapi sulungku, aku harus banyak bersabar dan tahu diri. Aku tak bisa marah atau protes kalau Bas menerapkan semua apa yang sudah Bas dan papanya sepakati. Mulai dari cara mengatur buku, cara belajar, dan cara menata meja belajar. Aku yang harus menyesuaikan diri.

Aku lupa, kalau sosokku yang kini lebih banyak di rumah dan menemani anak-anak adalah sesuatu yang baru bagi Bas dan Van. Mungkin mereka menikmati mungkin juga mereka menyesuaikan dengan keberadaanku. Hari-hari pertama, banyak gelak tawa yang berkumandang. Sungguh aku sangat menikmati waktu bersama kedua anakku. Kerepotan di pagi hari adalah awal aktivitas.

Biasanya selama anak-anak di sekolah aku membersihkan rumah dan menyiapkan masakan untuk makan bersama. Saat-saat seperti ini sungguh aku nikmati. Aku tidak menyesali kalau kenikmatan menjadi ibu rumah tangga baru kurasa sekarang. Tidak ada kata terlambat bahkan seharusnya aku bersyukur, masih punya kesempatan menyertai anak-anakku di saat kanak-kanak mereka. Mungkin ini hikmah dibalik PHK yang kualami. Aku kehilangan penghasilan bulanan tapi aku menemukan sumber energi baru untuk men jalani kehidupan yaitu kebersamaan dengan anak-anakku. Tentunya juga kebersamaan dengan pasanganku.

Rasanya, sama seperti kebanyakan orang yang kena PHK, mulanya aku tidak terima. Seribu tanya memenuhi benak dan hatiku, mengapa aku? Bohong rasanya kalau aku dengan sukacita dan langsung menerima. Proses PHk itu sendiri sudah berjalan berbulan-bulan dengan proses tarik menarik. Dan dalam proses situ pada akhirnya aku menerima. Ketika kumemandang kesekelilingku, bukan hanya aku seorang yang kena PHK. Bila kini tiba atau jatuh atas diriku, kondisi ini tak bisa aku tolak. Tinggal bagaimana aku menerima dan menyesuaikan diri. PHK dari tempatku bekerja yang terakhir toh bukan akhir dari segala kesempatan aku untuk mendapatkan penghasilan. Dan pada akhirnya aku sudah membuktikan. Aku percaya rejeki tidak akan tertukar. Artinya kalau memang itu rejeki dan milikku, pasti tak akan kemana-mana.

Kebersamaan dengan anak-anakku dalam 3 bulan terakhir memang tidak selalu diwarnai dengan tertawa. Ada kalanya aku kesal bahkan emosi dan ingin berteriak karena marah. Atau tanpa sadar sebenarnya aku sudah berteriak. Biasanya bila Bas dan Van saling menganggu. Apalagi kalau aku sedang duduk di komputer. Biasanya usai makan siang aku mengizinkan anak-anak untuk menonton film dari DVD lalu tidur. Mulai mereka menonton aku sudah mulai duduk depan komputer

Mulanya hanya ejekkan berupa kata-kata. Akhirnya salah satu tak tahan dan mulai mengadu. Biasanya Van lebih dulu yang memanggiliku. “ Ma…..masa aku di bilang jelek!” Biasanya aku akan langsung menegur Bas. Dengan mengatakan “Jangan pernah bilang adikmu jelek. Kalau kamu sebagai kakak saja mengejeknya jelek, kelak kawan-kawannya juga akan mengejek demikian!” Dan seperti biasanya pula, Bas tertawa seraya berkata “ Aku cuma bercanda. Ma!’ Maka aku mengingat Vanessa untuk tidak terlalu memperdulikan ejekan Bas. Kataku: “Kalau kakak bilang kamu jelek, kamu balas saja berarti Bas juga jelek karena kamukan adiknya Bas!”

Untuk sesaat apa yang aku lakukan bisa menenangkan keduanya. Tapi tak sampai lima menit ganti Bas yang berteriak “ Ma, aku di pukul Van!” Kembali aku menemui keduanya dan mengklarifikasi permasalahan. Kulihat keduanya cemberut. Van bersender di dinding dan Bas duduk di depan tv.
“Ada apa Van, mengapa tanganmu ringan sekali?’ tanyaku
“Habis kakak gini-ginikan tangannya di mukaku, aku kan gak suka!” Jawab Van dengan lantang sambil menggoyang-goyangkan tangan di depan wajahnya.
“Kenapa Bas?”
“Tapi kan gak kena!” Jawab Bas membela diri
“Bas walau tidak kena, ada tangan bergerak-gerak di wajah kita itu tidak menyenangkan, jadi Van pantas untuk marah. Tapi Van tetap tidak boleh pukul! Ujarku dengan menekankan kalimat tidak boleh pukul.
“Tuh tangannya ringan sih! “ Seru Bas.
“Bastiaan, Van tidak akan ringan tangan kalau kamu tidak ganggu!” Baru aku berhenti bicara, tangis Van pecah.
“Aku tidak suka, tangan kakak di mukaku, aku kan terganggu saat menonton tv, ma” Lapor Van dengan nada yang sedih.
“Dua-dua sekarang dengar mama. Mama sedang bekerja. Kalau terus-terusan kalian panggil, kerjaan mama tidak selesai. Mengerti? Dua-dua bisa jadi anak baik?”
“Bisa ma!” jawab Bas dan Van serempak. Duh, manisnya kalau mereka seperti itu. Ucapku dalam hati. Mungkin karena Van mulai mengantuk, ia bergayut manja dalam pelukanku. Aku memahaminya sebagai ajakan untuk tidur siang.

Berhari-hari aktivitas seperti ini berlangsung dan aku mulai menemukan macam-macam cara menangani anak-anakku bila mereka mulai bertengkar. Dan menangani perkara antara Bas dan Van cukup menguras energiku karena aku harus berpikir keras mencari kalimat-kalimat yang menurutku mudah mereka pahami. Juga alternative aktivitas yang bisa mengalihkan mereka dari pertengkaran sesaat. Selama ini informasi dari buku-buku mengenai parenting hanya ku baca dan kupahami sekilas karena aku tidak menerapkan langsung. Kini semua informasi tersebut aku terapkan dengan optimal

Masuk dalam dunia anak tidak semudah dalam terori.Dulu aku pernah menjadi anak kecil tapi jujur aku lupa cara berpikir anak-anak. Untuk memahami pola pikir kedua anakku aku berusaha memahami sifat, kebiasaan, minat dan keinginaan keduanya. Bukan secara kebetulan kalau kedua anakku memiliki karateristik yang berbeda. Karena itu salah satu hal yang sangat ku syukuri dampak dari PHK yang aku alami, aku mendapat kesempatan lebih banyak bersama kedua anakku.

Di hari sekolah, keduanya nyaris tak bermain keluar rumah. Karena memang aktivitas di sekolah menyita banyak energi mereka, sehingga energi yang tersisa hanya cukup untuk menghangatkan rumah kami dengan teriakan mereka yang saling menggoda. Sumber energi baru sudah kutemukan, awalnya kukira dengan PHK, kehidupanku akan menjadi suram. Ternyata aku keliru. Uang memang dapat membeli bermacam-macam tapi uang tidak berarti segalanya. Dan uang tak dapat membeli kebahagiaan. Sumber keuanganku memang berkurang tapi aku sudah menemukan sumber energi baru yang tetap dapat memompakan semangat mengisi aktivitas kehidupan. (Icha Koraag, 25 Mei 2007)

No comments:

Post a Comment