RODA-RODA KEHIDUPAN

Kemarin, saat aku menjemput anak-anak pulang sekolah, di jalan yang kami lalui ramai orang bereriak dan menuding ke seseorang pria muda yang berlari-lari panik. Si pria muda berkemeja putih, bercelana hitam, tersandang sebuah tas di pundaknya dan identitas tergantung di lehernya. Ia berlari panik, masuk ke tengah jalan raya. Persis di depan kendaraan kami, ia berhenti dan bingung.

Suara orang ramai berteriak dan kamipun mendengar "Copet!" Suamiku bertanya kamu pencopet?" Ia diam tak menjawab. Ia berusaha lari dan memghentikan metro mini yang melintas tapi metro mini tak berhenti, begitu juga sebuah taksi. Suamiku menghentikan kendaraan dan mendekati di pemuda.

Si pemuda diam dan diiringi suamiku berjalan ke arah rombongan orang-orang yang mengejarnya. Suamiku berusaha melindungi si pemuda dari pukulan masa tapi tak berhasil. Si Pemuda tak melawan, diam dan pasrah. Akhirnya di giring ke kantor polisi yang terdekat. Lalu kamipun melanjutkan perjalanan pulang.

Di jalan Bas dan Van masih bertanya dan berkomentar, Apa itu pencopet ?, Mengapa di pukul ? Kan kasihan Papa! Sepanjang jalan aku merenung, demikian putus asakah sampai si pemuda tadi mencopet? Atau memang profesinya sebagai pencopet. Menurut suamiku "Kalau dia memang berprofesi sebagai pencopet, dia sudah tahu resikonya. Kalau tidak ketauan, mungkin dua tiga hari bisa makan tapi kalau ketahuan ya begitu itu, digebukin!"

Tapi kalau aku melihat dari penampilannya dan gerak-geriknya, si pemuda nampak masih gugup. Bisa saja ia meloloskan diri dengan terus berlari menjauh. Tapi si pemuda malah seperti orang kebingungan. Namun mengikuti perkembangan ekonomi negara atau tepatnya melambungnya harga sembako menjelang bulan puasa memang mampu membuat orang putus asa.

Contohnya berita seorang ibu di Batam yang membunuh dua balitanya sebelum bunuh diri sendiri sempat menuliskan sepucuk surat yang isinya mohon maaf pada kedua anaknya dan sang suami. pembunuhan ini dilakukan karena tak tega tak bisa memberi penghidupan yang layak bagi kedua anaknya dan daripada mereka tersiksa maka kematian jalan yang dipilih si ibu untuk membebaskannya.

Begitu juga seorang ibu di Surabaya yang membunuh ke 4 anaknya karena tekanan ekonomi. Atau yang paling akhir di Bekasi, seorang ibu memaku kepala anak bungsunya, bocah 3 tahun, sehingga harus di operasi. Si ibu sendiri sesudah memaku kepala anaknya, juga memaku kepalanya sendiri. Baik si ibu maupun si anak tidak meninggal. Indikasi sementara si ibu melakukan hal tersebut karena depresi lagi-lagi akibat tekanan ekonomi.

Aku merasa ada yang salam dalam siklus kehidupan ini. Tapi apa? Jujur, aku sendiri tengah dihimpit persoalan ekonomi dan aku percaya bukan hanya aku seorang yang saat ini dihimpit persoalan ekonomi. Tapi mungkin yang membuat hal itu berbeda adalah bagaimana cara pandang kita terhadap persoalan yang sedang di alami.

Setiap orang tua pastinya ingin memberikan fasilitas yang terbaik bagi pertumbuhan dan -perkembangan anak-anaknya, demikian juga aku. Tapi di tengah persoalan ekonomi yang aku dan pasanganku hadapi kami tidak memandang Bas dan Van sebagai sebuah Beban. Justru Bas dan Van lah kekuatan kami. Karena merekalah kami tetap bertahan dan terus berusaha.

Tawa mereka adalah pendorong semangat kami, pancaran harapan di bola mata mereka adalah tekad kami. Bersama Bas dan Van, hari-hari kami menjadi lebih berwarna. Celoteh mereka walau terkadang mengesalkan tapi tetap menimbulklan rindu didada jika berjauhan dengan keduanya.

Hingga pada akhirnya aku mendapat satu kesimpulan sementara, mungkin karena aku tak sendiri. Selalu ada pasanganku, dimana kami saling menguatkan. Saat ini aku dan pasangan membagi peran sedemikian rupa secara fleksible. Tapi bukankah itu yang memang seharusnya dilakukan sepasang suami-istri? Selalu ada bila dibutuhkan pasangannya?

Bukankah memang seharusnya suami-istri mempunya satu visi dan misi bagi keluarganya? Kekuatan saling memiliki dalam hubungan suami-istri pada akhirnya menjadi sebuah kekuatan yang menangkal setiap problema yang ada.

Problem ada dan akan selalu ada. Ada yang bisa diselesaikan ada juga yang tidak. Hadapi saja dan terima apa adanya. Bukankah hidup ini bagai roda yang berputar? Jika salah satu jari-jari pada roda kehidupan tersebut patah atau putus maka perputaran rodapun menjadi tak seimbang. Yang bisa membuat jari-jari roda kehidupan itu tidak patah atau putus hanyalah dengan kekuatan cinta kasih.

Saat jari-jari roda kehidupan patah/putus, kekuatan cinta bisa menambalnya. Tanpa kekuatan cinta kasih, saat jari-jari roda keidupan patah atau putus maka jalan roda kehidupan itu tak akan lurus lagi. Yakinlah cinta kasih mampu mengatasi persoalan, selama cinta kasih dibiarkan hidup dalam jiwa kita.

Saat ini sangat sulit menjumpai seseorang yang membiarkan hidupnya dipimpin atau diarahkan oleh cinta kasih. Mereka lebih percaya pada perhitungan logika dan menyampingkan perasaan.

Padahal logika tanpa perasaan sama dengan kehampaan. Hidupa akan berarti jika logika yang adapun dilandasi dengan cinta kasih. Saat jiwa kita dipenuhi cinta kasih, tak ada tempat untuk amarah dan dendam dalam diri, maka pikiran jernih akan mudah keluar. Dengan sendirinya solusi lebih mudah di dapat.

8 September 2007
Icha Koraag

No comments:

Post a Comment