MENDENGAR DENGAN HATI

Aku masih menyelesaikan pekerjaan pada project riset paling akhir. Saat ini dalam tahapan yang menentukan yaitu penulisan laporan. 246 laporan. Suatu angka yang fantatis. Plus 1 laporan summary dari 246 dan 1 laporan evaluasi pekerjaan. Pokoknya tangan dan mata ini amat lelah jadinya lantaran terlalu lama membiarkan berhadapan dengan kompie.

Liburan dan Natal akhir tahun kemarin di isi dengan kerja, kerja dan kerja. Pokoknya edan! Hampir tiap hari menjelang subuh baru aku merebahkan badan di tempat tidur. Jam kehidupan menjadi terbalik. Saat anak-anak sudah minta sarapan pagi, mata ini masih tak dapat terbuka. Seperti ada lem yang merekat walau kesadaran untuk bangun sudah ada. Tapi secara fisik mata ini menuntut untuk tetap terpejam.

Persoalannya anak-anak juga libur sekolah sehingga aku baru bisa efektif bekerja kalau keduanya sudah tidur. Rindu aku pada celoteh teman-teman di dunia maya. Bahkan membalas emailpun tak lagi sempat. Blogku lama tak tersentuh. Tapi aku tetap menulis. Dimana saja. Buku agenda dan kertas-kertas menjadi sasaranku menulis.

Jika kedua anakku belum tidur, aku harus melaksanakan kewajiban ku sebagai ibu. Memasak, menyediakan makan, menemani mereka menonton DVD ataupun bermain. Sebenarnya mereka terbiasa melihatku tenggelam di balik computer. Kadang teguran Van yang menjadi pengingatku, masih ada dunia lain di luar sana, selain keyboard dan layar monitor.

Teguran Van adalah teguran manis tapi cukup mengiris sehingga membuatku meringis. Biasanya dia akan datang dan langsung berkata “ Mama kerja terus, sayangi dulu dong anaknya!” Itu ucapan Van jika ingin di peluk.

Kalau aku lagi “nyandu” atau sedang melayang dalam permainan kata-kata dan membiarkan jemari ini menari sehingga teguran Van terdengar hanya oleh telinga bukan oleh hati. Maka Van dengan ringannya langsung mengikuti jemariku di atas keyboard, maka terhentilah permainanku!

Mau marah…? Sudah pasti! Tapia apa bisa….?
Apalagi kalau Van langsung menyembunyikan wajah mungilnya di dadaku. Aku hanya bias menarik nafas panjang dan membalas pelukannya. Sambil membisikkan ucapan maaf dan penyesalan.

“Maafin mama, sayang. Kalau mama tak menyelesaikan pekerjaan laporan ini, kita tidak akan dapat uang!” Ujarku . Van akan menjawab “Aku tahu…..aku tahu. Aku Cuma ingin di peluk mama. Aku sayang mama!” Ujarnya sambil mengeratkan pelukannya. Ucapan pelan Vanessa mampu menghilangkan semua kelelahan di tubuh ini. Kubiarkan beberapa saat kami saling memeluk. Karena kalau Van terpuaskan dalam pelukan, sesaat lagi ia akan kembali bermain dengan riang. Tapi itu belum selesai karena si kakak tak akan mau ketinggalan. Bas akan merangkulku dari belakang dan mencium kepalaku atau menempelkan pipinya di pipiku. Dan kalau sudah begitu, aku akan segera menyimpan file dan membuat komputerku stand by.

Kalau Bas dan Van sudah memelukku, maka aku harus memberikan semua waktu dan perhatianku untuk mereka.. Maka kami bisa bergelut di tempat tidur atau di depan tv. Aku menyediakan telinga dan hatiku untuk mendengar mereka.

Mengapa bukan hanya telinga? Tapi juga harus dengan hati? Karena kalau hanya dengan telinga, pikiranku akan melayang dan tertahan pada laporan kerjaan. Ujung-ujungnya kebersamaan dengan mereka terasa sebagai gangguan. Akhirnya aku merasa jengkel dan tertekan karena pekerjaan terhambat.

Tapi kalau aku memberikan hatiku, aku menikmati kebersamaan dengan mereka. Telingaku mendengar cerita, canda dan gelak tawa keduanya. Hatiku mendengar nyanyian riang dari jiwa kedua buah hatiku. kala bersenda gurau dengan keduanya. Mencium bau tubuh mereka, merasakan hangat tubuh keduanya, maka penyelesaian laporan kerjaan menjadi prioritas kesekian.

Interupsi Bas dan Van justru menjadi bahan bakar kekuatanku. Aku menjadi lebih rileks dan penyelsaian akhir pekerjaan bukan lagi menjadi beban tapi menjadi tantangan. Aku optimis minggu ke III Januari 2008, date line pasti bisa ku penuhi.

Bunda gaul gitu loh! Komentar suamiku. Rasanya puas sekali. Hidup ini indah dan nikmat. Karena indah dan nikmatnya hidup memang terletak pada cara pandang kita pada kehidupan itu sendiri. (8 Januari 2008)

3 comments:

  1. Anonymous4:08 PM

    Kalau baca kisahnya ini, wah, Mbak Icha ini termasuk tipe workaholic ya. Lha liburan aja, masih tetap kerja buat kantornya?

    Semestinya kan enakan berlibur dengan suami dan anak-anak ya...

    Mesti buat prioritas yang proporsional nih. Biar liburan dan kerja bisa dipisahkan. Lagi pula kan sudah ada suami, yang harus lebih kuat mencari penghasilan.

    Maaf, sekedar ingin beri masukan aja. Nggak bermaksud melarang emansipasi wanita lho...

    Salam Hati Nurani,
    Wuryanano

    ReplyDelete
  2. Anonymous5:15 AM

    Ibu Icha adalah Ibu yang hebat...
    Karena walaupun banyaknya tugas rumah tangga yang perlu di selesaikan tapi kerja di luar rumah juga tetap jalan...

    ReplyDelete
  3. Emang listening with your heart itu tidak mudah ya mbak. kadang perasaan ini dibutakan oleh keinginan sesaat dan semu. tapi salut dengan semangat mba icha...

    sekalian mohon ijin untuk menjadikan tulisan mba sebagai inspirasiku dalam menulis..

    anyway thanks

    Slamet

    ReplyDelete