Film, AISYAH, Biarkan Kami Bersaudara: Bangkitkan Semangat Nasionalisme


Film, sebagai sebuah karya seni dapat menjadi tontonan sekaligus tuntunan. Produk hiburan yang diharapkan bisa memberikan semacam pencerahan. Harus saya akui, dada saya bergetar menonton film Aisyah, Biarkan kami bersaudara. Ada rasa marah sekaligus membakar semangat nasionalisme saya. Ini Indonesia dan saya merasa belum melakukan sesuatu untuk Indonesia. Dari sisi judul, saya sudah tergelitik. Masa, bersaudara saja harus izin? Harus minta dibiarkan? Begitu mahalkah harga sebuah hubungan prsaudaraan?

Kalau melihat 20 atau 25 tahun terakhir, Indonesia sarat dengan intrik SARA. Saya sempat merasa gamang dengan kondisi  seperti itu. Dan seribu tanya berloncatan dalam benak ini, mengapa dan mengapa tapi tetap tak terjawab.
Film, Aisyah, Biarkan kami bersaudara , sudah tayang sejak minggu ketiga Mei 2016. Tapi saya baru berkesempatan menonton. Itupun bersama kawan-kawan berbagai komunitas, atas undangan Kementerian Pendidikan. Mungkin karena film ini bercerita tentang perjuangan guru, maka Kemenrtian Pendidikan merasa perlu turut mensosialisasikan, sekaligus sebagai bukti dukungan pada film Indonesia.

Sebelum Film Aisyah, Biarkan kami bersauadara, di tahun yang sama saya juga menonton film yang bertema pendidikan. Tema pendidikan memang sebuah tema universal yang sangat menarik sekaligus menantang untuk diangkat ke layar lebar. Persoalannya adalah, apa pesan yang ingin disampaikan. Kadang terjebak pada tuntutan sebuah karya komersial, membuat pesan utamanya tidak sampai.

Saat film akan di mulai, saya lekat memprhatikan nama-nama pendukung film Aisyah, Biarka Kami bersaudara. Begitu membaca nama Penulis Skenario; Jujur Prananto, sedikit optimis film ini layak di tonton. Jujur Prananto, alumni Istitut Kesenian Jakarta, memulai karyanya sebagai penulis cerita pendek yang banyak masuk dalam kategori Cerpen Pilihan Kompas. Kemudian sejumlah skenario yang ditulisnya mendapatkan pengharga. Skenario  PARMIN mendapat peghargaan dari  Festival Sinetron Indonesia pada tahun 1994. Dan Festival Film Bandung pada tahun 2002, memberikan  penghargaan sebagai skenario terpuji  dari Film Ada Apa Dengan Cinta?

Kehadiran penulis scenario Jujur Prananto, menurut saya adalah salah satu kekuatan dalam film tersebut, selain dari Bintang Utamanya Laudia Cintya Bella. Laudia yang karirnya di mulai lewat sinteron layar tv, kiprahnya makin cemerlang. Ia mampu memerankan sosok guru bersahaja asal Jawa Barat yang ditempatkan di Atambua NTT. Naif, muda, emosional, keras kepala berhasil diekpresikan dengan ciamik.

Seting alam NTT yang indah dari jauh dan gersang dari dekat ikut memperkuat peran bu guru Aisyah. Kehadiran komikus Ge Pamungkas dan Arie Keriting juga menjadi nilai lebih. Demikian juga anak-anak asli yang menjadi  murid, mereka terlihat natural, dengan memerankan sebagai anak murid. Musik pendukung selaras dan harmonis dengan rangkaian gambar. Secara keseluruhan, saya akan memberi nilai 7,5 untuk film ini.

BloggerCihuy bersama Surya Sahetapy, salah satu pemain dalam
Film Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara


Kelemahan tidak tampak jelas, namun jika direnungkan, maka yang saya anggap sebagai sebuah kelemahan adalah tema konflik perbedaan agama. Entah mengapa saya merasa tema  konflik beda agama, tidak ok banget. Bukan mau menyangkal tapi saya kira bisa dialihkan. Artinya konflik bisa diambil dari perbedaan budaya jangan dari sisi agama.

Kesulitan masyarakat NTT mendapatkan air bersih harusnya bisa dieksplorasi lagi, sekaligus pesan untuk pemerintah. Masa sih, nggak bisa berbuat sesuatu, Indonesia sudah 71 tahun merdeka. Jago-jago geofisika dan geodesi banyak. Masa membuat sumur air atau apappun itu, nggak bisa?  Saya pernah beberapa kali ke NTT, (Kupang, Waikabubak, Waingapu di Sumba Barat dan Timur) saya tahu betul, sulitnya mendapatkan air, sehingga menjadi sumber/penyebab penyakit.

Selain itu, menghabiskan banyak waktu. Sehingga jangankan belajar, bermainpun tak sempat karena anak-anak harus berjalan berpuluh puluh km untuk mendapatkan air bersih. Ini harusnya diangkat sebagai konflik utama. Bahwa gangguan kegiatan belajar bukan karena perbedaan agama. Dan konflik agama yang diangkat, buat saya sesautu yang basi. Apa anak-anak kita mengerti bahwa konflik yang terjadi adalah akibat miss communication.  Bagaimana kita mau mengedepenkan perbedaan itu indah? Jika yang diangkat konfik budaya dan sifat pribadi-pribadi, saya rasa pesan moralnya bisa lebih mengena.

Karena penempatan Aisyah sebagai pendidik di Atambua memang difasilitasi Yayasan, artinya pihak swasta tapi kalau mau diperdalam, bisa sedikit disampaikan peran kemendikbud dan PGRI di Atambua. Karena Atambua masih Indonesia. Atau apa yang diperlihatkan film, nyata adanya, bahwa Kementrian pendidikan memang belum menyentuh ke sana?  Lalu apa yang sudah dilakukan Kementrian pendidikan Karena jika film adalah tontonan juga tuntunan, jangan biarkan kami hanya meneteskan airmata dan usai film, kamipun bubar begitu saja. Benar rasa nasionalisme saya terbakar, tapi apa yang bisa saya lakukan? Menjadi guru itu, mulia. Usai menonton, Cuma sepotong harapan yang saya langitkan lewat doa, semoga ada banyak guru yang mau mengajar di pelosok-pelosok nusantara dan beda agama bukan ancaman.

Sutradara: Herwin Novianto
Produser: Hamdani Koestoro
Penulis Skenario: Jujur Prananto
Pemain: Laudya Cynthia Bella, Ge Pamungkas, Arie Kriting, Lydia Kandou

7 comments:

  1. Jd Aisyh di sana krn program semacam Indonesi Mengajar gtu y bun?
    Belum nonton filmnya. Jadi penasaran. Kayaknya udah gak tayang di bioskop ya? Nungguin tayang di tipi deh hehe

    ReplyDelete
  2. Aneh ya, film Indo lebih sulit didownload darpada film luar..hmmm

    ReplyDelete
  3. banyak guru kontrak gitu kayanya deh..sekian tahun.. yangpns apa ada yang di taruhdibagin timor indonesia..katanya masuk kesana aja mesti dikawal.. oh indonesia ku..

    ReplyDelete
  4. Semoga dengan adanya film ini dapat menjadi peringatan buat kita semua, terutama pemerintah bahwa ada daerah nun jauh disana tapi masih di Indonesia yang butuh perhatian lebih. Dan semoga ada lebih banyak film2 serupa yang lebih (ng)Indonesia, karena sepertinya akhir2 ini film yang sedang marak adalah film dengan setting luar negri...

    ReplyDelete
  5. wah boleh juga buat referesi malam mingguan nih filmnya

    Budy | Travelling Addict
    Blogger abal-abal
    www.travellingaddict.com

    ReplyDelete
  6. Mantap Emang ni film, lokal harus terus didukung, biar bisa bersaing di pasaran

    ReplyDelete