Meet The Makers: Melestarikan dan Meregenerasi Jejak Peradaban Bangsa Indonesia.



Satu hal yang diakui dunia, sesuatu yang kaya dan besar dari Indonesia adalah budaya.  Ke aneka ragaman suku bangsa dan hasil karya berupa nilai-nilai tradisi yang diimplementasikan dalam bentuk tarian, patung pahatan/ ukiran kayu, lukisan,  perhiasan, aneka wastra berupa tenun,  batik,  songket dan lain-lain.

Tiap daerah memiliki kebudayaan masing-masing. Namun satu hal yang jelas di tiap bentuk hasil budayanya, selalu ada jejak peradaban. Nilai-nilai kehidupan yang tidak sekedar berbentuk fisik seperti kain, patung pahatan/ukiran atau gerabah. Di tiap hasil budaya tersebut ada pesan yang lebih mendalam dan bersifat abadi. Karena pesan yang dalam inilah, mengapa kebudayaan yang ada tidak cukup dilestarikan tapi harus diregenerasi.

Jejak Peradaban di Motif Kain Tenun



Karena kalau sekadar dilestarikan, karya budaya akan menjadi hiasan museum atau catatan buku sejarah kebudayaan. Hasil budaya harus diregenerasi agar pesan peradaban terus disampaikan dari generasi ke generasi. Catatan kecil ini, saya dapat dari perbincangan dengan Mama Yovita Meta. Perempuan paruh baya asal Kefamaanu, NTT. Beliau dari Yayasan Tafean Pah. Perempuan yang menyadari perlunya meregenerasi ketrampilan menenun pada perempuan-perempuan muda di desa Biboki. Kesadaran yang  awalnya didorong motif ekonomi.



Mulanya hanya ada delapan perempuan kini berkembang menjadi 400 penenun dan tersebar di 13 desa. Mama Yovita juga melakukan pendaminganpada anak-anak sekolah. Termasui menyiapkan beasiswa bagi mereka yang mau meruskan sekolah dengan tetap menekuni ketrampilan menenun. Menurut Mama Yovita, kini anak-anak perempuan sudah mulai terpanggil. Dukungan sekolah yang mau menyediakan salah satu kegiatan ekstra  sekolah juga menjadi pendukung, meningkatkan ermaja putri yang mau belakar menenun.

Kilas balik sekitar tahun 1971, karena bencana kekeringan, tanah yang ada tidak bisa ditanami dan hewan ternak pada mati. Bencana tersebut menghidupkan kembali budaya menenun yang nyaris punah. Keluarga-keluarga yang memiliki alat menenun, mengeluarkannya dan mulai menenun, lalu hasilnya dijual, uangnya dapat digunakan untuk membeli makan.

Blogger with Mama Yovita

Maka sejak saat itu, para ibu kembali menekuni kegiatan menenun. Seiring perubahan jaman dan kemajuan teknologi, perlahan-lahan menenun menjadi kegiatan yang kembali ditinggalkan. Mama Yovita yang melihat meredupnya sebuah peradaban, merasa tertantang untuk menghidupkan kembali kegiatan menenun. Tidak mudah bukan berarti tidak bisa. Lewat perjuangan yang melelahkan, perlahan tapi pasti Mama Yovita mulai mendapat dukungan.

Mulutnya yang tak henti menceritakan, pentingnya kegiatan menenun ini dihidupkan karena bisa menjadi modal perempuan meningkatkan harga diri. Di tengah krisis ekonomi, dimana  banyak warga meninggalkan desa dan menjadi TKI atau memilih bekerja di pabrik, menenun nyaris tinggal cerita. Padahal dengan menenun, menghasikan kain yang bisa dijual, warga tak perlu meninggalkan desa untuk menjadi TKI atau bekerja di pabrik. Saat alam tidak bisa menghidupi, menenun dapat mejadi tonggak.



Ketrampilan menenun yang umumnya diwariskan pada anak perempuan dapat menjadi modal dan bekal. Seperti kita ketahui, perempuan nyaris menjadi warga kelas dua dalam pengertian selalu lelaki yang menjadi kepala keluarga sekaligus pencari nafkah. Karena itu perempuan seolah tidak punya hak. Hanya punya kewajiban mengurus rumah yang tidak jauh-jauh dari kakus, kasur dan sumur. Kondisi ini membuat perempuan seolah tidak berharga. Dan ketika perempuan diceraikan, maka para perempuan ini menjadi tidak berguna dan terhina. Dengan ketrampilan menenun, perempuan memiliki kemampuan mencari nafkah, sehingga tidak bisa diabaikan. Jika sebuah keluarga secara ekonomi membaik, hubungan keluargapun ikut membaik. Artinya tercipta hubungan yang harmonis dan tentram.

Mama Yovita Meta adalah salah satu dari 16 peserta Meet The Makers 11. Meet The Makers,  kegiatan  berkumpulnya  seniman, (artisan) atau designer untuk menjual dan memamerkan hasil karyanya di Jakarta.


Dalam sambutan pembukaan Meet The Makers 11,  Bregas Harrimartoyo, sebagai Steering Comitte,  mengatakan: “Meet The Makers adalah kegiatan yang mempertemukan  pengrajin dan masyarakat , terutama orang muda dalam upaya  mengenalkan dan mensosialisasikan  keanekaragaman budaya Indonesia"  

Mengusung tema:   “Regenerasi Mempertahankan Tradisi” , digelar selama 12 hari, Mulai 21 Oktober hingga 2 November 2016 di Alun-Alun Grand Indonesia.  Sebagai tempat pameran “Craft as Art”,  diikuti 16 partisipan yang terdiri dari berbagai  komunitas perajin, desainer, dan beberapa organisasi kemasyarakatan. 

Pada saat pembukaan hadir  11 perwakilan peserta. Masing-masing berbagi kisahnya. Semuanya memiliki kesamaan cerita. Bagaimana persoalan yang dihadapi selalu pemasaran. Artinya ketika para artisan ini menghasilkan, terus hasilnya mau diapakan?  Harusnya tidak sekadar dipamerkan tapi juga bisa dijual, lalu uangnya, sebagian bisa dibelikan bahan untuk dibunakan membuat karya dan sebagian dapat digunakan untuk membiayai hidup.

Karena itulah hadir Meet The Makers. Sebuah ajang yang sekadar memamerkan hasil karya tapi juga memperlihatkan bangunnya kesadaran melestarikan tradisi dan meregenerasi  ketrampilan menghasilkan karya budaya. Tidak sekadar meningkatkan kwantitas tapi juga kwalitas lewat pemahaman teknologi. Kali ini Meet The Makers 11 bekerja sama dengan Alun-alun Indonesia.

Pincky Sudarman, CEO, PT Alun Alun Indonesia
Pincky Sudarman, CEO, PT Alun Alun Indonesia,  mengatakan, “Regenerasi perlu dilakukan. Saatnya melibatkan orang muda karena mereka yang kelak meneruskan apa yang ada sekarang".

Beberapa artisan bahkan menempuh sekolah resmi untukm mempedalami ilmu mengenai desain dan kain. Budaya dan hasil budaya adalah catatan perjalanan hidup yang mengalir seperti berjalannya waktu. Inovasi dari teknik maupun desain dan aplikasi penggunaan hasil budaya dapat menjadi terobosan karya baru sekaligus memnuhi keinginan pasar.

Bicara budaya, kita bicara jejak kehidupan. Karena hampir semua hasil budaya memiliki kisah yang sarat dengan nilai kehidupan. Tenun Sabu, misalnya. Dari tiap morif yang ada bisa terbaca berasal dari trah keluarga siapa. Jika selama ini kita memahami bahasa sebagai rangkaian huruf, sesungguhnya kita keliru. Karena ada yang namanya bahasa gambar. 

Motif  tiap kian tenun Sabu, bisa bercerita tentang sebuah keluarga. Motif-motif yang ada sebetulnya rangkaian kisah kehidupan.

Jika kita tidak mempelajari, dan tidak meneruskan ketrampilan menenun maka kita memutuskan sebuah catatan peradaban. Demikian juga dengan kisah gerabah Bayat.

Gerabah Bayat, Hasil Teknik  Mesin Miring.



Gerabah adalah peralatan rumah tangga berbahan dasar tanah lempung. Digunakan  ksejak jaman dahulu kala. Pada perjalanannya gerabah tidak hanya untuk peralatan makan tapi juga peralatan rumah tangga dan seni. Mulai dari piring, gelas, gentong air hingga vas dan pot bunga.

Hadir dalam Meet The Makers 11, Pengrajin Gerabah Bayat, Pak Harno dan keluarga (Plus istri dan anak gadisnya) Mengapa Gerbah Bayat menjadi istimewa karena menggunakan tehnik mesin miring yang sebenarnya sudah ada sejak lama. Pak Harno dan keluarganya bukan sekedar melestarikan tapi juga meregenerasi kertrampilan membuat gerabah dengan tenik mesin miring pada sang anak.

Saya mencatat  pemikiran menarik dari Pak Harno. Sama seperti kebanyakan lelaki di desanya. Tidak terjun pada pembuatan gerabah. Para lelaki melakukan tugas sebagai  pembakar, marketing dan distribusi.  Pembuatan gerabah dilakukan para perempuan, ibu dan anak gadis.

Pak Harno menceritakan, mengapa ia mendorong putrinya yang barus berusia 14 tahun menekuni pembuatan gerabah karena Pak Harno meyakini, tidak cukup ketrampilan akademik. Ketrampilan diluar akademik akan menambah nilai plus. Lebih lanjut Pak Harno menceritakan, jika kelak anak gadisnya lulus SMA, dengan memiliki ketrampilan membuat gerabah, ia yakin putrinya memiliki peluang besar dalam mencari pekerjaan. Kalaupun tidak dapat pekerjaan, Putrinya bisa bekerja memproduksi gerabah.

Pemikiran menarik dari lelaki yang kesehariannya berkutat di desa. Pak Harno sudah berpikir bagaimana membuka lapangan kerja ketimbang mencari pekerjaan. Jika saja semua orang berpikir seperti Pak Harno, rasanya angka pengangguran pasti menurun.

Mengapa menggunakan teknik mesin miring dalam membuat gerabah Bayat.

1. Mudah dalam penggunaan. Pembuat gerabah umunya perempuan, maka mesin putar miring dibuat untuk kemudahan

2.  Dari sisi etika, pada masa Sunan Bayat, para perempuan berkain panjang, sehingga terlihat tidak etis jika menggunakan mesin putar di depan.

3. Efisiensi kerja. Dengan mesin putar miring membuat lebih mudah dalam membentuk gerabah karena adanya gaya gravitasi. JIka dengan mesin putar datar diperlukan waktu 1,5 menit membuat piring, maka dengan mesin putar miring hanya diperlukan 30 detik untuk membuat satu piring gerabah.

Pak Harno mengatakan, selama ini orang berpikir hanya menjual hasil budayanya, ia berpikir memikirkan bagaimana menjual proses pembuatannya. Sehingga orang tertarik bukan melihat hasil nya tapi juga proses.




Ciri lain dari gerabah Bayat, selain teknik putaran miring, adalah  keunikan dalam hal warna. Pewarnaanya  yang coklat matang cenderung kehitaman. Maka jika ada gerabah dengan warna demikian maka bisa dipastikan itu gerabah Bayat. Walau namanya gerabah Bayat, sebetulnya diproduksi bukan di desa Bayat. Dinamakan gerabah Bayat karena mulanya diproduksi di Dukuh Bayat. Kini Gerabah Bayat diproduksi di Dukuh Pagerjurang, Jawa Tengah.

Tenun Ulap Doyo, Jejak Dayak Benuaq

Sama seperti pada kain tenun di NTT, Ada korelasi antara motif pada tenun ulap doyo dengan strata sosial dari kelompok masyarakat pemakainya.Kain Ulap Doyo adalah salah satu jenis kain hasil kebudayaan Kalimantan yang diangkat dari masyarakat Dayak Benuaq, yang tinggal di Kalimantan Timur.
Yang membuat kain tenun Ulap Doyo ini unik dan berbeda, karena bahan dan teknik pembuatannya. Ulap doyo merupakan jenis tenun ikat berbahan serat daun doyo (Curliglia latifolia). Daun ini berasal dari tanaman sejenis pandan yang berserat kuat dan tumbuh secara liar di pedalaman Kalimantan, salah satunya di wilayah Tanjung Isuy, Jempang, Kutai Barat. 
Agar dapat digunakan sebagai bahan baku tenun, daun ini harus dikeringkan dan disayat mengikuti arah serat daun hingga menjadi serat yang halus. Serat-serat ini kemudian dijalin dan dilinting hingga membentuk benang kasar. Benang daun doyo kemudian diberi warna menggunakan pewarna alami dari tumbuhan. Warna yang umum ditemukan antara lain merah dan cokelat. Warna merah berasal dari buah glinggam, kayu oter, dan buah londo. Adapun warna cokelat diperoleh dari kayu uwar.

Hal lain yang menjadikan tenun Ulap Doyo istimewa, system regenerasi tidak lewat proses belajar. Ketrampian yang diturunkan pada anak gadis berlangsung secara alami. Hanya lewat melihat  setiap hari dan otomatis mereka menjadi bisa.


Adalah Borneo Chic, sekumpulan LSM yang merasa perlu memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan ekonomi. Kesadaran membantu dan meningkatkan taraf hidup, melahirkan kelompok yang memperjuangkan pemasaran dan distribusi.. Sehingga masyarakat penghasil Ulap Doyo bisa terus memproduksi dan meregenerasi ketrampian pembuatan Ulap Doyo pada generasi yang lebih muda. Produksi Ulap Doyo bisa di beli dan di lihat di http://borneochic.com/

Tak cukup satu tulisan untuk menuliskan semua yang ada di Meet The Makers 11. Masih ada Kain kayu dari Fuya yang nyaris punah. Tapi lewat tangan tangan dan niat menghidupkan peradaban, bisa diregenerasi. Ada Lawe, kelompok yang mengangkat prestise kain lurik. Memberi nilai ekonomi yang lebih baik. 

Produksi Lawe, lurik yang menjadi bernilai ekonomi tinggi


Dan banyak kelompok-kelompok yang menghidupkan kembali batik dalam pengertian yang sesungguhnya, batik yang dibuat dengan menggoreskan malam menggunakan canting. Batik yang melewati proses panjang. Karena sejatinya membatik adalah proses menjadi sabar. Karena panjangnya proses pembuatan batik dari mulai mori tak bermotif sehingga menjadi kain dengan motif indah, membutuhkan proses yang panjang.

Membatik adalah perjalanan membuat titik titik dan merangkai menjadi jejak yang terlihat. Di lain waktu saya akan menuliskannya, bukan cuma proses pembuatannya tapi pelaku-pelaku kreatif dibaliknya.



Setiap lembar kain yang ada, bukan sekadar kain, itu adalah catatan sebuah peradaban, tetes keringat para artisan yang mecoba menjaga agar peradaban tidak punah. Meet The Makers tetap setia dengan misinya, yaitu memperkenalkan, mempertemukan dan menjembatani para artisan kepada masyarakat yang lebih luas. Khususnya masyarakat Jakarta. Kali ini fokus ke anak muda. Walau potensial buyer tetap juga diharapkan.

3 comments: