Keprihatinanku: ADA APA DENGAN LUSI?


Keprihatinanku: ADA APA DENGAN LUSI?


Dua bulan lebih Kabupaten Sidoarjo dilanda lumpur panas yang diproduksi PT. Lapindo Berantas.Kebiasaan masyarakat Indonesia yang kerap membuat singkatan hingga diikuti media masa, maka berita Lumpur Sidoarjo kerap disebut Berita LUSI.

Jika dalam tulisan ini saya, membuat judul dengan kalimat tanya, karena saya ingin membagikan pertanyaan yang menganggu benak saya. Pagi tadi sebelum berangkat kerja seperti biasa saya dan suami berbagi suratkabar. Lalu terjadilah percakapan yang akhirnya saya tuliskan dalam tulisan ini.

Jumat minggu lalu, usai Breakfast meeting, saya sempat ngobrol dengan member SMC (Social Marketing Circle)Bu Judith, (Konsultan Kualitative Research) Bu Yanti (Managing Director Polling Center) Pak Juzar (Advertising), Bu Indira (Managing Director Fortune PR) dan Pak Nico Koroh, (Konsultan Marketing komunikasi) Topik yang kita obrolkan seputar situasi bangsa dan negara. Akhirnya sampailah pada topik LUSI. Ternyata Pak Nico dulu bekerja dipengeboran minyak lepas pantai. Menurut pak Nico,Kasus LUSI adalah pembodohan.

Saya setuju, ini seperti unsur kesengajaan untuk pembodohan masyarakat. Karena kenyataannya yang disorot media massa bukan bagaimana menangani luapan lumpur melainkan usaha memutar balikan fakta dan menggiring masyarakat pada informasi yang salah. Misalnya lumpur tersebut tidak berbahaya. Relevansinya kecil sekali terhadap dampak kesehatan fisik masyarakat dibanding kesehatan mental akibat harus mengungsi. Terlepas dari lumpur tersebut berbahaya atau tidak, kenyataannya sekian banyak masyarakat harus mengungsi karena tidak bisa tinggal di rumah/di desa mereka yang tergenang lumpur.

Isue yang ditiupkan dengan meluapnya LUSI adalah fenomena alam. Sesungguhnya sebuah perusahaan pertambangan khsusnya pengeboran minyak sudah tahu, kalau yang akan di dapat itu lumpur. Para ahli geofisika sudah punya plan seandainya plan A gagal maka ada plan B. Plan B gagal ada Plan C dan seterusnya. Semua ada prosedur standar dan tetap. Dan menurut Pak Niko Koroh yang pernah bekerja di pengeboran minyak lepas pantai, perbandingannya 4-4-2. 40 % kemungkinan mendapatkan lumpur, 40 % kemungkinan mendapatkan minyak dan 20 % kemungkinannya mendapatkan gas. Artinya dalam tiap lapisan bumi yang di bor, para ahli sudah mengetahui apa yang akan di dapat.


Lebih lucu lagi pemegang saham yang memproduksi LUSI yakni PT Lapindo Berantas adalah Menko Kesra RI. Ketika Bencana Alam melanda Jogya dan Jateng serta Jawa barat Bagian Selatan, beliau tampil terus di media massa bahkan sebuah stasiun televisi swasta yang dikomandani putranya juga terus menerus menyiarkan wawancara ekslusive.

Tapi ketika kasus LUSI yang tetap tak tertanggulangi bahkan semakin mengancam, jangankan wajahnya, pernyataan beliau baik sebagai pemegang saham maupun sebagai Menko Kesra nyaris tak terdengar. Informasi terakhir atas instruksi Presiden, Mentri Negara Lingkungan Hidupa Rahmat Witoelar tak bisa berbuat apa-apa ketika solusi yang diambil adalah membuang LUSI ke laut.

Belum ada pernyataan resmi dari pejabat berwenang yang bisa menggaransi tidak akan ada dampak negative dengan dibuangnya LUSI ke laut. Pejuang lingkungan hidup boleh protes sampai air ludah mengering, kenyataannya LUSI tidak berkurang bahkan malah ditemukan banyak semburan baru.

Sebagai orang biasa saya tidak bisa menghitung berapa kerugian yang ditimbulkan akibat LUSI. Diantaranya Jalan tol Gempol, fasilitas umum dan sosial yang tak terhitung. Juga tanah dan rumah warga. Sawah, ladang, serta tambak. Sidoarjon terkenal dengan kerupuk udang dan pusat tas di Tanggul Angin. Entahn bagaimana nasib keduanya. Sayapun tidak bisa berhitung berapa banyak jumlah pengangguran baru.

Kalau kita mau merenung sejenak bukan hanya komuniktas yang rusak. Kalau bumi yang bermakna juga tanah tempat kita berpijak telah hilang, sebuah kehidupan telah musnah. Bayangkan jika sebuah keluarga sudah hidup di desa tersebut lebih dari 50 tahun lalu terpaksa berpindah bukan karena mau sendiri. Tapi desa atau rumahnya tidak lagi bisa ditempati yang disebabkan bukan karena perbuatan sendiri. Apa warga masyarakat ini boleh mengeluh?

Sedangkan GreenPeace yang membuang LUSI hanya 700 kg dihalaman MenkoKesra di anggap tidak etis bahkan sedang dirundingkan untuk kemungkianan ditindak lanjuti secara hukum. Mengapa warga Sidoarjo tidak melakukan Class Action melawan PT. Lapindo Brantas?

Selain itu, warga yang menjadi korban LUSI sebagian ada yang menempati rumah-rumah kontrakan dilain wilayah atas biaya PT. Lapindo Berantas. Tapi tidak sedikit yang masih tinggal di tempat darurat seperti kios-kios pasar.

Yang juga mengusik perasaan saya, kok tidak ada masyarakat yang tergugah untuk mengunmpulkan dana bagi korban LUSI? Baik itu media maupun masyarakat biasa. Ketika Tsunami melanda Aceh dan Sumut, Gempa di Jogja dan Jateng lalu tsunami di Jabart. Semua media berlomba-lomba membuka kotak/dompet amal. Para mahasiswa menggalng dana dijalanan. Tapi untuk korban LUSI?

Saya jadi berpikir, jangan-jangan masyarakat punya pemikiran bahwasannya LUSI adalah tanggung jawab PT. Lapindo Brantas yang dengan sendirinya diharuskan bertanggung jawab! Jika masyarakat biasa punya pemikiran demikian mengapa pemerintah tidak?

Untuk masalah LUSI yang seharasnya di evaluasi, adalah kemungkinan kesalahan prosedur standar dan tetap. Jika memang ada kesalahan perlu diperjelas mengapa dan siapa.

Lagi-lagi keprihatinan saya cuma sampai pada komputer dan pada anda yang membaca. Saya tidak tahu harus menyuarakan bagaiman mengenai kepihatinan ini. Berharap tulisan ini bisa mengusik nurani orang-orang yang punya akses dan kekuasaan untuk bertindak lebih pro pada masyarakat ketimbang kepentingan politis.(Icha Koraag, 28 September 2006. pk. 22.15)

No comments:

Post a Comment