Obrolanku: Suatu Malam di Pantai Kuta.


Obrolanku: SUATU MALAM DI PANTAI KUTA.

Dalam sebuah perjalanan dinas aku terdampat di pulai Bali. Aku baru bertugas di Sumba Barat, NTT berniat pulang ke Jakarta dan 3 teman lapanganku menuju Surabaya. Baik ke Jakarta ataupun ke Surabaya kami harus ganti pesawat di Bali. Entah harus mengeluh atau bersyukur karena tidaK dapat tiket hari ini, sehingga kami terpaksa bermalam di Bali.

Karena kami hanya sesaat di Bali, maka kami memutuskan untuk menikmati suasana malam di tepi pantai Kuta. Sambil mendiskusi pekerjaan. Dari penelitian kami, ditemukan mayoritas penduduk tidak paham kegunaan dari Akte Kelahiran. Sehingga sebagian besar tidak membuatkan Akte Kelahiran anak-anaknya. Namun ada sebagian yang membuat, itupun bukan setelah si anak lahir langsung dibuatkan, tapi nanti menunggu anak masuk sekolah. Sebagian besar sekolah mensyaratkan Akte Kelahiran sebagai salah satu dokumen kelengkapan untuk mendaftar. Maka saat itulah orang tua bergegas membuat Akte Kelahiran. Bahkan banyak sekolah yang memfasilitasi pembuatan Akte Kelahiran secara masal.

Selain itu tingkat kemiskinan yang merata, juga menyebabkan Akte Kelahiran tidak di buat. Ketika hal itu ditanyakan, maka jawab mereka:
“Daripada membuat Akte Kelahiran, uangnya lebih baik digunakan untuk membeli sabun mandi atau minyak goreng. Selain proses yang berbelit-belit (Khas birokrasi pemerintah) Kantor Catatan Sipil yang harus ditempuh sangat jauh, ma” Jawab salah seorang responden. Masyrakat sumba biasa memanggilku mama Bas.
”Bahkan kami tu harus sedia uang untuk makan dan minum diperjalanan, dari mana kami dapat uang? Hasil ladang tidak seberapa” Responden lain menambahkan.
”Jadi jangan heran, Mba. Kalau orang enggan membuatkan anaknya Akte Kelahiran” Ujar Teguh. Aku memang melihat dan merasakan sendiri sarana jalan di Sumba Barat, yang nampak dengan mata memang sudah diaspal, tapi jujur saja kalau mau ke kecamatan-kecamatan lain, belum di aspal dan berliku-liku ke bukit-bukit Penduduk yang sebagian besar masih tinggal di bukit-bukit akan kesulitan transportasi. Karenanya tak usah heran jika kuda masih berfungsi sebagai alat transportasi angkutan. Bukan hanya untuk mengangkut barang dengan gerobak tapi juga ditunggani sebagai angkutan orang.

Balik soal Kampanye Akte Kelahiran, kutanyakan pada 3 pemuda di sekelilingku. ”Menurut kalian bagaimana peran pemerintah daam mensosialisasikan hal ini?”
”pemerintah harusnya punya andil besar dalam ketidak tahuan masyarakat akan fungsi Akte Kelahiran. Buktinya tidak ada seorang pun dari responden kami yang tau, kalau Akte Kelahiran dibuat mulai si bayi usia nol sampai 60 hari adalah gratis.” Jawab Hardy.
Sosialisasi yang tidak sampai atau materi sosialisasi yang tidak dimengerti, bisa jadi alasan. Karena itu kami melakukan study penelitian ini.

Alfir menceritakan bagaimana Responden dengan kritis menanyakan, apa mungkin membuat Akte Kelahiran gratis? Memangnya tidak perlu bayar uang ngetik petugas? Atau kertasnya tidak bayar? Tintanya tidak perlu di beli? Rupanya itu adalah alasan-alasan yang digunakan Petugas pembuat Akte Kelahiran dalam mengutip bayaran yang tidak seharusnya. Atau kalau mau kata yang vulgar, korupsi kecil-kecilan. Biar kecil-kecilan tetap saja masuk kategori korupsi.

Bayangkan sampai masyarakat tidak percaya kalau gratis karena dalam benak mereka tidak mungkin orang kerja tidak di bayar. Tidak mungkin kertas dan tinta didapat secara gratis. Benak mereka sudah biasa tercerna, setiap pendaftaran administrasi pasti ada biaya. Masyarakat tidak tau kalau para petugas sudah di bayar oleh pemerintah.

Aku tidak tau harus berbuat apa. Aku bukan siapa-siapa. Padahal aku ingin berbuat sesuatu. Waktu kuceritakan hal itu pada tiga lelaki muda dihadapanku. Mereka menunduk. Jujur saja aku menaruh harapan besar pada mereka. Mereka pemuda-pemuda yang pontensial melakukan pembangunan negeri. Keputusan mereka menikah dan berkeluarga adalah salah satu bagian. Bagaimana mereka bersikap terhadap sebuah lembaga perkawinan dan bagaimana mereka menghormati komitmen yang dibuat kelak akan diturunkan pada keluarga mereka.

Artinya ketika mereka mempunyai pandangan tersendiri terhadap sebuah perkawinan, termasuk kebijakan administrasi pemerintahan yang mengatur pendaftaran perniklhan, dan syarat pernikahan maka nilai dan pandangan itu yang mungkin perlu diteruskan pada anak-anak mereka. Sikap dan pandangan mereka terhadap keluarga dan perempuan juga akan mempunyai pengaruh besar terhadap sikap keseluruhan masyarakat nantinya.

“Aduh, mba! Siapa juga yang mau menikah besok?” tanya Teguh sambil tersenyum
“Mungkin bukan besok tapi kalian ingin menikahkan?” desakku
’ya iyalah mba. Emangnya enak tidur sendirian terus?” Jawab Hardy yang disambut tawa Teguh, Alfir dan aku.
”Karena itu, berpikirlah dari sekarang, akan bagaimana kalian arahkan pandangan hidup keluarga. Orang-orang picik akan melahirkan keluarga yang picik. Sebaliknya orang bijaksana akan melahirkan keluarga bijaksana yang bisa menjadi pelita di tengah kegelapan.” Ujarku santai.
”Setiap orang harusnya bisa mejadi agen perubahan” Celetuk Teguh.
”Maksudmu?”
”Karena perubahan itu harus dilakukan mulai dari diri kita. Tidak bisa berharap orang lain mau berubah jika kita tidak memberi contoh langsung.” jawb Teguh tegas.
”Itu aku setuju” Jawabku
”Gue juga setuju” kata Hardy, Sementara Alfir hanya mengangguk-angguk.
”Eh tapi jangan-jangan, gara-gara obrolan ini kalian nanti minta dikawinkan?” kataku lagi.
”Ye si mba. Memangnya kita kambing minta dikawinkan?” Jawab Hardy sambil memonyongkan bibirnya
”Kalau menurut mba sendiri bagaimana dengan perceraian?” tanya Alfir tiba-tiba.
”Aku sendiri bukan orang yang mengharamkan “perceraian” Jujur saja aku lebih menghargai atau menghormati keputusan orang yang bercerai karena memang tidak memungkinkan bersama lagi dalam sebuah pernikahan.” Jawabku
”Bagaimana dengan masyarakat sekitar, anak-anak, ortu atau kerabat? Kitakan hidup di tengah masyarakat yang pengaruhnya sangat besar terutama secara psikhis” Kata Teguh.
”Kita jangan munafik. Buat apa hidup dengan menggunakan topeng kemunafikan? Berusaha mempertahankan pernikahan dengan alasan, anak-anak atau martabat keluarga, padahal di dalamnya penuh kehancuran dan konflik?.

Ketika kita berbicara mengenai anak-anak, seharusnya berani jujur, benarkah demi anak-anak? Bukan justru demi diri sendiri? Hidup sendiri bukanlah mudah, apalagi sebelumnya sudah dilabelkan sebagai istri orang. Jangan sembunyi dibalik alasan demi anak-anak. Jujurlah pada nurani sendiri.” Jawabku setengah emosi.

“Eh nyantai aja dulu mba. Kita cuma diskusi” Hardy menenangkanku
“Lalu apa yang dilakukan agar anak-anak berhak mendapatkan apa yang menjadi haknya?” tanya Alfir
“Sebuah keluarga yang harmonis tidak harus selalu beranggotakan Ibu, bapak dan anak-anak. Bisa saja tidak ada salah satu ortunya. Yang penting adalah ortu yang tetap bertutur halus, bukan saling menyalahkan atau justru memperlihatkan “aksi diam” satu sama lain. Apa itu mungkin dilakukan oleh dua orang yang sudah memposisikan sebagai musuh?

Karena aku meyakini setiap perbuatan ada resiko yang harus ditanggung. Ketika berkomitmen tidak akan berpisah walau perbedaan sudah selebar jurang, maka hormatilah komitmen itu. Agar anak yang dijadikan alasan, benar-benar mendapatkan haknya, bukan justru sembunyi dibalik alasan demi anak-anak.” Jawabku panjang lebar.

”Tapi itu tidak mudah” Kata Teguh
”Apa ada yang mudah dalam hidup ini? Jika tidak mau berpisah, cobalah evaluasi diri dan pasangan, masih adakah sedikit cinta? Jika ada, itu awal yang bagus. Karena cinta bisa ditumbuhkan dengan perhatian. Jika cinta sudah tidak ada, masih adakah respek? Karena respek juga bisa menimbulkan cinta kembali. Karena cinta kedua yang ditimbulkan dengan sengaja akan jauh lebih berharga. Karena cinta itu ditumbuhkan oleh kebutuhan dan tanggung jawab bukan sekedar cinta anak remaja.

Memang bukan hal mudah menimbulkan cinta kembali pada pasangan yang sudah sempat kita benci. Tapi bukan pula tidak bisa. Karena kini sudah ada anak yang menjadi bukti, dulu pernah ada cinta. Dan anak punya kemapuan luar biasa untu mengeratkan cinta. Nah ini persoalannya, anak bisa menguatkan cinta bukan menimbulkan. Yang bisa menimbulkan cinta yah dua orang yang berseteru itu.

Aku pun mempercayai, setiap kehidupan dalam pernikahan pasti ada gangguan. Bagaimana kita mensikapi gangguan itu yang akan membuktikan kualitas pernikahan kita. Karena bagiku tidak ada istilah salah pilih orang. Kalau kita mengaminkan jodoh ditakdirkan oleh Tuhan, maka jalani apa yang sudah sementara ini kita jalani. Karena kalau nanti diberi umur panjang, saat rambut sudah memutih, umurpun sudah banyak, cerita lalu patut dikenang. Bolehlah kita berbangga karena mampu melewati ujian. Bahkan pengalaman itu boleh jadi semacam ilmu yang kita tularkan pada anak-anak kita. Kalau orang tua kita bisa melewati rintangan kehidupan, maka mereka percaya anak-anak Mama dan Papa juga pasti bisa. Karena ada cinta di keluarga kita. tak terasa, waktu semakin larut, jam dipergelangan tanganku menunjukan pukul 2.15. kamipun memutuskan kembali ke hotel. Aku berhrap obrolan ini walau setitik meninggalkan ingatan yang berati dalam diri kami berempat.

Sama seperti aku yang kini sudah berada dalam penerbangan menuju Sumba Barat. Karena cinta pada keluarga, cinta pada tugas yang kuemban dan cinta pada masyarakat Sumba Barat, aku datang kembali ke Sumba Barat Dan yang terbesar karena aku tau Tuhan mencintaku, hingga di izinkanNya aku berada di dalam pesawat ini. Mengemban tugas yang dipercayai perusahaan.

Ini kali ketiga aku mendatangi Sumba dan aku percayai kalau bukan karena masyarakat Sumba Barat yang juga mencintaiku, belum tentu aku akan kembali. Tapi masyarakat Sumba Barat yang juga kucintai layaknya sebuah keluarga selalu menerimaku, sehingga aku merasa juga menjadi bagian dari mereka. Terbayang keluarga Ragawino, Mama Ati, Mama Kevin, Nija, Bobu, El, Dan, Ama, Ringko, Mama Bunga, Golou dan anaknya serta lainnya.

Kembali ke Sumba, seperti kembali ke rumah. Aku selalu membangun perasaan seperti itu, agar aku merasa kerasan sehingga tidak memikirkan keluarga utamaku di Jakarta. Karena usai tugasku di Sumba Barat dengan kerinduan setinggi gunung, aku pulang ke Jakarta, ke rumah dimana orang-orang yang kucintai dan mencintaiku menantiku dengan cinta. Frisch, Bas dan Vanessa, aku mencintai kalian. (Icha Koraag)

No comments:

Post a Comment