Keprihatinanku

MASIHKAH ADA TEMPAT BAGI SI MISKIN DI NEGERI INI?

Aku baru saja menyimak tiga berita peristiwa yang terjadi di Manado, Bukittinggi dan Yogjakarta. Aku tidak bisa menahan rasa perih di dada ini dan akhirnya aku menulis. Berita peristiwa di Manado dan Bukittinggi punyan kesamaan. Kedua berita menginformasikan penertian pedagang kaki lima di Pasar Empat Lima Manado dan Pasar Buktitinggi Sedangkan berita dari Yogjakarta mengenai 3 orang ibu yang menjual anak kandungnya.

Aku merasa sedih dan marah, karena semua berkaitan dengan perempuan..Para PKL baik di Manado dan Bukittinggi mayoritas kaum ibu yang mencari nafkah tambahan. Satuan Pamong Praja berbekal suarat perintah penertiban melakukan tugasnya. Lalu apa yang bisa dipertahankan ibu-ibu PKL? Perempuan miskin berhadapan dengan Pamong Paraja yang merupakan kepanjangan tangan kekuasaan.? Gambar yang ditayangkan media televisi, hanya membuat hatikusemakin miris. Perlawanan gigih para ibu PKL memperlihatkan perjuangan keras perempuan mempertahankan sumber nafkah. Gambaran perempuan-perempuan perkasa yang berjuang demi menghidupi anak dan keluarga. Bukan salah para perempuan ini, jika suami-suami mereka menjadi pengangguran.. Seharusnya pemerintah yang bertanggung jawab karena tidak bisa menyediakan lapangan kerja.

Sementara tiga ibu yang ditangkap Pihak kepolisian Yogyakarta (Di tahan di Polres Sleman) Dua sudah menjual bayinya sedangkan satu bayi masih di pelihara dukun bayi yang sekaligus berperan sebagai penjual bayi. Mulanya para ibu menolak mengaku telah menjual bayi kandungnya. Demikian juga sang dukun bayi. Namun akhirnya mereka tidak bisa mengelak setelah pihak kepolisian menemukan fakta-fakta. 2 bayi pertama di jual si Dukun bayi ke pasangan yang ingin mengadopsi dengan harga Rp 2 juta/bayi. Sedangkan para ibu bayi mengaku menerima Rp 1,2 juta rupiah.

Para ibu ini menangis dan mengatakan masih mecintai dan menyayangi bayinya, tapi keadaan ekonomi tidak memungkinkan mereka memelihara bayi tersebut. Mereka berharap bayinya mendapat orang tua yang mampu sehingga bisa memperoleh kehidupan yang baik. Sekaligus mendapatkan sedikit imbalan untuk mempertahankan hidup.

Pernahkah membayangkan rasanya terhimpit kebutuhan hidup? Bayar kontrakan, uang sekolah anak, uang untuk transport kerja/beraktivitas, uang listrik, uang air, uang untuk beli sabun mandi, sahmpoo, sabun cuci, minyak goreng, beras, minyak tanah? Aku tidak membenarkan ataupun menyetujui penjualan manusia. Tapi pernahkan pemerintah memikirkan, bagaimana hidup dalam kekurangan? Ketika kemiskinan semakin meningkat, apakah masih ada tempat di nergeri ini untuk orang berusaha agar bisa keluar dari kemiskinan ?

Benarlah kata para pengamat sosial, ketika kemiskinan menjadi satu masalah di sebuah negara maka perempuan dan anaklah yang selalu menjadi korban. Mengapa para ibu yang menjual bayinya ditangkap? Mengapa para bapaknya tidak tangkap juga? Bukankah para bapak juga punya tanggung jawab terhadap istri dan anaknya?

Pernahkah anda bergumul dengan perasan sendiri ketika muncul niat menjual bayi kandung?. Membayangkan darah daging yang kita kandung selama sembilan bulan lebih, menyatu dengan nafas dan darah kita menjadi alternatif solusi untuk keluar sementara dari himpitan kekurangan ekonomi.

Uang sejuta, dua juta mungkin bagi kita cukup berarti. Tapi kita akan marah dan berpendapat sejuta atau dua juta itu terlalu murah. Bayi kandung kita tidak bisa dinilai dengan materi. Artinya tidak ada nilai uang yang bisa menggantikan darah daging kita. Demikian juga bayi ibu-ibu tadi. Kalau mereka punya alternatif lain, pastinya menjual bayi kandung tidak akan pernah terlintas sebagai alternatif solusi.

Lewat tulisan ini, aku hanya ingin mengajak kita semua mensyukuri apa yang kita miliki. Biarpun belum memiliki rumah sendiri paling tidak masih bisa membayar kontrakan rumah. Biar tidak punya kendaraan pribadi tapi masih punya ongkos untuk naik angkot..Di sudut-sudut Indonesia Raya, jangankan makan nasi, makan ubi dan singkong pun mungkin hanya dua hari sekali.

Terlebih dari itu, kita masih bersama keluarga kita. Karena itu senatiasalah mengucap syukur dalam hidup. Marilah kita lakukan dengan sungguh-sungguh apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita sebagai anggota keluarga. Menjadi ayah, ibu dan anak yang bertanggung jawab atas apa yang menjadi kewajiban.masing-masing Dengan begitu kita berusaha untuk tidak masuk dalam golongan orang miskin. Karena kelihatannya orang miskin tidak punya tempat di negara ini. (Icha Koraag 2 Sept 2006, pk. 21.10)

No comments:

Post a Comment