BAHTERA KEHIDUPAN

Lama aku berlayar dalam samudra pemikiranku, aneka informasi yang kubaca dari media dan ineternet serta kelompok-kelompok maya yang aku ikuti, masih membicarakan persoalan, poligami, baik dari pemahaman sosial, budaya atau agama.

Mulai dari arti, rasa, sikap menghadapi poligami atau pelaku poligami. Tanganku mulai lelah mengayuh bahtera yang kutumpangi. Samudra pemikiranku terus menerus dihantam gelombang pertanyaan. Bahteraku mulai oleng karena hantaman gelombang pertanyaan. Satu terjawab, yang lain timbul berloncatan. Mengapa begini dan mengapa begitu.?

Bersyukurlah aku tak pernah sendiri. Di bahtera ini, ada seorang Nakhoda yang dari awal ketika aku sepakat naik ke Bahtera ini, aku mempercayakan keselamatanku padanya. Bukan karena ia lebih handal tapi kami sepakat membagi peran dalam menjalani bahtera ini. Perannya sebagai Nakhoda pun merupakan kesepakatan bersama.

Sebagai Nakhoda ia berkewajiban menjamin keselamatan dan kesejahteraan ku sebagai penumpang sekaligus partnernya. Jika ia memegang kemudi, maka aku memastikan layar terkembang dengan baik. Lewat perhatian, kasih sayang, pengertiaan dan kesetiaan.

Dengan perhatiaan yang penuh dan detil, aku memastikan layar terkembang dengan baik.
Dengan kasih sayang, kupastikan layar terikat dengan kuat sehingga tak kan lepas.
Dengan pengertiaan, kupasangan layar tanpa perlu bertanya kapan waktunya.
Aku terus memasang layar dengan setia agar bahtera ini tetap melaju di atas samudera kehidupan.

Dengan keperkasaan dan kekuatannya, ia mengemudikan bahtera ini penuh tanggung jawab.
Memastikan mesin tidak rewel, menjaga kecepatan yang stabil, menghindari karang terjal dan gelombang, mengatasi topan dan badai, memastikan kami berlabuh di tempat yang nyaman.

Kala ia berdiri dbelakang kemudi bahtera ini, anak-anak rambutnya menari-nari di sekitar pelipis wajahnya. Kulitnya coklat terbakar matahari, otot lengan menonjol di balik pakaian yang dikenakannya. Sorot matanya setajam elang, nampak memicing jika ingin memastikan sesuatu yang yang tampak samar di kejauhan. Hidungnya kembang-kempis membaui setiap perubahan udara. Kepekaannya terlatih karena rasa tanggung jawabnya yang besar.

Bila ku memandang kembali ke dermaga itu, dimana kami bertemu dan sepakat menaiki bahtera ini, ada sedikit keraguan mengusik kalbuku. Diakah yang akan menakhodai bahtera hidupku? Wajahnya tampan dengan sorot mata yang tajam, dipayungi sepasang alis yang tebal sekaligus rahang kekar yang mematrikan seraut wajah seperti patung Dewa Yunani. Senyum yang terulas di bibirnya, menghilangkan kesan kasar dari dirinya. Seulas senyum itu mampu mengubah wajah berkarakter keras menjadi jenaka. Sorot tajam matanya berubah memancarakan sinar kedamaian, ada sesuatu yang ditawarkan di sana. Aku tak tak tahu apa, tapi entah mengapa hatiku langsung terpaut.

Aku jadi teringat perkataan orang bijak, dua hal dalam hidup ini yang tak dapat ditutupi atau disembunykan adalah cinta dan asap. Ketika kita sedang jatuh cinta, tak dapat kita menyangkal karena seluruh nadi ini bersorak sorai. Memompakan darah lebih cepat membuat aura warna warni di sekliling kita. Tak ada satu mata pun yang tak dapat melihat cinta yang membayang dalam diri seseorang. Demikian juga asap, tak ada satupun yang dapat menyimpan atau menyembunyikan asap. Karena asap dapat dhindari hanya dengan satu cara, jangan main api. Tak ada api maka tak ada asap!

Ketika ia datang dan mengatakan menyerahkan hidup dan kehidupannya dalam perawatan dan kasih sayangku, maka disaat itulah aku yakin mempertaruhkan kehidupanku dalam bimbingannya. Aku yakin, karena seseorang yang mau mempercayakan hidup dan kehidupannya dalam perawatan dan belaian kasih sayangku, maka ia juga akan menjaga dan melindungiku sama seperti tekadku memberikan yang terbaik baginya.

Kesepatan yang dibuat berdasarkan kesadaran penuh,menghantarkan kami untuk mengarungi samudra kehidupan dengan bahtera cinta kami. Kesadaran untuk saling menghargai satu sama lain adalah bentuk timbal balik saling membutuhkan. Dalam perjalanan bahtera ini, aku melihat banyak kelemahannya.

Ku temui ketidak sabarannya kala nampak tanda-tanda badai yang menghadang bahtera kami tak akan berakhir. Dalam ketakutanku, kugenggam erat tangannya, meyakinkan kalau aku percaya pada kemampuannya mengatasi badai itu. Walau sesungguhnya ketakutanku tak kurang besar dibanding rasa takutnya.

Ku temui kemarahannya, ketika salah satu mur lepas dari tiang kemudi. Ketika kutanyakan apa yang menyebabkan kemarahannya, dengan ketus ia menjawab; ” Hilangnya benda kecil seperti mur itu, bisa membuat bahtera ini karam ke dasar samudra!” Sungguh aku terkejut, betapa benda kecil nyaris tak nampak seperti mur itu mampu menenggelamkan bahtera ini, apalagi kalau layar yang tak terkembang, pikirku.

Sungguh aku bersyukur, jika hal kecil seperti mur bisa mengakibatkan persoalan yang fatal, aku bertekad untuk menjaga kesetiaanku dan ketelitianku dalam menjaga apa yang menjadi tanggung jawabku, yaitu menjaga agar layar tetap terkembang. Dan menjaga dengan teliti, apa yang menjadi tugas dan kewajibannya. Kadangkala, dalam kelelahan nakhodaku bisa saja menjadi khilaf atau lalai. Demikian pula aku, saat sepoi angin mengembus melenakanku, bisa saja aku lupa pada tugas dan kewajibanku dalam menjaga layar tetap terkembang. Karenanya nakhodaku tak sekali dua kali berteriak, menghentak dengan kasar agar aku terjaga.

Bahtera kami tidak besar tapi kami tahu banyak aral melintang yang menghadang dalam samudra kehidupan. Dengan kesepakatan awal yang selalu kami jaga dan kami hormati dalam pembagian peran dan tanggung jawab, aku percaya aku sudah melakukan apa yang menjadi hak dan kewajibanku, selainnya ku seragkan kepada Dia yang menciptakan hidup dan kehidupan itu sendiri.

Sekuat apapun, nakhodaku menjaga keseimbangan berlayarkan bahtera kami tak akan mampu melewati setiap gelombang dan badai kehidupan. Tapi dengan keyakinan penuh kepada Dia yang kami yakini pemilik kehidupan kami, maka bahtera kami kelak akan berlabuh di tempat yang menjanjikan kedamaian. Yaitu pelabuhan cinta, tempat dimana kami akan menambatkan bahtera kehidupan kami dan menikmati cinta yang selau kami hidupkan. (Icha Koraag, 7 Desember 2006)

No comments:

Post a Comment