HATI YANG BERSUKACITA

Natal tinggal sepekan lagi, kali ini proses pemaknaan arti natal bagiku sudah jauh berubah dibanding 20 atau 25 tahun lalu. Kusadari, hal ini dimungkinkan karena proses pendewasaan diri dan dari hasil perenungan akan makna hidup yang kujalani.

Jika dalam kehidupan nyata sehari-hari, setiap keluarga akan menyiapkan hadiah atau bingkisan bagi kerabat, teman dan handai taulan yang melahirkan, maka sebenarnya sebagai umat Kristenpun, kami selalu menyiapkan hadiah berupa persembahan khusus. Yaitu, Puji-Pujian, Pembacaan Firman Tuhan, Doa, Pengakuan Dosa, serta Hati Yang Mengampuni.

Bagi umat Kristen baik Protestan atau Katholik, Natal adalah sebagai simbol kelahiran Tuhan Jesus. Perlu saya tekankan simbol! Artinya Natal yang diperingati setiap tgl 25 Desember bukanlah pengejawantahan dari kelahiran Tuhan Jesus secara biologis. Karena Jesus yang kupercaya di lahirkan oleh perawan suci Maria. Bukan hasil pertubuhan sesama manusia melainkan karya Tuhan Allah dengan Roh KudusNya.

Tidak ada penanggalan yang akurat untuk kejadian tersebut. Namun semua tanda seputar kelahirannya, sama persis seperti apa yang sudah di nubuatkan oleh para nabi. Jauh sebelum kejadian tersebut terjadi.

Natal dapat diartikan atau dimakani sebagai kelahiran umat Kristen secara rohani. Makna Natal, diharapkan selalu menjadi titik awal kelahiran baru. Sebetulnya kelahiran baru atau kelahiran secara rohani yang baru, memang bisa terjadi setiap saat. (Kira-kira kalau dalam umat Muslim, seperti ketika mendapat hidayah).
.
Dua momentum penting dalam keyakinan Kristen yang tak dapat dipisahkan bahkan saling terkait dan menyatu adalah kelahiran dan kematian Tuhan Jesus. Natal yang dimaknai sebagai kelahiran Tuhan Jesus, pantas disambut dengan sukacita karena umat Kristen mengaminkan sebagai kelahiran Juruselamat. Sosok yang akan menyelamatkan manusia dan mengantarkan manusia ke sorga.

Dan kelahiran Sang Juruselamat sendiri bukan karena inisiatif Sang Juruslamat atau keinginan manusia melainkan inisiatif dari Tuhan yang sangat mengasihi umat manusia. Tertulis dalam alkitab:

Johanes 3:16
”Karena begitu besar Kasih Allah akan seisi dunia maka dikaruniakan anakNya yang tunggal untuk menyelamatkan isi dunia, agar barangsiapa yang percaya kepada dia, tidak akan binasa melainkan memperoleh hidup yang kekal”.

Jadi kelahiran Tuhan Jesus memang harus terjadi, sudah di nubuatkan bahwa Tuhan Jesus lah yang akan menyelamatkan seisi dunia. Maka kelahiran Tuhan Jesus hanyalah menggenapi apa yang seharusnya terjadi.

Sama seperti pada proses kematianNya. Semuanya merupakan takdir yang harus dijalani Tuhan Jesus agar bisa menebus umatNya dengan darahNya. Karena hanya Darah Anak Domba Allah yang bisa menebus setiap jiwa-jiwa yang sudah mati. Dan dengan darahNya pula, semua kutuk dipatahkan.

Jika Natal disambut dengan kegembiraan karena lahirnya Juruselamat maka kematiannya pun sangat disyukuri karena penyalibanNya adalah untuk tebus dosa manusia. Kelahiran tanpa kematianNya tidak akan bermakna apa-apa. Karena itu kelahirannya digenapi dengan kematianNya.

Setiap Natal kugunakan untuk melihat ke kehidupan iman. Setahun sejak natal tahun lalu, aku melakukan proses refleksi diri, bertanya dalam diri apakah kehidupanku sebagai orang Kristen sudah mengikuti apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab dan kewajiban seorang Kristen? Yaitu mengikuti teladan Tuhan Jesus.

Inti dari ajaran Tuhan Jesus adalah ”Mengasihi Tuhan ALLah dengan segenap hatimu dan kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri” That’s it. Short & Simple.

Namun aplikasi dalam kehidupan keseharianku tidaklah sependek dan sesederhana itu. Sebagai anak, kadang sulit bagiku menyisihkan waktu untuk mengunjungi mami yang usianya mendekati 80 tahun. Padahal seharunya itu merupaan salah satu yang harus kusyukuri dalam hidup. Bahwasannya, Tuhan memberikan mami umur panjang dan masih menyertai kami anak-anaknya.

Sebagai istri, rasanya aku pun masih memiliki banyak kekurangan. Kadang ada rasa berdosa yang sangat besar, belum bisa menjadi istri yang baik. Tapi aku tak mudah putus asa, aku selalu berusaha. Begitu pula sebagai ibu, aku masih lebih sering dikuasai ”kedaginganku”. Kala lelah menerpa, kenakalan anak-anak menjadi pemicu kemarahan yang seharusnya tidak perlu.

Bahkan penyesalanpun, malah terasa menyakitkan. Karena selalu berulang dan berulang. Bertambahnya usia Bas dan Van membuat kemampuan bicara mereka menjadi lebih baik. Justru ini yang membuatku terkejut dan marah. Di luar dugaaku Bas dan Van sudah dapat menegur dan menyampaikan „Warning“ kalau mama marah-marah terus, maka Tuhan tidak akan sayang. Tuhan hanya sayang pada orang-orang baik bukan orang pemarah.

Uh Gusti! Perut ini terasa diremas-remas. Mules dan ngilu mendengar ucapan dari 2 anak yang keluar dari rahimku.

Begitu pula dalam keseharianku, di tengah kawan-kawan. Baru sebatas bertukar cerita dan pengalaman. Sedangkan dengan saudara sekandung, atau dengan keluarga mertua bisa bilangan bulan kami tak bertemu. Memang ada teknologi telephone atau HP tapi kadang enggan ku kirim lantaran aku takut menajwab tak bisa mengunjungi mereka.

Kekurangan-kekuranganku membuat aku sering memikirkan, apa kata orang-orang tentang aku. Pasti mereka mengira aku tak mau berkunjung, sombong dll. Padahal sebagai ibu bekerja dengan anak-anakpun aku hanya bertemu tak sampai 5 jam dalam satu hari. Aku tetap memiliki eingnan betremu mereka, namun kenyataannya kadang 24 jam sehari terasa kurang.

Minggu sore kemarin, aku mengantarkan Bas dan Van merayakan Natal Sekolah Minggu. Ketika seorang pendeta bertanya, apa yang anak-anak bawa untuk persembahan kepada Tuhan Jesus, aku tertegun ketika Bas dengan lantang mengatakan ”Bawa hati yang penuh sukacita”.

Aku sungguh terkejut, karena dua jam yang lalu aku baru saja kecopetan, 4 kartu ATM, 8 kartu kredit, sejumlah uang, KTP, kartu asuransi atas namaku, nama anak-anakku, kartu jamsostek dan beberapa foto kenangan termasuk satu kartu ucapan ulang tahun dari suamiku tertanggal 20 Nov 88.

Dan aku melupakan persoalan itu karena aku tahu itu adalah kelalaianku. Memakai back pack di tengah keramaian sebuah plaza. Sehingga aku tetap mencoba tersenyum dengan hati, karena kehilangan dompet dan isinya sungguh menyakitkan. Tapi tak ada yang bisa kusesali karena sudah terjadi.

Dengan didampingi suami dan kedua anakku aku melaporkan peristiwa kecopetan tersebut di Polsek Ciledug. Di sela-sela menjawab pertanyaan polisi, Bas bertanya, apakah aku sedih? Ketika kutanyakan mengapa bertanya seperti itu, Bas menjawab: Karena mama tidak kelihatan sedih dan tetap tersenyum.

Aku sejenak tertegun dan ku katakan pada Bas: ”Tak ada yang bisa mama lakukan, bersedihpun tak mengembalikan dompet mama, akibatnya mama tak jadi membeli hadiah natal karena dompetnya kecopetan.” Aku berjanji pada Bas akan membelikan senapan mainan M.16 atau Stan gun dan Boneka Barbie lengkap dengan rumahnya untuk Van jika aku ada uang. Tapi apa mau di kata, dompetnya pindah tangan. Mudah-mudahan Tuhan mengampuni dan memberkati isi dompet itu dan bisa berguna bagi yang mencopet.

Waktu perayaan Natal selesai, aku bertanya pada Bas mengapa Bas ingin mempersembahkan hati yang bersukacita pada Tuhan? Jawab Bas, ”Karena mama pun masih bisa tersenyum walau sudah kecoptetan. Jadi aku pikir, hati yang bersukacita bisa jadi persembahan kita agar setiap orang ingat, hati yang bersukacita selalu terpancar nyata diwajahnya. Seperti wajah mama yang tetap tersenyum walau kecopetan.” Jawab Bas dengan wajah yang sangat ceria.

Dan Natal ini tetap kusambut dengan sukacita, kegembiraan dan rasa syukur terlebih karena Tuhan suah menganugerahkan aku keluarga yang luar biasa. Frisch, Bas dan Van, setiap tahun mama akan selalu makin mencintai kalian. Terima kasih Tuhan untuk keluargaku. Semoga tahun depan, aku bisa lebih baik lagi dalam mepraktekkan teladan Tuhan Jesus dalam kehidupanku (Icha Koraag. 18 desember 2006)

No comments:

Post a Comment