SARAPAN ILMU

Bicara soal sarapan, aku termasuk orang yang peduli pada kebiasaan sarapan. Karena itu aku menjadi sangat bawel jika kedua anakku menolak untuk sarapan. Kepedulianku terbawa sejak kedua orang tuaku menjadikan sarapan sebuah aktivitas pagi yang menyenangkan.

Dulu kami sekeluarga duduk mengelilingi meja makan. Ayahku di kepala meja, sedangkan ibuku mondar-mandir melayani kami. Padahal yang di makan, makanan biasa-biasa saja. Dan minumnyapun hanya teh manis.

Aku sangat merasakan manfaat dari sarapan pagi. Di dalam kelas aku lebih mudah berkonsentrasi. Saat teman-temanku merasa lapar sehingga konsentarasi belajar terganggu, aku bisa tetap dengan tenang menyimak pelajaran.

Sekarang, sarapan pagi menjadi sebuah pemaksaan, sekalipun aku lebih dulu bertanya pada kedua anakku jenis sarapan yang mereka inginkan. Adakalanya mereka juga yang bertanya: “Sarapan apa ma?’ Aku suka bercanda dengan menjawab “Tidak usah sarapan!” Mereka malah akan bersorak kegirangan mendengar jawabanku.

Dulu jarak tempuh rumah ke sekolah tidak terlalu jauh dan bisa di tempuh dengan berjalan kaki. Aku bisa dengan tenang sarapan dan tidak terburu-buru. Berbeda dengan kondisi sekarang, untuk mendapatkan sekolah yang bermutu, anak-anakku harus menempuh perjalanan 25-30 menit jika tidak macet itupun dengan motor. Dengan sendirinya mereka harus berangkat lebih pagi agar tidak terlambat.

Jika anak-anakku atau aku yang terlambat bangun, maka bisa dipastikan suasana terburu-buru akan mewarnai pagi itu dan sarapan jadi di tiadakan. Kecemasanku seakan tak dirasakan anak-anakku karena justru mereka bersorak kegiarangan jika tidak perlu sarapan. Maka reaksi mereka yang bersorak menggenapi rasa mangkelku. Sebenanrnya seharusnya barangkali aku tidak perlu terlalu khawatir mengingat segelas susu pasti sudah dinikmati kedua anakku tiap bangun pagi.

Tapi menurut perasaanku, segelas susu tetap belum mencukupi. Memaksa mereka makan roti atau lontong sebagai sarapan pagi, memaksaku untuk mempunyai rasa sabar yang seluas samudra.

Minggu ini, sulungku menghadapi ulangan semesteran. Dulu melihat kakakku begitu sibuk bahkan nyaris stress bila menghadapi semesteran anak-anaknya, menurut penilainaku mereka terlalu khawatir. Tapi sekarang aku menghadapi persoalan yang sama.

Saat sulungku ulangan harian atau semesteran maka aku dan papanya yang belajar, untuk memastikan anakku belajar dan ingat semua pelajarannya. Jadi penilaianku pada kakak-kakakku dulu ternyata salah. Menghadapi semesteran anak-anak ternyata juga membuat aku tertekan.

Sseperti halnya tadi pagi, Bas bangun saat matahari belum mengintip. Di usianya menjelang tujuh tahun, Bas memiliki postur tubuh yang cukup tinggi. Namun begitu papanya tak mengahadapi kesulitan jika menggendongnya. Di buainya Bas sambil di cium-cium seluruh tubuhnya.

Saat Bas menggeliat dan mulai membuka matanya, aku sudah menyiapkan segelas susu. Sungguh aku syukuri, Bas tidak pernah rewel setiap bangun pagi. Ia begitu sadar akan kewajibannya bersekolah dan kelihatannya Bas pun menikmati kegiatan bersekolah.

Ketika kesadaran Bas mulai pulih, kami langsung mengulang materi pelajaran semalam. Bahkan pengulangan materi itu berlanjut hingga mandi. Karena ini sedang semesteran, aku mengharuskan Bas untuk sarapan. Usai sarapan, Bas langsung memakai seragam dan sepatu.

Ketika aku mengingatkannya untuk berdoa sebelum berangkat, Sederet ucapan syukur dan terima kasih terucap dari bibirnya. Wajahnya yang bersih dan segar nampak bersinar. Hatiku tersentak mendengar doanya, ketika Bas mengucapkan “Terima kasih untuk sarapan roti yang sudah mama siapkan dan sarapan ilmu bersama mama dan papa”.

Ada keharuan yang membuncah di dadaku, mungkin Bas mempunyai makna yang sederhana saja mengenai “Sarapan Ilmu” tapi itu mampu mengingatkanku, sudahkah aku sarapan ilmu sertiap pagi? Pedulikah kebanyakan orang untuk memberi nutrisi setiap hari atau setiap pagi pada otaknya? .(Icha Koraag, 12/3-2007)

No comments:

Post a Comment