Kisahku, Matahari kehidupanku

Saat fajar terbit diufuk timur, aku memulai hari baru dengan aktivitas yang nyaris sama setiap hari. Sejenak mengambil waktu untuk berdialog dengan sang pemilik kehidupan. Mengucap syukur untuk semua yang sudah aku miliki dan memohon agar bisa memelihara semua berkat yang sudah aku terima. Kemudian aku mulai mempersiapkan keperluan kedua anakku dan pasanganku. Mulai dari menjerang air panas untuk mandi anak-anak dan kopi suamiku, lalu membangun anak-anak. Menyiapkan seragam dan sarapan pagi lalu mengantar keduanya berangkat dengan sebuah ciuman dan doa yang terbaik bagi keduanya.

Saat suamiku dan kedua anakku berangkat, aku mengijinkan diriku menikmati informasi pagi dari tv. Sambil menikmati secangkir teh atau capucino. Sesudah itu mulailah dengan kegiatan rumah tangga, diawali bersih-bersih rumah, sambil menunggu tukang sayur aku menyiapkan cucian. Memilah pakaian berwarna-warni dan warna putih. Sebelum memasukan ke dalam mesin cuci. Aku merasakan betul pertolongan teknologi dalam meringankan pekerjaan rumah tangga. Sambil menunggu proses cucian di mesin cuci aku berbelanja pada tukang sayur yang lewat di depan rumah.

Kadang aku sengaja menunda memasak sampai kedua anakku pulang sekolah. Soalnya Bas dan Van sangat senang dengan aktivitas di dapur. Mulanya aku tak suka dan merasa terganggu jika ada Bas atau Van di dapur. Rasa ingin tahu mereka dalam bertanya nama-nama bumbu dan nama sayuran kurasakan sebagai penghambat. Tapi setelah kupikir-pikir, informasi mengenai nama dan kegunaan bumbu dan sayuran kelak akan bermanfaat bagi mereka. Maka akhirnya aku mengizinkan Bas dan Van bersama ku di dapur jika aku tengah menyiapkan masakan. Aku mulai menikmati menyiapkan masakan bersama keduanya. Bas dan Van ku ijinkan mengiris wortel sampai mengupas bawang.

Karena menurutku, sia-sia bahkan pada akhirnya malah membuat aku kesal kala aku melarang mereka ke dapur. Terutama Van karena ia akan terus bertanya mengapa tidak boleh? Oh yah, Van masih di play group jadi Van memang lebih banyak waktunya bersamaku. Mulanya aku memutarkan DVD Tom & Jerry untuk Van sementara aku memersihkan rumah. Selama aku bersih-bersih, melap, menyapu dan mengepel, Van tenang-tenang saja. Tapi kalau aku sudah di dapur, maka Tom & Jerry tak mampu memikat Van lagi. Van lebih tertarik bermain dengan peralatan masak.

Mulanya ku ijinkan Van menggunakan piring, gelas, sendok, tutup panci dan entah apa lagi untuk di bawa ke depan tv dan Van bermain dengan boneka-bonekanya. Namun itupun hanya sesaat karena Van akan kembali dan mengganggu kesibukkanku di dapur. Maka mulailah aku mengajarinya memegang pisau dan menggunakannya. Ini kulakukan karena aku meyakini “ala bisa karena biasa”. Dengan mengijinkan dan membiasakan Van memegang atau menggunakan pisau aku berharap di belakangku pisau tidak menjadi alat yang digunakan dengan salah.

Demikian juga dengan Bas. Aku tak khawatir dengan keinginan Bas membantuku di dapur. Karena bagiku kegiatan di dapur adalah sebuah ketrampilan yang bisa dimiliki siapa saja tanpa melihat gender. Bahkan aku dengan leluasa mengajarkan Bas cara menyalakan dan mematikan kompor gas juga cara menyetel electric oven. Aku berharap ketrampilan ini bisa memuaskan rasa ingin tahu kedua anakku.

Aku tidak tahu, apakah cara aku membangun hubungan dengan kedua anakku sudah benar? Namun yang aku tahu aku membangun hubungan ini tanpa sebuah perencanaan. Artinya terbangun dan berkembang seperti air yang mengalir. Aku juga tidak memainkan peranku sebagai orang tua yang lantas merasa tahu segalanya. Memang aku lebih banyak tahu dari mereka dan itu wajar saja, umurku juga lebih tua dari mereka, begitu pula pengalamanku. Namun segala kelebihan yang aku miliki dibanding kedua anakku aku gunakan untuk mengarahkan mereka pada hal-hal yang lebih baik. Pastinya semua orang tua menginginkan yang terbaik bagi anaknya.

Membiasakan mereka di dapur sama seperti aku membiasakan mereka dengan komputer. Mulanya aku keberatan tapi suamiku meyakinkan ini era teknologi dan memang waktunya anak mengenal kompuetr. Kekhawatiranku lebih pada ketakutan komputer akan rusak. Karena itu bukan barang murah dan tidak mudah untuk memilikinya. Namun mengingat Bas juga mendapatkan pelajaran komputer di sekolah mau tidak mau aku harus mengijinkan Bas menggunakan komputer. Bila Bas mendapatkan ijin menggunakan komputer maka tidak ada alasan tidak mengijinkan Van menggunakan komputer juga.
Memang kekhawatiranku tak terbukti, Bas dan Van tahu komputer bisa rusak bila diperlakukan dengan tidak benar, masalahnya kadang keduanya selalu ingin menjadi yang duluan saat menggunakan komputer dan akibatnya timbul pertengkaran.

Maka aku menerapkan aturan, jika hari ini Van duluan maka besok Bas yang duluan. Lama-lama mereka mengerti dengan aturan ini dan mereka menysuaikan. Bahkan kadang-kadang keduanya secara akur berbagi pada waktu yang bersamaan. Aku menyadari pada akhirnya antara Bas dan Van tumbuh saling pengertian dan mereka menerapkan aturan main yang mereka sepakati. Bila sudah demikian maka aku bisa menarik nafas lega.

Memperhatikan dan melibatkan diri dalam pertumbuhan keduanya membuat aku semakin mensyukuri kehadiran mereka dalam hidup pernikahanku. Sungguh mereka adalah matahari kehidupanku. Pembawa kehangatan sekaligus motivasi yang sangat berarti dalam menjalani kehidupan. Susah dan derita saat proses mereka tumbuh sembilan bulan lebih dalam rahimku dan pertarungan hidup serta mati saat melahirkan rasanya terbayar lunas saat melihat mereka tertawa. Susah dan sakit keduanya adalah susah dan sakitnya aku dan papanya. Khawatir kami pada mereka adalah ekspresikan ketakutan akan bahaya yang menimpa mereka. Dan marahnya kami bila mereka melakukan kesalahan atau melanggar aturan adalah keinginan agar mereka menjadi orang yang berguna dan tahu membawa diri. Semoga aku diberi umur panjang serta kesehatan dan kebijaksanaan dalam mejaga agar matahariku tetap bersinar dan menghangatkan. (Icha Koraag, 21 Mei 2007)

No comments:

Post a Comment