Kisahku, Menyongsong Matahari



Aku dan pasangan memang sengaja menghindari kehamilan di tahun pertama pernikahan kami. Karenanya aku menggunakan alat kontrasepsi. Dengan kesadaran penuh, aku dan pasangan memberi ruang buat kami masing-masing saling mengenal walau kami berpacaran delapan tahun. Tapi yang namanya menikah sungguh berbeda dengan pacaran. Dan keputusan ini sungguh sangat berarti buat kami dalam menyelami pribadi masing-masing dalam konteks hubungan pernikahan.

Di tahun kedua pernikahan, aku melepas alat kontrasepsi dan mulai mempersiapkan diri untuk hamil. Tahun kedua ini aku dan suami memeriksakan diri secara medis. Ternyata pemeriksaan secara medis bukan hanya menghabiskan uang tapi juga tenaga dan waktu. Usai kerja, kami janjian di RS untuk melakukan serangkain test.

Kesabaran sangat berperan penting dalam proses ini. Tak jarang aku dan pasangan bertengkar hanya untuk hal yang sepele. Baik karena salah satu dari kami terlambat datang atau sulit menentukan makan malam, usai pemeriksaan. Karena biasanya usai pemeriksaan, jam sudah menunjukan pukul sembilan. Jujur aku lebih memilih tidur daripada harus makan. Dan keputusan itu yang kerap membuat pasanganku marah.

Tiba di rumah sudah larut, kami hanya punya waktu beberapa saat untuk berbicara, tidur dan saat fajar menjelang kami kembali bersiap-siap ke tempat kerja masing-masing. Hidupku seperti di kejar-kejar. Akhirnya kala aku memiliki waktu luang, aku memutuskan untuk mendiskusikan kembali keinginan untuk mempunyai anak.

Ah betapa leganya aku, ternyata pasanganku bukanlah orang yang menjadikan memiliki keturunan sebagai tujuan utama dari sebuah pernikahan. Jujur sebelum menikah, aku hanya mendisuksi hal-hal yang prinsipil, seperti masalah keyakinan, pembagian tugas rumah tangga, apakah aku tetap bekerja atau tidak, berapa jumlah anak. Jumlah anak adalah hal yang kami diskusikan. Kami begitu yakin tidak akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan anak walau tidak melakukan penmeriksaan secara medis sebelum menikah karena aku dan pasangan sama-sama terlahir dari keluarga besar.

Namun aku keliru, ketika akan melakukan serangkaian pemeriksaan dalam konsultasi dengan dokter kandungan, ternyata terlahir dari keluarga besar tidak menjamin aku dan pasangan juga memiliki tingkat kesuburan yang sama dengan orang tua kami.

Kondisi udara dan pola hidup ternyata turut punya andil dalam kesuburan seseorang. Walau aku bersikeras merasa sehat tapi harus dibuktikan dengan pemeriksaan medis. Maka mulailah hari-hari kami berurusan dengan rumah sakit. Hanya enam bulan kami jalani dan akhirnya berhenti. Kami bosan dan lelah.

Pernah satu saat, aku terlambat haid hingga dua minggu. Tapi aku juga ragu untuk yakin kalau aku hamil. Karena bisa saja akibat kelelahan jadi terlambat. Ketika kuceritakan hal ini pada seorang teman di kantor yang mempunyai anak, temanku hanya mengatakan tunggu saja sampai muncul tanda-tanda kehamilan. Aku menurut dan menunggu.Aku tidak mengalami perubahan atau merasakan sesuatu dalam diri ini, hingga akhirnya melupakan.

Suatu malam pasanganku belum pulang kerja, sementara lampu di ruang mkan putus bohlamnya. Sejak remaja aku terbiasa menangani sendiri hal-hal semacam itu. Jadi kuputuskan untuk menyusun bangku di atas meja agar bisa mengganti bohlam yang putus.

Selesai mengganti bohlam aku turun dari kursi ke meja dan dari meja melompat ke lantai. Sesaat aku merasakan perutku sakit tapi perlahan-lahan rasa sakit itu hilang juga. Ketika aku mandi pagi, aku menemukan bercak-bercak darah di pakaian dalam, ah ternyata haidku datang juga.

Ternyata aku salah, haid yang biasanya hanya berkisar lima hingga tujuh hari namun kali ini sampai dua minggu tak berhenti. Ketika kuceritakan pada suamiku, ia bergegas mengajakku memeriksakan diri ke dokter kandungan. Ada sesuatu yang terasa kosong di ruang dada ini, saat dokter mengatakan aku keguguran.

Aku mengutuki diriku sendiri yang bodoh. Bagaimana mungkin aku tidak tahu? Tapi aku memang belum pernah hamil jadi dari mana aku tahu tanda-tanda kehamilan? Sedangkan dari buku-buku yang kubaca tanda kehamilan terlalu personal. Tidak sama pada setiap perempuan. Suamiku tak berkata apa-apa. Ia hanya menggenggam jemariku dan itu cukup membuatku terhibur. Ketika hasil test urineku keluar, terlihat masih ada samar-samar tanda positip. Terlalu perih rasanya hingga air matapun tak dapat keluar.

Aku mendapat obat untuk membersihkan sisa-sisa jaringan yang mungkin masih tertinggal dan diminta kembali satu minggu lagi untuk pemeriksaan ulang. Cukup lama aku terjaga karena tak dapat tidur. Di tengah sunyinya malam akhirnya airmataku tumpah. Menangisi kebodohan sendiri.

Aku mencoba berpikir postip bahwasannya aku dan suami memang belum layak menjadi orang tua. Baik karena kematangan emosi maupun kematangan ekonomi. Akhirnya mulai pergantian tahun, aku berkaul, aku menghentikan konsumsi minuman bersoda, mengumpulkan uang, melatih kesabaran, berusaha melakukan hubungan suami istri yang lebih baik dan melakukan doa khusus memohon kehamilan.

Kaul ini sungguh-sungguh aku jalani. Walau kadang-kadang kalau dalam kesendirian aku merenung. Sungguh besarkah keinginanku untuk mempunyai anak yang tumbuh dalam rahim ini? Hanya Tuhan yang tahu besarnya kesungguhanku. Belum genap setahun Tuhan sudah memenuhi kaulku. Tepat di hari ulang tahunku, aku mendapatkan diri postip hamil. Tak putus syukur dan terima kasih ku serukan. Sejak mendapati diri hamil, aku mengganti doa, kini aku memohon kesehatan diri dan janinku.

Memasuki bulan kelima, aku mendapat informasi dari dokter kalau placenta di rahimku terlampau panjang dan menutupi jalan lahir sehingga janinku sulit mendapatkan makanan dan juga kelak akan melalui proses kelahiran yang tidak mudah. Aku diminta mempersipakan diri untuk melahirkan secara operasi.

Aku dan pasangan semakin rajin mencari informasi proses kelahiran secara operasi dan juga kondisi janin. Aku terus memanjatkan doa kali ini aku mohon disiapkan menjadi orang tua yang tabah, kuat serta mau menerima seandainya anakku terlahir tak sempurna. Musik klasik yang mengiringi istirahat malamku, sekaligus sebagai pengiring airmataku kala ku berdialoq dengan Tuhan.

Berpasarah dan rela menerima apapun kondisi janin yang lahir sungguh sangat berat. Setiap malam ku mohonkan kekuatan dan ketabahan menghadapi kelahiran anakku nanti. Aku juga berdoa, semoga keluarga besar kami juga mau menerima apapun kondisi bayi yanhg kelak akan kulahirkan. Ini pergumulan yang berat luar biasa, karena aku sudah melihat bagaimana masyarakat sekelilingku bersikap pada anak-anak yang tak sempurna. Sungguh sulit membayangkan andaikan salah satunya adalah anakku. Aku tak tahu, apakah suamiku juga mempunyai pergumulan yang sama namun aku tahu, ia selalu memberikan semangat dan keyakinan padaku bahwsannya anak yang terlahir pasti sehat dan sempurna.

Aku sadar, aku hamil di usia yang sudah tidak muda. Aku juga bukan pengkonsumsi makanan sehat. Dulu aku rajin berolahraga seiring perubahan status dari mahasiswa menjadi pekerja, olahraga menjadi kegiatan langka. Dan kini dalam menjalani kehamilan, pola hidup di masa lalu bagaikan rangkaian film yang berputar.

Aku bukan perokok dan juga tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan psikotropika. Tapi aku tahu, aku makan tidak teratur dan banyak makanan yang kuhindari hanya karena tidak suka, termasuk tidak mengkonsumsi susu. Menyesal tak ada gunanya, kini sebisa mungkin aku mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi demi janin dalam rahimku.

Proses inipun bukan proses yang mudah. Kepedulian dan tanda sayang pasanganku dengan turut memperhatikan asupan makananku, menjadi penderitaan tersendiri. Memasuki trimester kedua, berat badanku hanya naik 4 kilogram. Dan ini menjadi pesan khusus dokter kandunganku pada suamiku agar asupan makananku di tambah.

Aku mengalami kehamilan yang tidak terlalu menyenangkan. Aku terus-terusan merasakan “morning sickness” sampai di hari melahirkan. Ritual di pagi hari adalah awal hari yang selalu ingin ku hindari. Rasanya pagi hari adalah musuh bagiku. Begitu di ventilasi nampak semburat merah, perutku bisa tiba-tiba bergolak. Segala cara sudah kuusahakan, tetap saja memaksaku memompakan isi perut.

Jujur, aku sempat heran bila ada yang mengatakan sangat menikmati kehamilan. Sedangkan aku harus berjuang mati-matian. Biasanya ada perasaan nyaman setelah isi perut keluar. Namun itu hanya sesaat karena segelas susu sudah menunggu, itu penderitaan kedua. Mulai dari aneka buah dan permen aku siapkan agar susu yang di minum tak di keluarkan lagi. Beberapa kali berhasil namun beberapa kali harus keluar.


Akhirnya hari penantian itupun tiba. Aku melahirkan seorang bayi laki-laki. Proses kelahiran yang tak mudah sudah ku persiapkan. Mengingat mendapatkan kehamilan yang tak mudah, membuat aku terus menerus mempersiapkan diri untuk hal yang terburuk termasuk menerima seandainya anakku terlahir tak sempurna.

12 jam aku bertarung melawan rasa sakit yang sangat menyiksa. Jadi aku sangat tidak sependapat jika ada yang mengatakan seorang perempuan belum menjadi perempuan sempurna jika melahirkan dengan operasi. Menjadi perempuan sempurna tidak ditentukan hanya saat melahirkan tapi proses sembilan bulan mengandung dan proses melahirkan itu sendiri ikut menentukan.

Kontraksi pertama mulai kurasakan saat masih pukul setengah empat sore. Tiba-tiba ada perasaan sakit yang datang menyerang dari arah pinggang menjalar kedepan perut. Aku tertegun, inikah yang namanya kontraksi? Rasa itu datang hanya sesekali hingga aku sendiri tak terlalu merasakan. Suamiku duduk di sampingku sambil membaca koran sedangkan aku terus berdoa.

Lewat pukul tujuh, rangkaian kontraksi mulai datang. Aku tak berani bersuara. Dalam diam kurasakan dan kunikmati rasa sakit itu. Bila suamiku bertanya, aku hanya meletakan jari telunjuk di bibir dan berkata tanpa suara “Ini sakit sekali!” Rupanya karena aku tak bersuara, suamiku menjadi stress. Seperti di sinetron-sinteron, suamiku berjalan mondar-mandir persis orang linglung di sisi ranjangku. Dalam hati aku tersenyum geli soalnya aku tak tahu apa yang dirasa atau di pikirkannya.

Beberapa kali perawat memeriksa kondisiku, aku merasa kondisiku tidak baik karena aku seperti tidur di atas genangan air. Aku menduga air ketubanku sudah pecah. Makin malam kurasa aku makin payah. Ku minta pada suamiku untuk beristirahat dari kondisi ini. Aku ingin induksi yang merangsang kontraksiku di cabut. Aku lelah. Tapi aku masih dalam keadaan sadar.

Sekitar pukul setengah sebelas, aku sudah memohon-mohon agar dibantu menghilangkan rasa sakit. Ku dengar rahimku belum membuka dengan baik. Lebih dari 7 jam hanya sampai pada bukaan lima. (Sungguh aku tak paham dengan istilah ini). Pada titik ini, aku mulai sadar dan tidak. Aku mulai berbicara tidak jelas, itu menurut suamiku. Padahal bagiku aku menyampaikan pesan

12 jam yang menyiksa harus kulalui, sampai akhirnya sekitar pukul tiga pagi dini hari, suamiku mengatakan aku akan masuk kamar operasi. Informasi ini bukan melegakan tapi semakin menambah rasa takut. Samar-samar kudengar perawat berbicara pada suamikyu meminta barang-barang pribadiku seperti kain, gurita dan entah apa lagi. Kontraksiku masih berjalan.

Selang beberapa saat aku merasakan ranjangku di dorong dan berjalan. Suamiku ada disebelahku. Perasaanku sangat takut. Suasananya mirip film horror. Di atas ranjang yang didorong dua perawat, suamiku setengah berlari mengikutiku. Di tengah dini hari roda ranjang yang bersuara menyeramkan menyusuri lorong yang cukup jauh. Akhirnya aku tiba di kamar operasi. Aku masih mendengarkan percakapan petugas di ruang operasi yang mempersiapkan peralatan. Dentingan alat-alat operasi terdengar bagai dentingan kematian.

Suasana kamar operasi terasa dingin, selain karena pendingin ruangan, aku merasakan kamar operasi inipun tak bersahabat. Dindingnya berwarna hijau, dua warna hijau. Cukup lama aku terbaring di tengah kamar operasi masih tetap dengan menahan rasa sakit akibat kontraksi. Lalu ku dengar suara deritan pintu yang terbuka tapi aku tak bisa melihat sosok yang membuka pintiu. Bulu kudukku meremang, aku merasa sangat tidak nyaman dan tidak berdaya.

Ku dengar suara perawat perempuan yang melaporkan pada petugas di kamar operasi, bahwa dokter anastesi dan dokter anak sedang sholat subuh. Sementara dokter yang manangani kehamilanku sedang mempersiapkan diri dan teamnya di ruang sebelah. Dan tak lama beberapa orang dengan pakaian hijau dan penutup kepala mendekatiku seraya tersenyum.
“Selamat pagi bu!’ Salam salah satu dari mereka. Tanpa menunggu jawabanku, orang itu melanjutkan, “Kita akan membuat ibu nyaman”. Tahu-tahu laki-laki itu sudah berdiri dengan posisi di atas kepala ranjangku. Ia memintaku memiringkan badan lalu menekuk kepala dan badaku kearah lutut. Ini tidak mudah karena perut yang menggunung.

Tiba-tiba kurasakan jarum menusuk tulang belakangku. Sakitnya tak seberapa karena masih lebih sakit kontraksi. Lalu seorang perempuan mengusap pergelangan tanganku dan kembali menyuntikkan sesuatu, katanya : Bu hitung yah sampai sepuluh! Aku tak tahu apakah aku berhasil menghitung sampai sepuluh karena tiba-tiba pipiku di tepuk dan seorang laki-laki berkata” Selamat ya Bu, anaknya laki-laki sempurna!”

Beraneka rasa berkecamuk dalam diriku. Tak ada rasa sakit hanya sedikit rasa pusing dan bingung serta perasaan melayang. Aku tidak merasakan apa-apa, termasuk aku tidak bisa merasakan setengah pinggang ke bawah. Lagi-lagi perasaan takut datang menyerang, aku lumpuh. Aku tidak bisa menggerakan kakiku saat beberapa orang memindahkan aku dari ranjang operasi.

Aku takut luar biasa, bagaimana aku bisa menyentuh anakku kalau aku lumpuh seperti ini. Ranjangku mulai di dorong dan saat pintu terbuka, suamiku menyosongku. Ia menggenaggam jemariku dan wajahnya bersimbah air mata. “Anak kita…?” tanyaku.
“Laki-laki, sempurna dan bagus!”ujarnya. Sayang hanya sampai situ yang aku ingat karena ketika ku terbangun beberapa saat kemudian, aku sudah berada di kamar perawatan.

Ketika tersadar yang langsung kuingat adalah anakku, ada perasaan aneh dan bingung serta perasaan ingin segera melihat rupanya. Tapi rasa cemas masih menghantui karena aku masih belum bisa menggerakan kaki. Ketika ku buka mata, suamiku tertidur di sisi ranjangku sambil menggenggam jemariku.

Ada rasa sayang yang mengalir bagai air dingin yang menyentuh kulit. Ada rasa damai yang mulai memasuki jiwaku. Aku kembali menutup mata, kali ini memanjatkan syukur untuk anugerah yang luar biasa. Aku telah menjadi ibu. Ku biarkan suamiku tertidur sampai akhirnya terjaga sendiri karena perawat mulai melakukan pemeriksaan.

RS tempat aku melahirkan adalah RS yang menerapkan rawat gabung untuk ibu dan bayi. Karena itu tangisan bayi terdengar seperti salam selamat pagi. Tapi aku harus kecewa karena tak ada yang mengantarkan bayiku. Seorang perawat memeriksa kondisiku,hanya mengatakan bayiku akan diantar kalau aku sudah kuat.

Karena tak ada yang bisa kulakukan, aku meminta suamiku pulang untuk beristirahat. Aku yakin sebentar lagi pasti anggota keluargaku akan mulai berdatangan. Tapi keadaan tidak seperti yang aku duga.

Saat belum ada yang datang, seorang perawat kembali mengunjungiku dengan membawa seberkas catatan dan menanyakan golongan darahku dan golongan darah suamiku. Menurutku si perawat berkata tanpa nada simpatik. Dengan ringannya ia berkata: Kondisi bayi ibu bilurubinnya sangat tinggi, sampai sekarang masih di sinar tapi jika dalam dua jam tidak turun, perlu dilakukan tindakan. Berarti ada masalah dengan organ hatinya!”

Aku belum mencerna infromasi yang disampaikan si perawat tapi naluriku sebagi ibu yang anaknya dalam bahaya, menjadi takut dan marah. Mungkin pengaruh obat bius yang sudah habis, secara tiba-tiba aku bisa bangun dan duduk. Ketika aku mencoba turun dan menjejakkan kali ke lantai. Sakit luar biasa menyerang seluruh tubuhku. Aku mencoba bertumpu pada ranjang agar tidak jatuh, si perawat dengan sigap menahan tubuhku dan meyenderkan aku pada lengannya. “ Sabar..bu!” ujarnya.

“Sabar? Bagaimana bisa sabar jika menyadari maut tengah mengintai bayi yang belum sempat ku lihat?” Untunglah muncul kakakku. Pertama yang kukatakan: “Antarkan aku ke ruang bayi!” Entah kekuatan darimana, aku baru menjalani operasi melahirkan kurang dari empat jam dan kini aku sudah berjalan. Di ruang perawatan bayi, di sebuah kotak kaca anakku terbaring dengan mata di tutup verban dan disinari. Hatiku sangat terenyuh, ia nampak sangat tak berdaya. Aku tak dapat menyentuhnya karena ada dinding kaca yang memisahkan tapi aku tahu ia bisa mendengar suaraku.

Aku dan suami sudah sepakat memberi nama Bas, maka kukatakan; “ Bas, ini mama. Kamu pasti kuat, kamu jagoan, kamu yang akan menghangatkan keluarga kita. Bertahan nak dan tunjukan kamu memang matahari mama!” Tak ada reaksi apa-apa. “Bas, mama tahu kamu dengar suara mama! Bergerak nak, beri tanda mama!” Ajaib kepalanya menoleh ke arahku. Hatiku bersorak, ia tahu aku mamanya!” Air sungai yang mengalir dari mataku tak dapat kubendung. Aku yakin anakku akan bertahan!

Ketika suamiku datang dan mendengar kondisi Bas, ternyata ia tak setangguh yang ku kira. Suamiku jatuh terduduk di lantai dan diam menatapku dengan tatapan kosong. Aku tak dapat membantunya berdiri karena rasa sakit sisa operasi mulai menggerogotiku. Tapi lebih sakit perasaan hati ini melihat suamiku yang terkejut.

Perlahan kakakku membangunkan dan mendudukkannya di kursi di sebelah ranjangku. Lalu aku menguatkan dan menyampaikan apa yang kulihat di ruang bayi. Suamiku langsung menghubungi beberapa kerabat kami yang dokter untuk mencari informasi.

Payudaraku membengkak dan membuatku demam. Selama empat hari aku tak bisa menyentuh atau menyusui bayiku. Akhirnya dokter mengizinkan aku pulang tapi tidak bayiku. Aku meradang dan aku bersikeras tidak akan pulang kalau tidak diizinkan membawa bayiku.

Suamiku dan keluargaku membujukku untuk merelakan Bas di rawat lebih lama, demi kesehatannya. Aku setuju saja tapi aku tidak akan pulang. Aku yakin Bas membutuhkan aku. Administrasi dan pembayaran sudah diurus, aku masih bertahan di ruang perawatan bayi. Aku minta izin untuk menyentuh dan menggendong Bas. Ketika izin diberikan, aku membisikkan Bas, bahwa aku akan selalu ada bersamanya!”

Aku terus bertahan di RS dan tidak pulang dengan menahan rasa sakit sisa operasi. Aku tahu jam dua ada hasil lab dan aku ingin tahu kondisi Bas. Lagi-lagi mujizat terjadi. Pagi tadi bilurubin Bas 14 tapi jam dua hasil dari pemeriksaan lab terakhir bilurubin Bas sudah turun sampai 6. Dan akhirnya dokter mengizinkan aku membawa Bas pulang dengan serangkaian pesan agar dijemur di bawah matahari sebelum pukul 8 pagi.

Menyongsong kelahiran matahariku dengan serangkaian ujian mental telah kulalui.
Dan akhirnya aku bisa pulang membawa matahariku. Dan ucapan syukurku hanyalah dengan tekad untuk merawat dan mengasuhnya dengan sungguh-sungguh! (Icha Koraag, 18 Mei 2007)

1 comment:

  1. Anonymous7:02 AM

    subhanallah..mengharukan sekali ceritanya..

    ReplyDelete