Obrolan Santai: BERDOSAKAH JIKA BELUM JUGA MENIKAH?

Pertanyaan judul diatas didorong rasa heran dan penasaran saya karena keprihatinan seorang perempuan pada sahabatnya yang belum menikah dan ditulisakan dalam artikel berikut ini:

Aku dan Poligami
Cahya Khairani

Kalau tiga tahun lagi dia belum juga nikah, aku suruh saja suamikumenikahinya...Ide itu tiba-tiba muncul dalam otakku. Aku tengah berfikir,bagaimana cara mencarikan jodoh buat sahabatku. Di usianya yangmenjelang 27 tahun sahabatku itu belum juga mendapatkan belahanjiwanya, sedang adik perempuannya hanya tinggal menghitung harimenanti saat-saat dirinya berubah status menjadi seorang isteri.
Padahal, apa sih yang kurang dari sahabatku itu? Sholehah, cantik,peduli sesama, perhatian, dan pandai membuat kue... Walau ada jugakekurangannya yang kadang membuatku harus mengurut dada, tapi ituwajarkan? Sebab tak ada manusia yang sempurna.
Selengkapnya bisa di baca:
http://groups.yahoo.com/group/sekolah-kehidupan/message/7070

Di ceritakan perempuan yang sudah bersuami ini, prihatin karena kawannya yang berdasarkan kacamatanya memiliki tingkat keimanan yang baik. Walau mengalami persoalan kehidupan yang cukup menyusahkan, seperti pernikahan yang tidak jadi dilaksanakan dan akan dilangkahi adiknya (karena akan menikah dalam waktu dekat).Kawan yang belum menikah ini tetap menunggu jodoh yang diyakini pasti sudah di siapkan Tuhan untuknya.

Yang menjadi keheranan saya, si perempuan prihatin dengan kondisi kawannya. Menurut perempuan ini, kawannya cantik, baik dan taat beragama. Sehingga ia merasa heran tidak ada lelaki yang ingin memperistrinya. Tiba-tiba ia terpikir atau mempunyai ide untuk mencarikan jodoh bagi kawannya. Suatu niat yang menurut saya sangat baik. Mungkin sayapun akan mempunyai pemikiran yang sama jika mempunyai seorang kawan dengan kondisi seperti kawan si perempuan.. Sayangnya menurut pengakuan si perempuan setelah menikah kawannya hanya sang suami. Sedangka kawan-kawan suaminya sebagian besar sudah menikah.



Lalu perempuan ini berpikir, bagaimana jika ia menjodohkan kawannya dengan suaminya? Sampai disini, saya diam dan berpikir. Saya menjadi heran dan ingin mengetahui, apa yang mendasari perempuan ini hingga muncul ide menjodohkan suaminya dengan kawannya.

Bahkan si perempuan secara bercanda, bertanya pada suaminya. Apakah sang suami mau berpoligami? Tentu saja suaminya bingung. Lalu menjawab tidak. Ketika didesak istrinya mengapa tidak? Si suami menjawab karena sudah mempunyai istri. Si istri masih terus mendesak dengan cara bercanda namun tetap mendapatkan jawaban tidak dari suaminya.

Si perempuan tak putus asa, ia bertekad bila beberapa tahun lagi, saat usia kawannya 30 tahun dan belum juga menikah, ia tetap memikirkan kemungkinan menawarkan suaminya untuk menikahi kawan tersebut. Bahkan si perempuan ini menghimbau orang lain untuk memikirkan kemungkinan poligami sebagai alternative mencarikan jodoh bagi kawannya.

“Pertanyaanku pada suami bukanlah sebuah bentuk kecemburuan, tapisebuah pengakuanku pada realita. Di luar sana, tak ada yang tahu.Cinta bisa hadir tiba-tiba, baik pada lelaki yang belum menikah maupunyang telah menikah. Di luar sana juga, masih banyak wanita-wanita taatyang tengah gelisah menunggu laki-laki sholeh untuk menikahinya,sedangkan bisikan syetan terus mengikuti langkah mereka, mengajak padaperzinahan atau ingkar pada Robb mereka.
Maka, daripada terus menerus curiga pada suami, daripada meragukankesetiaan dan cinta suami, tak ada salahnya bila kita mulai bersiapdari sekarang untuk tiga, lima, sepuluh, dua puluh tahun ke depan,memupuk keikhlasan bila poligami harus terjadi...”

Di penghujung Juni, 2007
Saat gelisah, para akhwat banyak yang belum menikah.
Di satu sisi, saya berpikir perempuan ini mempunyai hati yang terbuat dari apa yah? Sampai punya pemikiran menjodohkan kawannya dengan suami sendiri. Di sisi lain, saya jadi merenung, apakah tidak menikah sebuah dosa?

Apakah kondisi tidak menikah walaupun tidak menginginkan, membuat seseorang patut dikasihani? Apakah kehidupan beragama, bersosialisai dan beraktivitas lainnya kecuali berhubungan seks menjadi sebuah kendala karena tidak menikah?

Lalu kalau kita menjodohkan suami kita dengan kawan kita, apakah kedagingan kita sudah mati sehingga tidak lagi memiliki rasa cemburu? Membaca artikel Aku dan Poligami oh poligami yang di tuliskan. Cahya K, sungguh membuat keprihatina luar biasa dalam pemikiran saya.





Coba ingat-ingat adakah lelaki yang berpikir karena kasihan pada sahabatnya lalu berniat menawarkan istrinya sendiri untuk dinikahi sahabatnya? Terlepas masalah poliandri tidak dicontohkan dalam ajaran agama. Di sini saya cuma mau bilang, suami atau istri bukan barang atau piala bergilir yang bisa kita tawarkan untuk membuktkan kebaikan/keimanan kita. Banyak nilai-niali lain yang perlu diperhatikan.

Seorang teman mengonetari tulisan tersebut. Teman ini mengakui terpikir juga ide gila semacam itu walau akhirnya berubah pikiran:

O.ide gila itu pernah berkelebat di benakkusahabatku usianya lebih tua dari aku 2 tahunbelum juga menikah atau punya kecengan deh minimal.Sholihah banget sampe aku ga tau seleranya tentang pasangan ideal.Repotnya dia paling hobi ngecengin NKOTB atau bintang film hollywoodyang ga mungkin jadian lah.. sean connery lah atau spiderman atausuperman. Aneh kan...Akhirnya aku tawari suamiku sendiri, dia ngakak...gak mau katanya...aku maksa..dia bilang..ok kalau aku mau, nanti kamu kayak siti sarah dan akustiti hajar, diusir dari rumah..yah enggak, nanti aku bisa jalan-jalan, pergi kemana aku mau samasuamiku dan engkau jadi upik abu..ah kacau...Tapi sekarang aku gak mau tuh suamiku berpoligamicari pahala dari amalan yang lain ajalah..kan masih banyak peluang...lagian hakekat poligami ala Rasulullah itukan ga gampangya enggak teman-teman..????
(Ammy Rammdhani, ibu dari 3 anak)

Terlepas dasarnya karena keyakinan saya dan si perempuan yang berbeda, saya menjadi merenungkan. Apakah saya seorang yang egois sehingga tidak sedikitpun punya niatan berbagi suami? Sungguh sulit saya mencerna atau membayangkan harus berbagi suami/berbagi rumah tangga dengan perempuan lain sekalipun alasan menolong kawan. .

Saya jadi ingat ucapan Si Teteh, istrinya AA Gym. Kan sekarang Teteh mah sudah lega bahkan terbantu sekali dengan adanya istri kedua AA. Teteh bisa punya waktu lebih banyak untuk istirahat atau keliling daerah untuk ber Dai.
Dan si AA menambahkan dengan berpoligami, AA memberi kesempatan pada Teteh untuk lebih meningkatkan ilmu agamanya.

Saya heran dan bingung, kalau si Teteh dan si AA memiliki komunikasi yang baik termasuk pengaturan manajemen waktunya. Untuk meringankan beban si Teteh sehingga tetap bisa punya wkatu istirahat dan keliling ber dai kan tidak harus si AA berpoligami.


Rasanya mempekerjakan sekretaris, pengurus rumah atau pembantu rumah tangga, bisa membantu apa yang diinginkan si Teteh. Demikian juga mengenai peningkatan ilmu agama, tidak harus dengan menjalani konsep poligami. Yang tidak bisa cuma urusan ranjang.

Saya sependapat dengan Ammy R, banyak cara mencari pahala sebagai upah kebaikan atau bukti keimanan kita tidak harus lewat poligami. Sekalipun poligami dibenarkan dan di perbolehkan, kalau bisa tidak di tiru rasanya gak dosa loh!

Saya jadi ingat ucapan Dai Sejuta Umat Zainudin MZ, “Bahwa dalam harta kita ada hak janda-janda miskin, kaum duafa dan anak yatim piatu!” Saya memahami pernyataan tersebut sebagai himbauan untuk berbagi dari harta yang kita miliki. Bukan berarti nikahi janda-janda miskin atau angkat anaklah anak-anak Yatim Piatu dan kaum Dhuafa.

Tidak ada sedikitpun niat membuat sebuah perdebatan lewat tulisan ini, hanya sekedar berbagai sebagai sebuah wacana pemikiran yang mungkin bisa menambahkan pengetahuan kita atau perenungan kita akan hakekat sebuah kehidupan khususnya kehidupan berumah tangga. (4 Juli 2007)

No comments:

Post a Comment