Kenangan Puasa Pertama th 2013: Antara Syukur dan Kerinduan




Sudah pukul 01.05 tapi mataku tak mau terpejam. Mungkin karena penyesuaian tempat. Cukup lama aku tak tidur di kamar ini. Kedua anak dan suamiku sudah lelap di buai mimpi. Si sulung dengan posisi miring tanpa memeluk guling. Si bungsu telentang, tangan di dada memegang ujung rambutnya. Sementara belahan jiwaku dengan posisi yang sama persis dengan si sulung. Keduanya memang bagai pinang di belah dua.

Kami tiba di rumah ini menjelang magrib. Rumah yang dulu selalu ramai setiap waktu kini sepi bagai tak berpenghuni. Semua anak-anak sudah menikah, tinggal seorang saja yang masih menemani Emak disini. Satu adik laki-laki suamiku tinggal disini bersama istri dan dua anaknya. Sayup-sayup kudengar suara adzan magrib.

Rupanya Emak mendengar suara pagar di buka, kepalanya terlihat melongok dari arah belakang rumah. Karena rumah ini sedikit penghuninya, maka pintu depan  jarang di buka, semua aktifitas keluar masuk dari arah belakang. Bagian belakang rumah ini adalah jalan keluar dari dapur. Persis di belakang dapur ada pendopo kira-kira berukuran 3 x 6 m. Di pendopo inilah biasa kami bercengkerama.

Emak melambaikan tangan.
“Emak sholat dulu yah’ kata Emak.
“Iya Mak, jawabku dan suami bersamaan”.  Emak menghilang dari pandangan, kedua anakku terlihat jelas menahan diri untuk tidak berlari. Keduanya berjalan cepat. Duduk di pendopo, melepas kaos kaki dan sepatu. 

Lamunanku terhenti ketika mendengar   pintu terbuka. Kulirik  jam dinding, menunjukkan pukul 02.30.  Aku segera berdiri dan keluar kamar.  Kulihat Emak duduk di pendopo.

“Sudah bangun Mak?” uh pertanyaan bodoh, rutukku dalam hati.

“Tidak bisa tidur” 

“Mak masih merasa kurang sehat? Kata dokter Mak boleh puasa?” 

“Dokter melarang”

“Yah, kalau begitu jangan puasa dong Mak” ujarku mengingatkan. Belum lama ini Emak memang baru keluar dari Rumah Sakit setelah 5 hari dirawat. Usianya sudah 79 tahun. Kami terdiam. Kulihat suamiku juga bangun. Dengan kesahajaan seorang anak, ia memeluk dan mencium ibunya.

“Sahur apa kita Mak?” 

“Seadanya saja, cuma ada sayur sop “ jawab Emak. Perempuan tua itu tampak kecil dalam pelukan anaknya yang juga adalah suamiku.

“Boleh tambah telor dadar yah” pintanya manja.  Aku meninggalkan mereka berdua. Aku menyalakan kompor, menjerang air dan memanaskan sayur sop. Susana sepi hanya sayup-sayup terdengar  orang mengaji. Aku menarik nafas panjang menghirup semua bebauan dalam suasana seperti ini. Bau  yang tak pernah sama tiap tahunnya. Selalu menambah koleksi bau kenangan dalam memoriku

Aku tak membangunkan anak-anak karena kami memang non muslim. Kami sahur  dalam diam dan dalam pikiran masing-masing. Aku bersyukur masih bisa menemani dan melihat suamiku bersama ibunya. Ada kerinduan yang mengusik tepian hatiku. Aku merindukan ayah mertuaku, lelaki yang biasa kusapa dengan sebutan opa. Dulu, di meja ini aku sempat bersahur bersamanya. Bersama adik-adik suamiku yang sekarang semua sudah menikah. 

Almarhum mengenalkanku dengan puasa dan sahur tanpa sedikitpun memaksa atau menggurui. Dalam diam antara syukur dan kerinduan  kunaikan doa   karena Tuhan telah memberi kesempatan aku mengenal laki-laki terhormat yang mengijinkan anaknya menikahiku. Juga untuk ibu mertuaku, untuk keluargaku dan aku selalu berharap ada harmonisasi kehidupan antar umat beragama.

No comments:

Post a Comment