Mengambil Hati Anak-Anak

Moment semacam ini tak ingin kulewati
saat anak berusia 4,5 th dan 1,5 th

Menuliskan catatan ini, seperti membuka luka lama. saya perlu waktu hening untuk mengingat kembali situasi dan kondisinya. Saat ini saya Full Time Mommy & Blogger. Sebelum tahun 2011, saya seorang wanita karir. Ya, saya bekerja sejak masih kuliah.

Itu artinya saya sudah meninggalkan anak sejak mereka masih berusia hitungan bulan. Tahun 2011, sulung saya akan menempuh ujian SD. Entah kapan persisnya, pokoknya saya terpikir ingin mendampinginya. Saat itu si bungsu masih duduk di kelas 3 SD.

Mungkin didorong perasaan bersalah, membuat keinginan berhenti bekerja menjadi begitu kuat. Setelah berdiskusi dengan suami maka,  saya mengambil keputusan besar berhenti bekerja. Harapan tak seindah kenyataan. 18 tahun beraktifitas sebagai pekerja kantoran membuat saya membuthkan waktu lama beradaptasi dengan rumah dan anak-anak.

Saat dulu bekerja, saya meninggalkan rumah sekitar pukul 7.30 pagi dan kembali sekitar pukul 19.30 malam. Praktis 12 jam saya di luar rumah, itu kalau sedang tidak ada pertemuan, atau kunjungan pasar atau tugas ke luar kota. Ketika waktu sepenuhnya menjadi milik saya, lingkungan tetap tidak mendukung. Anak-anak tidak begitu saja menerima saya.

Saya dengan arogan, mengambil alih kendali aktifitas di rumah. Terutama yang terkait dengan anak-anak. Perubahan yang mendadak, membuat saya ditolak anak-anak. #EmangEnak? saya sangat terkejut ketika mengetahui kedua anak saya, setiap pulag sekolah, buka sepatu dan ganti baju masih dibantu asisten RT. bahkan makanpun masih disuap. Umur 8 dan 11 tahun. Kemana saja saya selama ini?

Tanpa kompromi, saya menerapkan aturan baru. Asisten RT cuma boleh membantu tapi anak-anak harus melakukannya, misalnya Mba membuka tali sepatu, anak-anak yang melepas kaos kaki dan sepatu lalu meletakkannya di rak sepatu. Begitupun cara belajar. Suami yang selama ini membimbing mereka belajar, mempunyai cara dan trik yang menarik. Selama ini saya melihatnya (dari kacamata saya) suami terlalau halus dan cenderung mengiyakan maunya anaka-anak.

Misalnya belajar sebentar diselingi mendengarkan musik atau ngoborl tentang hewan. Menurut saya hal semacam itu buang waktu. Suami mengijinkan saya menggunakan cara saya. Apa yang terjadi? kedua anak saya menolak belajar dengan saya. Ditolak anak sendiri tuh, sakitnya sampai ke ulu hati. #Pedih dan Perih.

Saya merasa menjadi outsider. Saat suami dan anak-anak bersenda gurau, saya merasa tersisihkan. Dan ego saya semakin terluka. saya ini ibu yang membawa mereka dalam perut selama sembilan bulan dan mempertaruhkan nyawa di meja operasi. Alhasil, tiada satu malampun yang saya lalui tanpa menangis. Padahal si bungsu masih mencari saya jelang tidur. Ia akan mengusap airmata saya dan bertanya "Mengapa Mama menangis?" Dengan si bungsu saya masih bisa merangkulnya tapi dengan si sulung, seolah ada jarak yang memisahkan kami.

Saya bersyukur memiliki suami yang sangat pengertian. Tengah malam, ia membangunkan saya dan mengajak saya berbicara. Perlahan dan santai dalam pelukannya, ia mengatakan: "Coba turunkan ego Mama. Anak-anak belum terbiasa Mama di rumah. Selama ini bagi mereka, Mama adalah jalan-jalan, makan es krim dan belanja".

Saya tidak ingin membuang waktu, anak-anak adalah "milik" saya. Mulailah saya mengikuti situasi dan kondisi yang ada. Ternyata suami  sangat memanjakan si sulung. Ini terasa ketika suami protes jika saya menegur si sulung. Kami beda pendapat, konflikpun timbul. Tapi karena kami percaya konflik adalah cara pendewasaan dalam berkomunikasi. Maka dengan komunikasi pula kami mengatasinya.   Selama ini secara tidak sengaja terjadi pembagian. Suami akan mengajar anak-anak semua pelajaran eksak dan saya mengajar semua ilmu sosial. Ternyata terbentuk satu anggapan saya tidak bisa matematika.

Saat saya memutuskan berhenti bekerja


Sampai satu ketika sulung saya demam karena besok mau ulangan matematika, sedangkan Papanya sedang tugas ke luar kota. Saya mencari tahu penyebab kecemasan, sehingga ia bertanya "Apakah Mama bisa mengajariku matematika?' Saya menjawab, tentu bisa dong. Kalau pun Mama tidak bisa, kita bisa tanya sama Oma. Oma itu guru matematika. Hanya setengah jam saya menemani si sulung belajar dan menjelaskan beberapa rumus, memberinya obat penurun demam, dan iapun tidur. Keesokan harinya saat pulang sekolah, sulung saya tertawa senang karena bisa mengerjakan soal matematikanya.

Perlahan, saya mulai mengambil alih kontrol aktifitas di rumah dengan cara-cara yang menyenangkan. Saya melibatkan anak-anak dalam memasak, keinginan mereka menjadi perhatian saya. Termasuk mencari tahu film-film yang mereka suka dan ikut menonton bersama mereka. Sampai suatu masa, mereka bertanya mengapa Mama tidak bekerja lagi? Akankah Mama tetap bisa membelikan es krim?

Sayapun menceritakan mengapa berhenti bekerja. Saya juga menjelaskan mungkin sudah tidak akan sering-sering belanja tapi kalau es krim tetap akan selalu ada. Ada perasaan haru yang membuncah dalam dada, mengetahui kecemasan mereka. Sementara saya dengan egoisnya berpikir anak-anak menolak saya. Padahal mereka punya kecemasan yang tidak saya pahami.

Mulailah saya berdamai dengan diri sendiri, belajar kembali menjadi istri dan ibu. Belajar mengurus rumah dan memahami situasi yang ada. Mungkin terdengar lucu, saya baru belajar menjadi ibu setelah memiliki sepasang anak. kenyataannya memang demikian. saya tidak memiliki memori banyak tentang masa balita anak-anak. Karena masa itu, saya disibukkan dengan aktifitas sebagai pegawai. Kompromi perasaan dengan ego akhirnya mewujudkan tujuan awal saya berhenti bekerja. Sulung saya yang selama ini hanya ada di urutan tengah dalam kelas, bisa diterima di sebuah SMP N berkwalitas baik dan masuk dalam urutan ranking ketiga. Nilai Ebtanas Murninya, 26,2. Buat saya itu suatu prestasi yang luar biasa. sayapun yakin, keputusan berhenti berkantor adalah keputusan yang tepat.

Berdamai dan menerima situasi apa adanya tanpa memaksakan ego, lebih mudah mengambil kembali hati anak-anak dan kini saya merasa bahagia karena memperoleh kembali cinta yang utuh dari anak-anak dan suami.

Kini keduanya memasuki usia remaja
tapi kini kami seperti kawan


No comments:

Post a Comment