Suka Duka Bersaudara Banyak

Jaman dulu, para orangtua meyakini Banyak Anak Banyak Rejeki. Apalagi kalau anaknya perempuan semua. Saya sempat bingung kalau bercerita dengan kawan-kawan, bahwasannya saya terlahir dari 11 bersaudara yang perempuan semua. Spontan mereka akan mengatakan "Wah pasti orang tuamu kaya".


Kini saya memahami ucapan tersebut. Ternyata di beberapa suku di masyarakat Indonesia menganut paham "Uang susu" atau "Mahar" atau apapun itu yang diberikan pihak lelaki kepada keluarga pihak perempuan.


Tradisi itu tidak ada pada keluarga saya. Kedua orangtua saya berasal dari Menado. namun sudah meninggalkan Menado sejak tahun 60 an. Itu berarti saya dan saudara-saudara saya tidak berada dalam tradisi Menado. Sebagian dari kami lahir dan besar di Jakarta. Sejak kecil kami mendapatkan kesempatan yang sama berdasarkan prioritas. Kami mendapat kesempatan pendidikan yang sama dan diajar, bagaimana mandiri dalam pengertian tidak bergantung dengan laki-laki. Sehingga ketika kami menikahpun, biaya pernikahan kami tanggung bersama tanpa bantuan orangtua.

Dulu saat tahun ajaran baru, semua anak akan mendapat jatah, seragam, sepatu dan alat tulis yang baru tanpa pengecualian. Termasuk yang sudah duduk diperguruan tinggi. Ritual pembagian itu dilakukan di meja makan. Karena anggota keluarga kami banyak, di sekitar meja makan ditambah beberapa kursi lagi. Jika pada perjalanan waktu, ada sepatu atau tas yang rusak, maka yang diganti hanya yang sepatu dan tasnya rusak. Saya termasuk anak yang jarang mendapat tas dan sepatu baru karena saya sangat menjaga barang-barang saya.

Begitu juga baju baru untuk ke gereja atau ke pesta. saat natal, misalnya. Masing-masing anak akan mendapat baju baru tiga stel. Biasanya setelah beberapa bulan akan ada baju baru buat anak-anak yang bertumbuh. Kalau natal tiba, rumah kami seperti toko, karena hampir semua sudut ada tas belanja.

Dulu kawan-kawan SMP dan SMA yang main ke rumah pasti takjub melihat jemuran. ya jemuran handuk kami ada 4. Karena kami, tiap anak mempunyai dua handuk. Satu handuk kecil untuk membungkus kepala dan satu handuk besar untuk mengeringkan badan. Biasanya kawan-kawan akan komentar "Ih seperti asrama, handuk saja banyak banget!"

Ketika kami remaja, karena besar badan dan ukuran kaki kami tak jauh beda, maka kami selalu membeli tas, sepatu dan baju aneka model agar bisa tukar pakai. Hal itu (tular pakai) masih berlaku hingga sekarang. Misalnya ada undangan terus punya kebayanya warna tertentu tapi nggak ada kain sebagai padanannya. Biasanya akan saling menelpon untuk pinjam.




Bukan cuma dalam hal pakaian, sepatu dan tas kami bertukar pakai. Hingga saat ini kami masih tetap urun rembuk untuk mmacam-macam pembiayaan. Pernikahan, melahirkan, Syukuran ultah Mama, kami biasa duduk sama-sama dan membahas bersama. Urunan bebas sesuai kemampuan masing-masing.

Sebenarnya pada masa itu, jumlah anak banyak adalah biasa. Mungkin yang menjadi agak istimewa karena kami perempuan semua. Saat remaja, rumah kami selalu penuh kedatangan kawan-kawan lelaki. kebetulan jarak usia kami hanya 2-3 tahun. Sehingga masih berteman dengan yang duduk di atas atau di bawah kelas.

Mengingat masa-masa itu, biasanya kami akan tertawa geli. Jam 9 malam adalah batas waktu kawan-kawan bertandang ke rumah. Biasanya mereka datang setelah magrib. Dalam rentang waktu antara Magrib sampai jam 9 malam, almarhum Papa pasti sejam sekali keluar. Mulai dari mengecek kendaraan kawan-kawan (umumnya motor) sampai membeli sate. Kini kami paham, sebetulnya itu cara almarhum Papa mengawasi kami.

Kini kami sudah dewasa bahkan bisa dibilang berumur (tua), berkumpul di rumah Mama, menjadi ritual yang dirindukan. Kini yang tinggal bersama Mama hanya adik  bungsu yang memang belum menikah. Ada empat adik dan kakak saya yang tinggal dekat dengan rumah Mama. Bisa dibilang kami sejak kecil hingga dewasa dibesarkan dalam satu rumah dan tetap tinggal di satu kota. Kami tidak pernah terpisah lama dan jauh.

Pernah ada satu masa, salah satu kakak atau adik tinggal di Medan, bahkan di Amerika. Biasanya yang tinggal jauh sangat sering telepon dan menangis mengungkapkan kerinduan. kami yang menerima telepon di sini, menghibur dengan lelucon lelucon masa remaja dan telepon diakhir dengan gelak tawa.

Apakah kami tidak berkelahi satu sama lain? Rasanya tidak ada kakak-adik yang tidak pernah berkelahi/berbeda pendapat. Tapi karena jumlah kami banyak, berbeda pendapat bisa segera diselesaikan. Karena kami tidak ingin menjauh dari kumpulan keluarga. Rugi rasanya kehilangan momen bersama. Lalu di mana para suami? Biasanya secara bergurau para suami yang duduk diteras mengobrol msaat kami bersimpuh di kaki tempat tidur Mama, mereka akan ngobrol macam-macam. Salah satu yang di bahas, para istri bertemu Mama ibarat mendapat suntikan bensin. Selalu bersemangat termasuk bersemangat dalam hal kecerewetan. kami hanya tertawa menanggapinya. Karena Mama memang sumber energi yang tak pernah habis.

Hingga saat ini kami masih sering melakukan aktifitas bersama. Terutama saat libur sekolah. sebagian dari kami ada yang tidak bekerja. Maka libur sekolah adalah waktu titip menitip anak-anak. Ketika anak-anak kami masih balita, biasanya puncak adalah tempat liburan yang menjadi pilihan. Hampir semua ikut. Walau kami di puncak, Jabar. Kerja di Jakarta tetap di lakukan.

Yang bekerja akan berangkat dua mobil ke Jakarta dan berpiah di sekitar UKI/Cawang. lalu sekita jam 19.30 malam, janjian lagi di sekitar pintu tol jagorawi untuk naik ke puncak lagi. Jadi liburan tetap dan yang bekerja tetap bekerja. Karena jumlah kami banyak, acara liburan selalu sudah disusun sedemikian rupa, sehingga tidak membiarkan anak-anak tanpa aktiftas.

Mulai dari memanen sayuran, bermain di lapangan, ke air terjun bahkan kekompakan keluarga. Kekompakan keluarga selalu menjadi yang paling seru karena anak-anak diperbolehkan memilih ingin menjadi bagian dari keluarga lain. Tidak harus anak saya dengan saya. Yang penting komposisinya ada ayah-ibu-anak.




Kegiatan berlibur bersama yang nyaris diikuti seluruh keluarga kami lakukan bulan Juni tahun 2014. Persiapannya satu tahun. Termasuk booking hotel, bis, mengumpulkan dana,  menyusun anggaran, makanan, dan tempat-tempat tujuan wisata. Saat itu tujuan kami Jakarta-Pekalongan-Jogja-Cirebon dan Jakarta. Mengggunakan bis kapasitas besar (54 seat). Peserta yang ikut dari cucu yang baru berusia sembilan bulan hingga Oma (Ibu saya) yang berusia 85 tahun. Saat itu dari 11 keluarga, ada 2 keluarga yang tidak ikut. Total 9 keluarga kakak-beradik, termasuk anajk-anak dan cucunya. Total kami berjumlah 42 orang.

Kami sudah mengantisipasi jika anak-anak rewel dengan berbagai permainan dan jajanan. Ternyata anak-anak menikmati. Bahkan di hari terkahir anak-anak enggan pulang. Berlibur bersama keluarga mempunyai banyak kendala tetapi keluarga kami seolah lengkap memiliki apa yang diperlukan. Adik saya ada yang berprofesi guru Taman Kanak-Kanak, tugasnya jelas mengawasi dan mengkoordniri anak-anak. Adik saya yang lain sudah puluhan tahun bekerja di travel dan terbiasa membawa rombongan tur. Maka dia yang mengkoordinir pembelian tiket dan mengatur kami saat memasuki tujuan wisata. Adik saya dan suami berprofesi sebagai dokter. Sehingga kesehatan kami terpantau. bahkan saat berlibur June 2014 ini, salah satu keponakan baru keluar dari RS.  Kakak yang pensiunan dari kepolisian, biasanya akan singgah di beberapa pos polisi sekadar menyapa dan memberitahu kami melakukan perjalanan, mohon dipantau. Termasuk bisa numpang ke kamar kecil dan mengisi termos air panas.

Bicara ke kamar kecil dari berankat sudah dibuat aturan, perhentian untuk buang air kecil dua jam sekali. Karena kalau setiap ada yang mau buang air kecil berhenti maka perjalanan menjadi lama. sebelum berangkat setiap orang sudah dibekali uang rp. 50.000 yang harus ditukarkan menjadi pecahan uang Rp. 2.000. Karena semua sudah memegang uang, maka tidak diperkenankan minta dibayari jika buang air kecil.

Alhasil suasana akan menjadi riuh dan penuh rengekan, saat rasa ingin buang air kecil sudah datang padahal belum dua jam dari perhentian terakhir. Dengan guyonan, kami akan saling melempar candaan. Teriakan akan menjadi histeris kala pompa bensin dilewati. Suasana menjadi riuh dan penuh gelak tawa.

Untuk memudahkan pengenalan, kami membuat aturan waktu dan baju yang harus dikenakan. Yang seragam cuma 1 tapi lainnya disamakan warna. Hari pertama hijau, kedua oranye (seragam) ketiga merah, keempat kuning, kelima biru, keenam ungu. kami juga berencana nonton bola bareng maka wajib membawa kaos dengan motif bola. kenyataanya enam hari bersama tidak ada waktu untuk nonton bola bersama. Ini yang menjadi tuntutan anak-anak yang bersikeras tidak mau pulang karena merasa masih ada satu baju yang belum dipakai.

Bersama selalu menyenangkan, bukan hanya saat berlibur keluar kota, mengahabiskan malam minggu bersama saja, sudah membuat hati kami hangat.Karena yang utamanya adalah ikatan rasa persaudaraan yang terjalin begitu kuat, berkelindan dalam satu kesatuan darah. Kami berasal dari rahim yang sama.



4 comments:

  1. Banyak saudara, kalau lagi ngumpul pastinya seru ya :-D

    ReplyDelete
  2. berlibur bersama keluarga besar? seru kali ya
    jadi hangat suasananya

    ReplyDelete
  3. Kebayang serunya, mba. Orangtuaku keduanya juga keluarga besar. Suamiku pun demikian. Jadi kalau ketemu heboh banget. Hihii

    ReplyDelete